Senin, 22 September 2025
Beranda / Opini / Asas Ekonomi Kerakyatan melalui Pengelolaan Migas Rakyat di Aceh

Asas Ekonomi Kerakyatan melalui Pengelolaan Migas Rakyat di Aceh

Senin, 22 September 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bahrul Ulum

Bahrul Ulum, S.H., M.H., CLA., CM., CPCLE. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan terobosan penting dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja Untuk Peningkatan Produksi Minyak Dan Gas Bumi. 

Aturan ini menjadi titik balik dalam upaya legalisasi dan pemberdayaan aktivitas pengeboran dan produksi minyak oleh masyarakat, khususnya dari sumur-sumur tua yang selama ini beroperasi dalam ruang abu-abu hukum yang nantinya dikerjasamakan dengan kontraktor migas dengan skema BUMD, Koperasi usaha mikro, usaha kecil, atau usaha menengah,

Permen ini memberikan izin usaha secara resmi kepada masyarakat melalui pembentukan badan usaha seperti koperasi atau UMKM, yang kemudian menjadi pelaku usaha legal dalam sektor hulu migas. Hasil produksinya akan dibeli oleh Pertamina atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) lain dengan harga 70–80% dari Indonesian Crude Price (ICP).

Fakta yang tidak terbantahkan, di Aceh sering muncul berita adanya sumur minyak tua menyemburkan api dan faktanya pula bahwa sumur-sumur tersebut dikelola secara diam-diam oleh Masyarakat sekitar tanpa adanya pengawasan dari Pemerintah, kegiatan secara illegal tersebu justru telah memicu korban jiwa, pada tanggal 25 April 2018 sebagaimana diberitakan di dalam www.bbc news Indonesia tanggal 26 April 2028, sumur minyak yang dikelola Masyarakat di Ranto Peureulak, Aceh Timur. 

 Adanya sumur minyak tua di Aceh terbakar menjadi fakta bahwa adanya potensi minyak yang belum dikelola oleh pemerintah, namun dikelola oleh oknum Masyarakat yang bisa saja selama ini mengambil keuntungan. Fakta ini diperkuat dengan keterangan SKK Migas dalam releasenya yang dimuat di Bisnis.com tanggal 5 November 2021 mencatat kegiatan penambangan sumur minyak ilegal terdapat di banyak daerah, Di Aceh, terdapat 2.000 sumur yang tersebat di Kabupaten Aceh Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, dan Bireuen, bahkan jumlah sumur tua di Perlak Aceh Timur mencapai 800 sumur.

Fenomena sumur minyak tua yang dikelola oleh masyarakat tersebut mau tidak mau harus ditertibkan, tujuan utamanya adalah dalam rangka memberikan ketertiban, melindungi dan memberikan keadilan, memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi Masyarakat. Dengan hadirnya Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025, pemerintah secara langsung mengakui dan memformalkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di daerahnya. Masyakat selama ini yang menjadi objek dari hasil sumber daya alam saat nya menjadi pelaku usaha dan subjek pengelolaan sumber daya alam di daerahnya.

Terbitnya payung hukum dalam mengatur aktifitas Migas di wilayah sumur tua tersebut melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025 harus disambut baik bagi semua stakeholder, terutama sekali oleh Pemerintah Aceh yang harus segera menindaklanjutinya dengan kerja-kerja nyata, serta menyiapkan perangkat hukum di daerah.

Dengan adanya regulasi yang memadai di Aceh, akan lebih dapat memberikan kepastian hukum dalam mengimplementasikan maksud dan tujuan dari Permen ESDM tersebut, terutama dalam mewujudkan ketahanan energi masa depan yang dapat diwujudkan dengan Kerjasama antar Kontraktor dan Badan Hukum dalam bentuk kerja sama kegiatan produksi sumur minyak yang diusahakan oleh badan usaha milik daerah, koperasi, usaha mikro, usaha kecil, atau usaha menengah yang nantinya hasil dari kersama pengelolaan migas tersebut akan berdampak pada minigkatnya sumber pendapatan di daerah dan perekonomian daerah, menciptakan lapangan kerja baru serta akan berdampak pada menurunkan angka kemiskinan.

Dapat dikatakan bahwa hadirnya Permen ESDM tersebut, sebagai bentuk tujuan hukum dalam memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, namun yang lebih penting adalah hadirnya Permen ESDM tersebut adalah sebagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam bagi kesejahtaeraan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 dan implementasi Asas Ekonomi Kerakyatan sebagaimana yang dimuat di dalam Pasal 2 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Tentu pengelolaan migas dalam bentuk Kerjasama dengan badan usaha tersebut harus dilakukan dengan pengawasan yang ketat, menghindari terjadinya kerusakan lingkungan dan menghindari terjadinya konflik di mayarakat serta diiringi dengan penegakan hukum yang maksimal bagi pelaku yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah harus dapat mengawal dan mendampingi Badan Usaha yang dibentuk baik BUMD, koperasi, usaha mikro, usaha kecil, atau usaha menengah dalam membuat dan melakukan Kontrak Kerja Sama, hal ini tidak lain adalah untuk memastikan Kontrak Kerja Sama yang dilakukan sejalan dengan maksud dan tujuan sebagaimana di atur di dalam Permen ESDM tersebut, dan di Aceh sesuai dengan kewenangannya. BPMA memberikan persetujuan terhadap Kerja Sama yang dilakukan.

Akhir dari tulisan ini, Masyarakat Aceh tentu menaruh harapan besar agar pemanfaatan dan hasil sumber daya alam di Aceh digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Aceh, oleh karena itu diperlukan kepedulian dan kerja nya besama dalam membangun Aceh yang makmur dan sejahtera.

Penulis: Bahrul Ulum, S.H., M.H., CLA., CM., CPCLE Seorang Praktisi Hukum

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid