DIALEKSIS.COM | Opini - Badai siklon yang melanda wilayah Aceh dalam beberapa waktu terakhir memicu rangkaian dampak berlapis: hujan ekstrem, banjir, tanah longsor, hingga tumbangnya tower transmisi listrik. Padamnya listrik secara luas bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan konsekuensi dari satu rangkaian gangguan sistemik. Dari peristiwa inilah refleksi tentang ketahanan sistem kelistrikan Aceh menjadi relevan untuk dibahas.
Dalam kolomnya di Dialeksis, Nasrul Zaman menyoroti persoalan grid resilience -- ketahanan jaringan listrik dalam menghadapi gangguan. Ia menegaskan bahwa kelebihan kapasitas pembangkit tidak otomatis menjamin layanan listrik tetap berjalan ketika desain jaringan rentan terhadap gangguan ekstrem. Pandangan ini penting sebagai pijakan awal untuk membaca peristiwa padamnya listrik Aceh dalam konteks yang lebih struktural.
Namun refleksi tersebut perlu dilanjutkan ke lapisan yang lebih mendasar. Badai siklon hanya menjadi pemicu. Yang diuji sesungguhnya adalah arsitektur sistem kelistrikan Aceh.
Ketergantungan pada Satu Jalur Transmisi
Tumbangnya sejumlah tower pada jalur transmisi Aceh - Sumatera Utara kembali memperlihatkan fakta yang selama ini jarang dibicarakan secara terbuka. Ketika satu koridor transmisi utama terganggu, dampaknya langsung menjalar ke berbagai wilayah Aceh.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem kelistrikan Aceh masih memiliki ketergantungan struktural pada satu jalur utama. Dalam konfigurasi seperti ini, ketahanan jaringan di tingkat distribusi memiliki batas yang jelas. Seberapa pun kuat jaringan di hilir, ketika jalur utama di hulu lumpuh, risiko pemadaman luas hampir tidak bisa dihindari.
Sistem yang Berperilaku seperti Satu Bus
Jika digambarkan dalam one-line diagram, sistem kelistrikan Aceh saat ini bekerja menyerupai satu busbar besar yang bergantung pada satu interkoneksi utama. Idealnya, di bawah busbar tersebut terdapat beberapa pembangkit listrik yang independen dan saling terhubung, sehingga membentuk grid internal Aceh yang berlapis dan andal.
Ini bukan sekadar analogi teknis. Secara fisik Aceh memang memiliki banyak gardu dan jaringan, tetapi secara fungsional ketergantungan pada satu jalur membuat sistemnya berperilaku seperti satu bus besar. Ketika bus ini terganggu akibat badai, longsor, atau runtuhnya tower, dampaknya menyebar luas dan serentak.
Tidak Selalu Mati Total, Tetapi Tetap Rentan
Perlu dicatat bahwa gangguan pada jalur transmisi tidak selalu membuat Aceh mengalami pemadaman total. Dalam kondisi tertentu, sebagian wilayah masih dapat dilayani oleh pembangkit lokal atau konfigurasi jaringan tertentu. Namun kondisi ini tidak boleh dibaca sebagai tanda ketahanan sistem.
Kemampuan bertahan secara parsial dan tidak merata justru menunjukkan bahwa grid internal Aceh belum bekerja sebagai satu kesatuan yang benar-benar tangguh. Listrik yang masih menyala di sebagian wilayah lebih mencerminkan solusi darurat dan pengaturan sementara, bukan desain sistem yang sejak awal siap menghadapi gangguan ekstrem.
Mandiri Tanpa Harus Terisolasi
Pelajaran penting dari peristiwa badai siklon ini adalah bahwa penguatan sistem kelistrikan Aceh tidak identik dengan isolasi. Interkoneksi dengan sistem Sumatera tetap diperlukan, tetapi posisinya perlu diubah: dari penopang utama menjadi cadangan strategis.
Ketahanan infrastruktur vital dibangun melalui sistem berlapis yang saling menopang. Dengan pembangkit kelas menengah hingga besar yang tersebar dan saling terhubung di dalam wilayah Aceh, sistem akan memiliki fleksibilitas untuk melakukan failover dan switching ketika terjadi gangguan akibat bencana alam.
Melampaui Respons Darurat
Upaya PLN membangun emergency tower patut diapresiasi sebagai respons cepat dalam situasi darurat. Namun refleksi kebijakan tidak boleh berhenti pada kecepatan pemulihan. Jika setiap gangguan besar selalu diakhiri dengan kembali ke desain lama, maka Aceh akan terus mengulang pola yang sama: badai ekstrem, kerusakan transmisi, pemadaman luas, dan pemulihan sementara.
Tulisan Nasrul Zaman telah membuka diskusi penting tentang ketahanan jaringan. Langkah berikutnya adalah keberanian untuk mengevaluasi arsitektur sistem kelistrikan Aceh secara menyeluruh.
Aceh tidak kekurangan energi. Yang masih dibutuhkan adalah sistem kelistrikan yang dirancang berlapis, tangguh, dan berpijak pada realitas geografis serta risiko bencana alamnya sendiri -- bukan sistem yang bertumpu pada satu jalur transmisi dan berharap cuaca ekstrem tidak kembali terjadi. [**]
Penulis: Taufiq A Gani (alumni Master of Engineering Science di Electrical Power Engineering Laboratorium, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia)