Kamis, 06 November 2025
Beranda / Opini / "Bahasa Aceh", Bahasa Endatu yang Lupa Diwariskan

"Bahasa Aceh", Bahasa Endatu yang Lupa Diwariskan

Rabu, 05 November 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Hafizhuddin Islamy

Hafizhuddin Islamy. [Foto: HO/dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Belakangan ini mulai bermunculan literasi-literasi yang mengungkapkan mengenai kemungkinan punahnya bahasa Aceh. Salah satunya adalah pernyataan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait status bahasa Aceh yang terancam punah secara pasti, memperlihatkan ancaman serius bagi keberlangsungan bahasa Aceh di masa yang akan datang.

Bahasa yang sehari-hari digunakan oleh kebanyakan orang yang hidup di Aceh ini menjadi simbol identitas yang tidak boleh lekang dari nilai-nilai keacehan itu sendiri. Berbahasa Aceh adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi; namun juga merupakan simbol, adat dan identitas sebuah bangsa. Jika bahasa Aceh punah maka orang-orang Aceh telah kehilangan identitasnya. 

Saat ini bahasa Aceh mendapat skor 3 dari UNESCO yang menunjukkan bahwa pengguna bahasa Aceh mengalami penurunan signifikan dan menuju ke kepunahan.

Melihat lebih dalam, sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa bahasa Aceh saat ini seakan kehilangan pamor dan mulai ditinggalkan penggunaannya oleh masyarakat. Faktor utamanya adanya pergeseran bahasa dalam komunikasi rumah tangga (keluarga). 

Beberapa tahun sebelumnya hal seperti ini belum banyak terjadi, masyarakat dulu masih lebih memilih bahasa Aceh ketika berkomunikasi sesama keluarganya. Akan tetapi berbeda halnya dengan sekarang, banyak anak anak Aceh yang lahir kini sudah tidak mengerti lagi bahasa Aceh. Hal ini dikarenakan kedua orangtuanya ketika berinteraksi juga sudah beralih menggunakan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Aceh.

Sebenarnya tidak ada salahnya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, tapi melupakan bahasa Aceh sepenuhnya adalah hal yang juga tidak dapat dibenarkan. Seharusnya orang tua tidak melupakan bahasa Aceh, mereka harusnya mengajarkan dan terus mempraktekkan bahasa Aceh di dalam komunikasi rumah tangganya agar anak-anak Aceh yang lahir ke depannya tetap bisa berbahasa Aceh.

Selain fenomena tersebut, saat ini jika diperhatikan lebih jauh; para pengguna bahasa Aceh rata-rata hanya tersisa di daerah daerah yang berbasis pedesaan, sedangkan di kota-kota kita melihat kebanyakan masyarakat telah sepenuhnya beralih menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi hari-harinya. Hal ini belum lagi ditambah dengan adanya rasa malu ketika berbahasa Aceh, masih ada saja orang-orang yang beranggapan bahwa berbicara menggunakan bahasa daerah itu ketinggalan zaman, kolot, tidak modern dan sebagainya.

Meninggalkan penggunaan bahasa Aceh dalam setiap bentuk komunikasi sosial merupakan suatu hal yang harus ditinjau ulang. Dalam interaksi sosial memang benar ada tempat-tempat dimana penggunaan bahasa nasional (Bahasa Indonesia) harus diutamakan seperti di sekolah, kantor dinas dan tempat-tempat resmi lainnya. Namun diluar itu semua berbicara dengan bahasa Aceh menjadi sebuah kewajiban guna menjaga eksistensi bahasa Aceh agar terus terjaga dan terhindar dari kepunahan.

Sudah menjadi tugas bagi kita semua untuk terus melestarikan bahasa Aceh. Jangankan hanya kepada penduduk lokal Aceh, kenapa tidak pernah terpikir oleh kita untuk mengajarkan bahasa Aceh kepada orang-orang yang notabenenya bukanlah orang asli Aceh. 

Banyak orang-orang yang datang ke Aceh baik untuk bekerja maupun untuk menempuh pendidikan. Bayangkan jika dalam kurikulum pendidikan Aceh mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi terdapat pembelajaran mengenai bahasa daerah pasti akan banyak orang yang belajar bahasa Aceh. Jika hal-hal seperti ini bisa berjalan, maka punahnya bahasa Aceh bukanlah suatu hal yang perlu ditakutkan ataupun dikhawatirkan. 

Namun sebaliknya bagaimana jadinya nasib generasi Aceh ke depan jika guru yang bertugas mengajarkan bahasa daerah di sekolah-sekolah ternyata tidak paham bagaimana berbahasa Aceh yang baik dan benar. Semoga itu tak terjadi! [**]

Penulis: Hafizhuddin Islamy (Alumni Prodi PAI UIN Ar-Raniry)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI