DIALEKSIS.COM | Opini - Di tengah hiruk pikuk globalisasi dan kecepatan informasi yang nyaris tak terbatas, masih ada kisah berbisik dari kedalaman budaya, melampaui batas geografi, dan menantang pemahaman sebuah realitas.
Salah satunya adalah narasi "bansa tseuneubeh ateuh rhueng donya" -- bangsa terhebat di permukaan bumi.
Bukan sekadar mitos usang, frasa ini beresonansi kuat dalam kesadaran kolektif orang Aceh, menyimpan lapisan makna jauh lebih dalam dari sekadar cerita.
Ada semacam kebanggaan inheren mengalir dalam darah orang Aceh, sebuah keyakinan tak tergoyahkan bahwa mereka pernah, dan sejatinya masih, menjadi bangsa hebat.
Kejayaan Aceh masa lalu, terutama di era Sultan Iskandar Muda, adalah kebanggaan yang masih dipertahankan dan dibanggakan oleh sebagian masyarakat, bahkan ketika realitas masa kini menampilkan gambaran yang jauh dari gemilang.
Secara harfiah, "bansa tseuneubeh ateuh rhueng donya" merujuk pada bangsa yang menjulang di tempat sangat tinggi, mendominasi maritim, keunggulan intelektual, dan kekuatan militer legendaris.
Ia cerminan periode ketika kapal-kapal dagang dari segala penjuru berlabuh di pelabuhan Aceh, para ulama menelurkan karya-karya monumental, dan kekuasaan Aceh membentang hingga jauh ke Semenanjung Melayu.
Ini adalah kekuatan spiritual, kebijaksanaan kuno, atau bahkan boleh jadi penjaga rahasia alam semesta.
Bagi sebagian masyarakat, kisah ini bukan hanya sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan identitas yang terukir dalam jiwa.
Ia bagian dari kosmologi lokal, narasi yang membentuk cara pandang terhadap alam, manusia, dan hal-hal tak kasat mata.
Namun, seorang pengamat tajam akan melihat "bansa tseuneubeh" lebih dari sekadar literal. Ia metafora kuat dan mencerminkan kekuatan identitas tersembunyi, namun tak tergoyahkan.
Di tengah sejarah Aceh penuh gejolak, dari invasi kolonial hingga konflik internal, gagasan "bangsa terhebat di permukaan bumi" bisa menjadi simbol ketahanan.
Sebuah inti budaya, nilai, atau semangat yang tak pernah sepenuhnya tunduk, meskipun terdesak oleh rongrongan kekuatan luar.
Ini "roh" Aceh yang tak terlihat, tetap hidup di balik tirai modernisasi, dan diinterpretasikan sebagai aspirasi akan keunggulan atau posisi tetap "di atas".
"Bansa tseuneubeh" kemudian menjadi pengingat potensi besar yang dimiliki. Ia harus menjadi panggilan untuk bangkit dan kembali mencapai puncak, bukan dalam artian dominasi fisik, tapi keunggulan dalam nilai-nilai, pengetahuan, dan kemandirian.
"Bansa tseuneubeh" tentu melambangkan kebijaksanaan lokal, ajaran leluhur, atau cara hidup lebih murni dan otentik, yang kini terancam akibat homogenisasi budaya global.
Ini adalah upaya untuk mencari kembali, menggali, melestarikan warisan-warisan intelektual, dan spiritual yang mungkin telah terlupakan.
Bangsa lain
Klaim kehebatan masa lalu bukanlah monopoli Aceh. Bandingkan dengan Aria di Jerman dan Yahudi di Israel yang juga mengklaim diri sebagai bangsa hebat.
Tapi, ada perbedaan mencolok yang membedakan klaim mereka dari "bansa tseuneubeh" versi Aceh.
Kehebatan Jerman, meski pernah ternoda sejarah kelam akibat konsep superioritas rasial, telah terwujud kembali dalam kekuatan ekonomi, inovasi teknologi, dan stabilitas politiknya.
Kehebatan Jerman tak lagi cerita di buku sejarah, melainkan realitas yang bernafas dalam setiap ekspor dan paten teknologi mereka.
Klaim superioritas rasial Arya Jerman tak lagi didukung oleh negara. Tapi, warisan ideologinya masih hidup dalam bentuk neo-Nazi dan tantangan rasisme yang lebih luas dalam masyarakat.
Demikian pula Israel, yang terbangun dari kehancuran Holocaust, telah menjadi negara maju dalam teknologi, militer, dan riset ilmiah, meski dilingkupi konflik geopolitik. Malah, Israel bisa mempengaruhi kebijakan Barat.
Mereka bukan hanya mengklaim "bangsa pilihan Tuhan" dalam narasi agama, tapi juga bangsa yang secara nyata menunjukkan keunggulan adaptasi dan kreativitas di era modern.
Selain Aria dan Yahudi, banyak bangsa lain juga menyatakan diri hebat, unggul dan istimewa di dunia. Alasannya macam-macam mulai faktor sejarah, kekuatan militer, hingga ideologi politik atau rasial.
Bangsa-bangsa itu antara lain China, Romawi Kuno, Inggris, Jepang hingga Rusia. Mereka punya latar belakang berbeda yang hebat pada masa lalu dan masih tetap bertahan di era modern.
Sebaliknya, kebanggaan Aceh akan masa lalu yang gemilang terasa kontras dengan kondisi riil hari ini dan kerap berakhir hanya di titik nostalgia.
Narasi "bansa tseuneubeh" seolah hanya dongeng, pengingat kejayaan yang telah lewat. Sebab, Aceh modern masih bergulat dengan berbagai persoalan, terkesan mengharapkan perhatian dan bantuan pihak luar.
Ironisnya, kebanggaan masa lalu belum sepenuhnya termanifestasi menjadi daya dorong untuk kemandirian berkelanjutan, demi masa depan yang cemerlang.[**]
Penulis: Nurdin Hasan (Jurnalis Freelance)