DIALEKSIS.COM | Opini - Banjir besar yang melanda Sumatera dan menyebabkan lebih dari 112 ribu rumah terdampak, dengan Aceh sebagai wilayah kerusakan terbesar, kembali menegaskan satu hal yakni bencana hidrometeorologi bukan lagi peristiwa insidental, melainkan pola berulang.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan utama bukan sekadar seberapa cepat bantuan disalurkan, tetapi sejauh mana negara mampu belajar dan memperbaiki sistem rekonstruksi perumahan dan permukiman. Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan pengalaman.
Rekonstruksi pascabencana besar, khususnya pascatsunami Aceh, memberikan banyak pembelajaran kelembagaan, teknis, dan sosial. Tantangannya hari ini adalah bagaimana pengalaman tersebut diterjemahkan menjadi kebijakan yang relevan dengan konteks bencana banjir yang berulang, lebih luas, dan berdampak pada kawasan permukiman padat.
Pembelajaran dari Pengalaman Rekonstruksi
Pengalaman rekonstruksi sebelumnya menunjukkan bahwa kelembagaan menentukan kecepatan dan kualitas pemulihan. Pendekatan sektoral yang terfragmentasi cenderung memperlambat pengambilan keputusan, terutama dalam isu krusial seperti penetapan lokasi, status lahan, desain teknis, dan pengadaan.
Oleh karena itu, diperlukan badan rekonstruksi yang kuat, lintas kementerian dan lembaga, dengan mandat khusus dan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan strategis secara cepat. Pembelajaran kedua adalah pentingnya pendataan berbasis partisipasi. Rekonstruksi perumahan bukan hanya soal jumlah unit yang dibangun, tetapi tentang ketepatan sasaran.
Pendataan yang dilakukan secara top-down sering kali menghasilkan konflik sosial, kecemburuan, dan ketidakpercayaan. Proses partisipatif melalui musyawarah warga, verifikasi lapangan, dan uji publik terbukti lebih efektif dalam memastikan keadilan distribusi bantuan. Pembelajaran ketiga adalah bahwa fase transisi dari darurat ke pemulihan sering kali diabaikan. Terlalu lama tinggal di tenda berdampak buruk pada kesehatan, keamanan, dan kohesi sosial. Karena itu, hunian sementara yang layak harus menjadi prioritas kebijakan, bukan sekadar solusi darurat minimal.
Antisipasi: Rekonstruksi sebagai Bagian dari Mitigasi
Rekonstruksi pascabencana tidak boleh berdiri terpisah dari strategi mitigasi. Banjir yang berulang menunjukkan bahwa banyak kawasan permukiman dibangun tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan risiko jangka panjang. Oleh sebab itu, rekonstruksi harus dipahami sebagai kesempatan untuk mengurangi risiko bencana di masa depan, bukan sekadar memulihkan kondisi semula.
Antisipasi utama adalah pengakuan bahwa tidak semua lokasi layak dibangun kembali. Kawasan dengan risiko banjir tahunan memerlukan kebijakan relokasi. Namun relokasi tidak boleh dipahami semata sebagai pemindahan fisik. Pengalaman menunjukkan bahwa relokasi yang jauh dari sumber penghidupan cenderung gagal. Karena itu, lokasi relokasi harus aman secara ekologis, namun tetap dekat dengan basis ekonomi dan sosial masyarakat.
Selain itu, desain rumah dan permukiman harus mengintegrasikan prinsip ketangguhan bencana. Drainase, sanitasi, elevasi bangunan, jalur evakuasi, dan ketersediaan energi alternatif harus menjadi standar, bukan tambahan. Rekonstruksi yang mengabaikan aspek ini hanya akan menciptakan siklus kerusakan berulang.
Langkah-Langkah yang Perlu Ditempuh
Pertama, pembentukan badan rekonstruksi lintas sektor dengan kewenangan khusus perlu dipertimbangkan dalam skala bencana besar. Badan ini harus mampu menyatukan perencanaan teknis, pendanaan, dan pelaksanaan lapangan dalam satu kerangka kerja yang terintegrasi.
Pembentukan badan rekonstruksi lintas sektor dengan kewenangan khusus perlu dipertimbangkan dalam skala bencana besar. Badan ini harus mampu menyatukan perencanaan teknis, pendanaan, dan pelaksanaan lapangan dalam satu kerangka kerja yang terintegrasi.
Penyediaan hunian sementara (huntara) yang layak harus segera menggantikan tenda. Huntara yang pada masa pascatsunami dikenal dalam bentuk barak memberi ruang hidup yang lebih manusiawi sekaligus waktu bagi perencanaan hunian tetap dan permukiman secara matang. Pemanfaatan material lokal pascabencana, terutama kayu yang terbawa banjir, dapat menjadi pilihan, sekaligus mempercepat pembersihan kawasan terdampak.
Pembangunan huntara menjadi semakin penting dalam konteks bencana banjir kali ini, mengingat ada kekhawatiran bahwa pembangunan rumah permanen akan berjalan lebih lambat dibandingkan masa pascatsunami. Saat itu, puluhan ribu rumah dibangun oleh lembaga internasional dan negara sahabat, sementara BRR membangun sekitar sepertiga dari total kebutuhan.
Ketiga, mekanisme percepatan pengadaan dan kontrak perlu diaktifkan dalam kondisi darurat, disertai sistem pengawasan yang transparan. Pengalaman menunjukkan bahwa keterlambatan pembangunan sering kali bukan karena ketiadaan anggaran, melainkan hambatan prosedural dan logistik. Pada saat BRR semua pembangunan rumah dapat dilakukan dengan Penunjukan Langsung (PL) sehingga banyak waktu terpangkas untuk proses lelang.
Keempat, manajemen logistik terpusat dan terstandar harus menjadi bagian dari desain rekonstruksi. Ketersediaan material utama yang pasti, murah, dan seragam akan mempercepat pembangunan dan mengurangi potensi konflik di tingkat lokal.
Kelima, klasifikasi bantuan harus jelas dan adil. Intervensi perlu dibedakan antara relokasi, pembangunan baru, rehabilitasi rumah rusak ringan melalui swadaya dengan pengawasan, serta santunan bagi penyewa. Penyewa sering kali terabaikan, padahal mereka juga kehilangan tempat tinggal dan sumber ekonomi.
Penutup
Rekonstruksi perumahan pascabencana adalah ujian kapasitas negara dalam mengelola krisis yang berulang. Indonesia telah memiliki pengalaman, pengetahuan, dan contoh praktik yang dapat dijadikan rujukan. Yang dibutuhkan bukan inovasi spektakuler, melainkan konsistensi belajar dari masa lalu dan keberanian menerapkannya.
Bencana mungkin tidak bisa dicegah sepenuhnya, tetapi kerentanan dapat dikurangi. Rekonstruksi yang dirancang dengan baik bukan hanya membangun rumah, melainkan membangun arah pulang yang lebih aman dan berkelanjutan.
Penulis: Lukman Age, Mantan Manajer pada Kedeputian Perumahan dan dan Permukiman BRR NAD-Nias dan Teuku Indra, Mantan Asisten Perumahan dan Permukiman Kota Banda Aceh BRR NAD-Nias
