DIALEKSIS.COM | Opini - “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum : 41)
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia sudah melampaui batas sebagai khalifah dalam mengelola bumi ini. Allah Swt telah mengingatkan kita agar kita bisa berlaku seimbang terhadap lingkungan. Dilain sisi, masih banyak juga manusia yang menginginkan bumi ini dapat berjalan seimbang antara semua sisi-sisi kehidupan, seperti yang digambarkan dalam tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Seimbang antara ekonomi, sosial, dan ekologi (Manusinghe, 1993).
Kondisi ideal tersebut, untuk saat ini memang sangat sulit untuk diwujudkan. Terlalu banyak kepentingan dalam milyaran kepala manusia. Dalam perjalananya, tingkah polah manusia sudah semakin ganas. Akibatnya adalah bumi semakin panas dan binatang semakin buas. Tulisan ini saya kupas kembali dengan judul yang sama dan sudah pernah saya tulis pada Januari 2012 dari Kutacane Aceh Tenggara, tentunya dengan modifikasi kekinian.
Sudah sangat banyak kejadian dari perubahan bumi semakin panas yang menelan korban harta benda dan juga manusia. Hampir tiap minggu di media ada aja berita tentang kerusakan lingkungan, seperti banjir, longsor, kekeringan, air pasang, dan lainnya. Dan yang terakhir ádalah kejadian bajir bandang dan tanah longsor yang menghantam Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sekaligus pada tanggal 26 November yang lalu. Dampak dari bencana itu sampai sekarang masih sangat terasa pilu dengan jumlah korban jiwa yang besar lebih dari 1000 orang. Kerusakan harta benda, infrastruktur, lahan sawah, kebun, jalan, jembatan, sarana pendidikan, sarana ekonomi dan lainnnya yang tidak terhitung jumlahnya.
Ungkapan "Bumi makin panas, binatang makin buas, manusia makin ganas" mencerminkan dampak perubahan iklim dan krisis lingkungan: Bumi memanas karena emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, yang mengganggu ekosistem, membuat alam liar stres (binatang buas), dan meningkatkan konflik serta perilaku agresif pada manusia karena sumber daya menipis dan ketidakstabilan sosial, menciptakan siklus degradasi planet dan sosial di masyarakat.
Dalam konteks Aceh sudah banyak upaya pemerintah dan masyarakat untuk meminimalkan kerusakan lingkungan. Seperti Aceh Green, Provinsi Hijau, Moratorium Logging (penghentian penebangan hutan sementara) dan lainnya. Program-program tersebut kemudian dilanjutkan dengan implementasinya, walaupun masih didapat kekurangan disana-sini, tetapi itu merupakan upaya yang sudah optimal dilakukan pemerintah.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar dari berbagai sumber selama ini tentu tidak dengan sendirinya datang. Ada proses ekologi alami yang terjadi. Tetapi dizaman modern ini proses alami bisa terkalahkan dengan proses yang dipercepat. Artinya ada kondisi dimana alam tidak lagi seimbang (balance) dalam berproses. Seperti kejadian banjir tentu sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi. Banyak dan tingginya curah hujan yang ditumpahkan dari langit membuat daratan (pegunungan, dataran rendah, dan pemukiman) tidak mampu lagi menerima kiriman hujan tersebut. Akibatnya adalah ada banyak air hujan yang berada diatas tanah dan ini lah terjadi banjir.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memantau Bibit Siklon 95B di kawasan Selat Malaka, bagian timur Aceh telah berevolusi menjadi Siklon Tropis Senyar per 26 November 2025 pukul 07.00 WIB. Berdasarkan pemantauan terakhir, siklon ini bergerak ke arah barat menuju wilayah daratan Aceh dengan kecepatan sekitar 10 km/jam dan dapat berdampak signifikan terhadap potensi terjadinya hujan sangat lebat hingga ekstrem yang dapat disertai angin kencang di wilayah sekitarnya.
Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menyampaikan kondisi ini meningkatkan suplai air di perairan hangat Selat Malaka yang memicu pertumbuhan awan konvektif di bagian utara Sumatra. Saat ini Siklon Tropis Senyar berpusat di sekitar 5.0° LU dan 98.0° BT dengan tekanan udara minimum di pusat mencapai sekitar 998 hPa dan kecepatan angin maksimum di sekitar sistem mencapai 43 knot (80 km/jam). “Dalam 24 jam ke depan, Siklon Tropis Senyar bergerak ke arah barat hingga barat daya dan masih di daratan Aceh dengan kecepatan pergerakan 4 knot (7 km/jam), sedangkan dalam 48 jam kedepan Siklon Tropis Senyar diperkirakan akan menurun intensitasnya menjadi Depresi Tropis,” kata Faisal dalam konferensi pers di Gedung Command Center MHEWS, BMKG, Jakarta (26/11). Dan akhirnya terbukti bencana besar melanda tiga provinsi tersebut. Indonesia kembali berduka untuk kesekiankalinya yang tidak terhitung.
Menurut Asdak (1996), ada tiga tipe hujan yang dijumpai pada daerah tropis yaitu : hujan konvektif, hujan frontal, dan hujan orografik. Hujan orografik adalah jenis hujan yang umum terjadi di daerah pegunungan, ketika massa udara bergerak ke atas mengikuti bentang lahan pegunungan sampai saatnya terjadi proses kondensasi. Tipe hujan yang sering dijumpai di Indonesia termasuk Aceh adalah tipe hujan konvektif dan orografik.
Kondisi Aceh, Sumut, dan Sumbar dengan topografi yang terdapat bukit barisan yang lebat telah membuat kondisi basah dengan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan harusnya dimaknai sebagai anugerah untuk umat manusia dan bukan sebagai bencana. Tetapi kondisi beberapa tahun belakangan ini, hujan justru lebih sering menjadi bencana bagi umat manusia. Apakah Tuhan marah atau kita sebagai umatnya kurang bijak dalam berteman dan mengelola alam? Ataukah kita sudah semakin ganas dalam mengelola alam ?
Keganasan kita dalam mengelola alam, bukan saja membuat bumi semakin panas, tetapi juga membuat binatang semakin buas. Lihatlah bagaimana Harimau, Buaya, Gajah, mengamuk menghancurkan kebun dan sumber ekonomi masyarakat. Binatang-binatang tersebut telah protes dan marah kepada manusia, karena manusia sudah sangat jauh mencampuri urusan dalam dunia binatang.
Dalam komunitas binatang, sejak zaman dulu sudah diakui bahwa yang menjadi raja hutan adalah si belang (harimau). Harimau dalam memimpin rakyatnya memperlakukan aturan dengan tegas, kejam, dan tanpa kompromi. Harimau bahkan sering memangsa rakyatnya sendiri seperti kijang, rusa, babi hutan, dan beberapa binatang lemah lainnya. Dengan alasan mempertahankan hidup (survive), maka Harimau tidak segan-segan untuk memangsa rakyatnya sendiri. Dalam dunia binatang, hanya ada satu peraturan perundangan yang berlaku yaitu ”hukum rimba”. Hukum rimba adalah dimana kekuasaan dan kewenangan berada pada binatang yang memiliki kekuatan dan yang bisa mengalahkan binatang yang lain pada komunitasnya.
Dalam istilah Biologi, Harimau dan Buaya termasuk jenis binatang dalam kelompok pemakan daging (carnivora). Gajah adalah kelompok binatang pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Walaupun gajah tidak makan daging, tetapi saat ini intensitas mengganggu dan bahkan membunuh manusia sudah sangat sering.
Binatang dan manusia merupakan ciptaaan Allah Swt dimuka bumi ini selain makhluk lainnya. Dari semua makhluk tersebut, maka manusia menjadi khalifah dimuka bumi ini, dan secara biologi disebut sebagai pemakan daging dan tumbuhan (omnivora). Dengan status khalifah dan omnivora maka semakin luas kekuasaan manusia. Sangkin luasnya terkadang manusia lupa dalam mengelola aturan kehidupan dimuka bumi ini. Manusia sering kebablasan sehingga terkadang perangai dan tindakan bisa dibawah dan lebih buruk dari binatang.
Persoalan konflik antara binatang dan manusia selama ini dikarenakan sudah tidak ada lagi keharmonisan diantara keduanya. Masing-masing pihak sudah melewati batas kekuasaan hidup di bumi ini. Manusia yang diharapkan sebagai pengatur secara arif sudah melebihi kewenangannya. Manusia sering merambah dalam dunia binatang. Kekuasaan raja hutan dan penghuninya sudah dirusak oleh tangan-tangan manusia. Tidak ada ketentraman lagi dalam dunia binatang akibat ulah manusia. Terjadi ketidakseimbangan ekologis juga karena ulah manusia. Dan manusia terlalu banyak ikut campur dalam urusan aturan rumah tangga binatang, misalnya manusia juga sering menerapkan hukum rimba dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa yang kuat dia yang menang dan kaya, sedangkan yang lemah semakin tertindas.
Kondisi tersebut diatas tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Harus dicari jalan keluar untuk merukunkan kembali antara golongan binatang dan manusia serta lingkungan tempat manusia dan binatang tinggal . Beberapa langkah yang sudah dilakukan pemerintah selama ini dalam meminimalkan konflik dan mengelola lingkungan ini harus lebih dipertajam dan serius, ide alternatif tambahan diantaranya :
Pertama, menempatkan pertanian sebagai leading sektor dalam pembangunan Aceh, Sumut, dan Sumbar terutama yang berada di kawasan hutan. Semua usaha dan program harus mengacu kepada sektor pertanian. Karena sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak masyarakat miskinnya. Dengan menempatkan pertanian sebagai leading sector maka masyarakat yang kehilangan pekerjaan dapat beralih ke sektor pertanian. Pemerintah dapat memberdayakan lahan-lahan kosong dan kritis untuk dibangun menjadi pertanian yang bermanfaat dan perkebunan yang bisa mengatur tata air termasuk menyimpan air. Pekerjaan membangun Aceh tidak boleh lagi secara parsial dengan ego sektoral melainkan harus secara simultan (bersama-sama) dan komprehensif.
Kedua, pemberdayaan ekonomi masyarakat jangan hanya di atas kertas, melainkan dapat dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Dengan dana yang besar, seharusnya kita sudah tahu faktor kemiskinan di Aceh diakibatkan oleh budaya malas (kultural) atau karena kebijakan (struktural) yang salah selama ini.
Ketiga, revisi tata ruang yang sedang dilakukan harus benar-benar adil memposisikan antara lahan budidaya dengan kawasan lindung. Bagi kawasan yang tidak layak jadi lahan budidaya jangan dipaksakan untuk itu, begitu juga sebaliknya. Bila hal ini dilakukan maka akan meminimalkan konflik antara pemerintah kabupaten dengan provinsi maupun antar masyarakat dan pemerintah, juga pengusaha pemilik HGU, Perkebunan, dan Pertambangan. Dengan pasca bencana ini menuntut revisi tata ruang yang lebih adil secara ekologi demi kepentingan jangka panjang dan masyarakat aman sampai anak cucu kelak.
Semoga saja dengan niat baik dan keikhlasan dari semua pihak terutama penyelenggara pemerintah mampu menyeimbangkan lingkungan dan pembangunan. Sehingga bumi yang semakin panas, secara perlahan dapat sejuk kembali. Binatang yang semakin buas juga dapat ramah kembali kepada manusia. Hal itu semua akan tercapai kalau kita semua juga tidak semakin ganas dalam mengelola lingkungan dan pembangunan ini. Semoga bencana kali ini bisa menyadarkan kita sebagai manusia yang arif dan bijaksana dalam mengelola alam ini, Wallahualam.
Penulis: Ir. Azanuddin Kurnia, SP, MP, IPU ASEAN Eng, Ketua Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh dan Wakil Ketua HKTI Aceh