DIALEKSIS.COM | Opini - Fenomena bunuh diri kembali terjadi di Indonesia, bahkan di beberapa belahan dunia pun bunuh diri ini kerap dijadikan pilihan terakhir yang dipilih untuk mengakhiri hidup sang korban yang dapat disebut sebagai “pelaku” bunuh diri itu sendiri.
Di Indonesia sendiri, kejadian tragis ini sering dijumpai, berbagai jenis usia dan latar belakang masalah yang dihadapi, mengakhiri hidup seakan-akan dijadikan solusi untuk menyelesaikan seluruh permasalahan yang ada. Kasus bunuh diri di Indonesia sering kali ditemukan di kalangan mahasiswa, beberapa faktor pertemanan, kehidupan, masalah perkuliahan bahkan kisah percintaan pun menjadi hal yang mendasari keinginan untuk bunuh diri itu terjadi.
Bunuh diri dipicu oleh kurangnya kemampuan seseorang untuk menghadapi konflik kehidupan yang cenderung stressful, hingga mengakibatkan stuck-nya pikiran seseorang tersebut. Mungkin kita bertanya-tanya, kira-kira apa yang dirasakan oleh seorang individu sampai harus merelakan hidupnya? Dan apasih yang sebenarnya harus kita lakukan serta bagaimana sikap kita semestinya kepada mereka yang pernah mencoba melakukan aksi bunuh diri maupun menyakiti diri sendiri (self-harm)?
World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 melaporkan bahwa satu kematian karen abunuh diri terjadi setiap empat detik dan mirisnya, di Indonesia bunuh diri terjadi setiap satu jam. Ide bunuh diri, melakukan percobaan bunuh diri, serta tindakan bunuh diri terjadi karena interaksi individu terhadap lingkungannya.
Sigmund Freud seorang ahli psikologi dalam fokus psikoanalisis mengatakan bahwa “kecenderungan bunuh diri sering kali terjadi dari hasil perasaan bersalah, agresi, atau keputusasaan yang ditekan, bunuh diri bukanlah pilihan, melainkan teriakan minta tolong yang sangat keras”.
Dalam pandangan psikologi, bunuh diri terjadi dikarenakan kurangnya kemampuan seseorang untuk melewati halang rintang permasalahan kehidupan, ditambah dengan buruknya kondisi lingkungan sekitar yang tidak pernah mendengarkan dan kerap enggan peduli terhadap sekitar. Perasaan putus asa dan tidak adanya tempat berkeluh kesah, akan semakin memperkuat keinginan untuk mengakhiri hidup. Korban bunuh diri yang merasakan kehampaan pada hidupnya sudah melewati beberapa cara untuk ‘survive’ demi mempertahankan hidupnya.
Sikap Empati
Dalam hal ini perlunya sikap empati dan peduli ditanamkan pada diri kita masing-masing. Korban bunuh diri hanya membutuhkan bantuan dan dukungan lingkungan sekitarnya dalam menyelesaikan permasalahan ataupun pikiran mereka yang tak kunjung reda, stigma terhadap bunuh diri harus segera dihilangkan, kesehatan mental yang masih dianggap tabu, serta memandang sepele permasalahan orang lain dan membanding-bandingkan nya dengan permasalahan yang kita alami harus segera kita hentikan dan ubah kedalam penanganan dan pandangan yang lebih baik lagi.
Sebelum menanamkan sikap empati, kita juga perlu memahami apa itu empati sebenarnya. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, seolah-olah kita berada di posisi mereka. Empati bukan cuma soal "mengerti" perasaan orang lain, tapi juga punya dorongan untuk peduli dan membantu.
Mark H Davis (1994) mengungkapkan empati punya dua bentuk utama, yaitu empati kognitif (kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain), dan empati emosional (ikut merasakan emosi yang dialami orang lain. Misalnya, ikut sedih saat teman kita sedih).
Empati bukan sekadar “kasihan” atau “simpati,” tapi menyiratkan kepedulian aktif dan kemauan untuk hadir secara emosional bagi orang lain. Ketika kita berempati, kita tidak hanya memahami, tapi juga menciptakan koneksi yang manusiawi, membangun kepercayaan, dan membuat orang merasa dihargai.
Dalam konteks fenomena bunuh diri ataupun percobaan menyakiti diri sendiri, empati dapat menjadi ‘jembatan penyelamat’, dikarenakan sikap ini dapat membantu seseorang untuk tidak merasa sendiri, dapat mendorong mereka yang hendak melakukan percobaan bunuh diri untuk dapat membuka diri dan mencari bantuan, serta dapat mengurangi stigma dan rasa malu yang sering menyertai masalah mental.
Kita perlu memahami bahwa orang yang berpikir untuk bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri bukanlah orang yang lemah ataupun egois, melainkan orang tersebut sedang berjuang dalam menghadapi masalah yang sangat berat. Kematian bukanlah soal moral semata, tapi tentang sistem sosial yang kadang gagal untuk menyediakan sejumlah ruang aman untuk bercerita.
Budaya di Indonesia yang kerap sekali menasihati daripada mendengarkan, menunjukkan bahwa sikap kita terhadap lingkungan sekitar kurang peka dan minim empati, yang membuat kita bahkan tidak menyadari bahwasanya ada sejumlah orang di sekitar kita yang membutuhkan ‘pelukan’ atau bahkan sandaran untuk didengarkan keluh kesahnya.
Karena itulah, timbulkanlah empati dalam diri kita, cobalah untuk mendengarkan orang lain dan keluh kesah orang lain ketika mereka menghadapi situasi sulit. Ingat, setiap nyawa itu berharga!. [**]
Penulis: Zulaikha Mawaddah (Mahasiswi Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)