kip lhok
Beranda / Opini / Covid Menyerang Nasionalisme

Covid Menyerang Nasionalisme

Kamis, 14 Mei 2020 18:07 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Ternyata, Bill Gates, yang telah menjadi Miliarder dan filantropis Microsoft yang mengglobal, juga memperhatikan dampak pandemic virus Corona dalam dimensi nasionalisme. Padahal sosiolog dan ahli politik dunia, yang focus pada kajian tentang nasionalisme, sudah mengatakan atau memproyeksikan bahwa nasionalisme sedang berada dalam perjalanan meninggalkan periode anti klimaks kejayaannya.

Katanya, waktu diwawancara oleh The Times: “Saya memang berpikir fakta bahwa dunia bergerak secara nasionalisme dan negara-negara menjaga diri mereka sendiri, pembingkaian itu memang tidak membantu. Kami semua berharap telah mengangkat seruan yang lebih cepat. Sangat sedikit orang yang mendapat nilai A dalam hal apa yang telah mereka lakukan dalam situasi ini," kutip Business Insider, Selasa (28/4/2020).

Pernyataan itu, seakan-akan mengabarkan bahwa nasionalisme telah bangkit dari kuburnya, untuk menyemangati bangsa-bangsa, terutama merasuki rezim-rezim politik dalam melawan serangan pandemic Covid19. Namun, tindakan penyelamatan diri dengan menggunakan spirit nasionalisme oleh rezim-rezim, menurut Bill Gates: “Sangat sedikit orang yang mendapat nilai A dalam hal apa yang telah mereka lakukan dalam situasi ini," bahkan, “tidak membantu.”

Mengapa demikian? Menurut Bill Gates, dengan merujuk pada kembalinya nasionalisme di Inggris, AS, India, Brasil, dan banyak negara lain, hal itu justru membuat rezim-rezim politik itu justru bersikap “meremehkan atau terus mengecilkan tingkat ancaman virus corona ini.”

Barangkali, dalam konteks Indonesia, kita kaya akan informasi tentang pernyataan-pernyataan atau kebijakan-kebijakan yang kontradiktif di dalam dirinya sendiri yang disampaikan oleh para pejabat yang berada di dalam tempurung rezim untuk melawan pandemic Covid19. 

Lebih focus lagi, lanjut Bill Gates, untuk kebijakan tentang lockdown, atau PSBB dalam konteks Indonesia. Lalu, di public berkembang wacana perbedaan antara mudik dan pulang kampong, baik yang mengulas secara sinis maupun secara rasional dengan merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia. Hal ini gejala yang menunjukkan cara berpikir pun terkonstruksi menjadi involutif.

Belum lagi bermunculan informasi dari arah rezim yang saling menafikan. Pertama sekali keluar kebijakan yang melarang mudik sehingga transportasi umum dihentikan, lalu lahir kebijakan relaksasi, yang membatalkan kebijakan pelarangan mudik sehingga aparat negara yang melaksanakan kebijakan di lapangan bertabrakan dengan gerakan massa untuk mudik. 

Fenomena demikian banyak terjadi. Di satu pihak, warga negara “dikurung di pemukimannya”, tetapi di lain pihak, rezim membuka pintu untuk turis asing. Kasus di Konawe, TKA yang berasal dari negara yang diduga menjadi sumber Covid19, justru direncakan kedatangannya oleh pemerintah. Itu juga terjadi jadi dalam konteks social yang kontraproduktif, di mana arus PHK terhadap warga semakin meluas, justru TKA mendapat kerjaan dari kebijakan pemerintah. Akibatnya, terjadi ketegangan antara pejabat pusat dan di daerah, berikut terbongkarnya komitmen-komitmen politik di antara elite. Efek lanjutannya, muncul spirit kedaerahan di kalangan warga untuk menentang langkah politik rezim, yang bersatu dengan sikap politik pejabat di daerahnya.

Termasuk ke dalam kebijakan yang kontra produktif, antara lain, pembebasan para koruptor dan pelaku criminal kelas teri dengan alasan Covid19. Hal ini sangat mengusik moral public, dan mengganggu sisa-sisa kenyamanan hidup karena menimbulkan kriminalitas di mana-mana.

Padahal menurut gerak nalar Gates: “jika lockdown tidak dilaksanakan kita akan melihat ‘yang terburuk dari kedua dunia’ dalam hal penyebaran penyakit maupun penurunan ekonomi.”

Dalam skala yang meluas adalah adanya fenomena penurunan pendapatan hampir pada sebagian besar warga, terutama pada strata social bawah, namun satu unsur urat nadi perekonomian, yakni BBM tidak berselancar mengikuti gelombang penurunan harga minyak mentah dunia. Spekulasi public, dengan mengacu pada kalkulasi dari para ahli, adalah berapa rupiah keuntungan keuntungan yang diraih rezim dari kocek rakyat? Apakah keuntungan itu masuk ke dalam kas negara? Spekulasi itu terjadi ditengah-tengah rezim menyatakan harus berhutang lagi untuk menyelamatkan negara.

Kata Gates lebih lanjut: "Jika Anda mencapai jutaan kematian maka semakin banyak orang akan mengubah perilaku mereka sehingga Anda akan mendapatkan situasi yang ekstrem," katanya.

Nah, hal itu mungkin saja terjadi dalam konteks Indonesia saat ini. Bahkan kematian itu bisa langsung karena disergap oleh pandemic Covid19, atau secara tidak langsung dan pelan-pelan karena kehancuran ekonomi masyarakat, bahkan bisa juga oleh perpaduan antara Covid dan kemiskinan yang ekstrim.

Namun, yang mendesak dikalkulasikan adalah bagaimana wujud situasi ekstrim itu. Lalu, bagaimana wujud reaksi massal yang akan muncul terhadap situasi ekstrim, dan bagaimana nasib rezim?

Memang nasionalisme bak mata uang koin: di satu sisi, ia bisa membangkitkan kehidupan; dan di lain sisi, ia bisa menimbulkan kematian. Untuk yang terakhir itu, masyarakat Aceh sudah merasakan manakala nasionalisme bangkit, yang terlahirkan adalah kebijakan Darurat Militer! 




Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda