Minggu, 24 Agustus 2025
Beranda / Opini / Dari Sultan ke Mualem: Jejak Tanah Wakaf Blang Padang

Dari Sultan ke Mualem: Jejak Tanah Wakaf Blang Padang

Minggu, 24 Agustus 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza

Firdaus Mirza, akademisi FISIP USK. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di jantung Kota Banda Aceh, terbentang Blang Padang--sebuah ruang terbuka seluas 8,5 hektare yang bukan sekadar lapangan kota, melainkan tapak sejarah panjang yang menghubungkan warisan kesultanan, kolonialisme, bencana, dan dinamika kekuasaan modern. Ia adalah simbol sosial, spiritual, dan politik yang terus diperebutkan maknanya.

Sejarah Blang Padang bermula dari masa Kesultanan Aceh Darussalam. Di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), tanah ini diwakafkan untuk kepentingan umum dan keagamaan. Wakaf tersebut bukan hanya bentuk kedermawanan, tetapi juga strategi sosial untuk memperkuat syiar Islam dan kesejahteraan rakyat. Blang Padang difungsikan sebagai tempat berkumpul, pelaksanaan upacara keagamaan, dan ruang terbuka bagi masyarakat.

Tradisi lisan masyarakat Aceh dan sejumlah naskah lokal memperkuat narasi ini. Wakaf Sultan menjadi fondasi moral yang terus dijaga, bahkan setelah masa kesultanan berakhir.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda mencatat Blang Padang sebagai tanah wakaf dalam arsip-arsip resmi. Pemerintah Aceh berhasil mengumpulkan sejumlah dokumen penting dari Belanda, termasuk peta tata ruang Banda Aceh tahun 1934 dan referensi dalam buku Van Langen (1888), yang menyebut Blang Padang sebagai “Oemoeng Sara””tanah wakaf yang diperuntukkan bagi Imam Masjid Raya.

Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa otoritas kolonial tidak mengubah status hukum tanah tersebut. Sebaliknya, mereka mengakui keberadaan wakaf dan mencatatnya sebagai bagian dari tata ruang kota.

Pasca tsunami 26 Desember 2004, Blang Padang menjadi lokasi strategis bagi kegiatan kemanusiaan dan militer. Dalam situasi darurat, sebagian wilayah Blang Padang digunakan oleh Kodam Iskandar Muda sebagai markas dan area operasional. Namun, penggunaan ini tidak disertai dengan proses hukum yang transparan terkait status tanah.

Beberapa tahun kemudian, muncul plang yang menyatakan bahwa Blang Padang adalah aset milik negara di bawah penguasaan TNI. Klaim ini memicu kontroversi, terutama karena bertentangan dengan sejarah wakaf dan arsip yang telah dikumpulkan oleh Pemerintah Aceh.

Surat Gubernur dan Fatwa MPU

Menanggapi polemik tersebut, Gubernur Aceh saat itu, Muzakir Manaf (Mualem), mengeluarkan surat resmi kepada Presiden RI tertanggal 17 Juni 2025. Surat tersebut menyatakan bahwa Blang Padang adalah tanah wakaf Sultan Iskandar Muda yang harus dikembalikan kepada Nazhir Masjid Raya Baiturrahman. Mualem merujuk pada sejarah kesultanan, arsip Belanda, dan aspirasi masyarakat Aceh yang menolak pengalihan fungsi tanah wakaf menjadi aset militer.

Dukungan terhadap klaim wakaf juga datang dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yang mengeluarkan fatwa bahwa tanah wakaf tidak boleh dialihkan fungsinya tanpa persetujuan Nazhir dan masyarakat. Fatwa ini diperkuat oleh rekomendasi resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada Agustus 2025, yang menyebut tanah wakaf Blang Padang sebagai “amanah umat” yang harus dikembalikan demi kemaslahatan.

Isu Blang Padang juga mendapat perhatian serius dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sejumlah anggota dewan menyuarakan pentingnya pengembalian fungsi tanah wakaf dan mendesak Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah hukum dan administratif yang tegas. Dalam beberapa rapat kerja, DPRA menekankan bahwa penguasaan militer atas tanah wakaf bertentangan dengan prinsip otonomi khusus dan nilai-nilai keadilan sejarah.

Jejak tanah wakaf Blang Padang bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan cermin tanggung jawab negara terhadap warisan sosial dan spiritual rakyat Aceh. Dari Sultan Iskandar Muda hingga Mualem, dari arsip Belanda hingga fatwa MPU dan suara DPRA, satu benang merah tetap terjaga: Blang Padang adalah milik rakyat, bukan milik kekuasaan.

Pengakuan terhadap status wakaf bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal keadilan sejarah. Dalam konteks Aceh pasca-konflik dan pasca-tsunami, pengembalian fungsi wakaf Blang Padang menjadi simbol rekonsiliasi antara negara dan masyarakat. Dan di sanalah, sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk ditegakkan. []

Penulis: Firdaus Mirza, akademisi FISIP USK.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polda
bpka