Beranda / Opini / Delapan isu strategis debat Pilkada Aceh 2024

Delapan isu strategis debat Pilkada Aceh 2024

Sabtu, 26 Oktober 2024 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Penulis: Muhammad Ridwansyah Direktur Isu dan Propaganda Badan Pemenangan Aceh Mualem-Dek Fadh. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Agenda debat pemilihan Kepala Pemerintah Aceh dan Wakil Kepala Pemerintaha Aceh 2024 akan dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 2024 di Banda Aceh. Ada dua variabel besar yang akan didiskusikan antara lain bagaimana paslon menyelesaikan persoalan Aceh. Kemudian bagaimana paslon memajukan Aceh dengan segala tantangan ke depan. Dengan delapan issue utama antara lain:

Pertama, penguatan keistimewaan dan kekhususan Aceh dalam penerapan Syariat Islam dalam mendorong good governance dan clean government. Isu ini memang sangat menarik karena skema Paslon 02 ketika menang akan berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai syari’at Islam dalam segala sektor tata kelola pemerintahan Aceh. Pembangunan Islamic Center Aceh, mewajibkan seluruh rakyat Aceh yang beragama Islam untuk belajar Tahsin Alquran, revitalisasi Mesjid Raya, penetapan Mesjid sebagai pusat aktivitas rakyat Aceh, penyediaan modal usaha berbasis syari’ah, pengembangan sumber daya manusia, dan terakhir adalah memaksimalkan peningkatan tata kelola zakat, infaq, sedeqah, wakaf produktif lewat Baitul Mal Aceh Provinsi, dan Baitul Mal Aceh Kabupaten/Kota.

Kedua, isu implementasi tidak terkoneksitas antara RTRW, transportasi publik serta kebutuhan masyarakat terhadap dampak lingkungan berkelanjutan. Isu ini memang krusial karena Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2033 harus direformasi atau direvisi untuk dimaksimalkan sesuai dengan agenda MoU Helsinki. 

Beberapa agenda faktual dan mendesak adalah batas wilayah Aceh 1 Juli 1956 sesuai dengan poin 1.1.4. MoU Helsinki, penataan ruang terbuka hijau, tata ruang, melakukan strategi pengembangan, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, menjaga kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan permukiman, kawasan strategis Aceh, kawasan suaka Aceh dan lain-lain. Kemudian terkait sektor transportasi publik. 

Ini agenda pemenuhan hak rakyat Aceh oleh Pemerintah Aceh segera menyiapkan transportasi umum berbasis listrik di Aceh dengan prioritas kota yakni Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa dan Kota Subulussalam. Tentu energi utama adalah listrik yang harus dijaga di Aceh, hal ini inheren Aceh sebagai penghasil minyak bumi, gas bumi, batu bara, panas bumi, energi surya di beberapa titik di Aceh sehingga harus dimaksimalkan oleh sektor bisnis (PT. PEMA dan swasta lainnya).

Ketiga, isu keterbatasan dana otsus dalam mendorong peningkatan ekonomi, keseniaan, kebudayaan, daya saing global dan pengembangan teknologi. Isue keterbatasan dana otsus ini bisa diperpanjang lewat mekanisme perpanjangan dana otsus 2,25% dari palfon dana alokasi umum nasional. Pasca 2027, dana otsus akan habis namun jika diperpanjang maka Aceh dapat mengusulkan kembali dana otsus 2,25% tanpa batas waktu tertentu. Desentralisasi fiskal ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan H. Muzakkir Manaf dan H. Fadhlullah selaku komando Aceh 2025-2030 nanti. 

Ketika sumber fiskal aman, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dengan syarat diperkuat investasi, memaksimalkan tingkatkan konsumsi rata-rata rakyat Aceh, penguatan sektor swasta ekspor-impor, dan memaksimalkan fungsi otorisasi APBA 2025-2030. Terakhir skema pembiayaan otsus yang harus diperluas yang semula masih enam skema yakni pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan Aceh, pendanaan pendidikan, sosial, kesehatan. Ditambah lagi pembiayaan skema kesenian, kebudayaan, pengembangan teknologi, kekhususan dan keistimewaan Aceh (Lembaga Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh, Majelis Pendidikan Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, penyatuan peradilan dibawah Mahkamah Syar’iyyah Aceh, syari’at Islam, dan lain-lain).

Keempat, isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi terhadap disababilitas dan kelompok rentan, serta pendidikan anak yang ramah anak yang inklusif. Data terbaru analisis Januari-Juli 2024 dari UPTD PPA Provinsi Aceh menggambarkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap peremupan Aceh meningkat. Salah satu kabupaten yang paling dominan angka kekerasan perempuan adalah Aceh Utara sebanyak 55 kasus sebagai peringkat pertama, disusul oleh Kota Banda Aceh sebanyak 39 kasus sebagai peringkat kedua, dan Kabupaten Bireuen sebanyak 29 kasus sebagai peringkat ketiga. 

Tiga kabupaten tersebut harus menjadi prioritas Mualem Dek Fadh untuk menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya menurunkan angka kekerasan perempuan dengan memberdayakan perempuan untuk mendobrak kesunyian tentang kekerasan selama ini. Mualem sebagai Panglima Aceh adalah pelindung perempuan-perempuan Aceh yang termarjinalkan selama ini. Rasanya sangat malu bahwa aktualisasi nilai syari’at Islam belum maksimal, kita sangat menyayangkan bahwa masih banyak di Aceh terjadi kekerasan perempuan. Bukankah hadis mengatakan bertakwalah kepada Allah tentang urusan wanita karena sesunggunya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. 

Begitu mulia perempuan kedudukannya disisi Allah SWT sampai salah satu nama surah dalam Alquran disebut dengan An-nisa. Artinya ketika perempuan dalam masa Nabi Muhammad SAW, dianggap sebagai objek hukum bagaimana pula pada saat itu perempuan dijadikan warisan pada jaman jahiliyyah. Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun rakyat Aceh menghadirkan perempuan sebagai posisi yang mulia tidak hanya dipandang sebagai sebuah entitas berupa jenis kelamin tetapi juga cara pandangan peremuan yang tersandar sebagai manifestasi Tuhan pada alam. 

Terakhir, bagaimana Mualem Dek Fadh menjaga pendidikan anak yang inklusif. Anak-anak Aceh adalah harapan rakyat Aceh, Mualem Dek Fadh harus mampu memberikan kesempatan bagi semua anak untuk belajar bersama, baik anak-anak tanpa kebutuhan khusus serta anak dengan kebutuhan khusus seperti anak-anak disabilitas fisik, intelektual, emosional dan sosial. Rakyat Aceh secara historis sudah tercatat bagaimana orang tua Aceh memuliakan anak-anak yang menjadi pahlawan-pahlawan bangsa yang melawan penjajahan. 

Pemerintah Aceh harus menghadirkan Aceh yang ramah anak-anak, memberikan asupan gizi bagi anak-anak rakyat Aceh, Mualem Dek Fadh harus menjadi negarawan ketika memimpin Aceh ke depannya sehingga persoalan pendidikan Aceh inklusif dipastikan akan terkerjakan dengan baik dan benar.

Kelima, isu minimnya penambahan sumber pendapatan Aceh. Ada beberapa yang akan menjadi fokus Mualem Dek Fadh yakni memaksimal sumber pendapatan asli Aceh dari sektor migas, tambang, ikan, laut, pajak daerah, retribusi daerah, zakat, hasil pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan, dan pendapatan lain-lain PAD yang dianggap sah. 

Mualem Dek Fadh harus mampu memacu angka penambahan sumber pendapatan asli Aceh dengan strategi pendataan ulang terhadap wajib pajak terutama sektor tambang, dan pembenahan manajemen pengelolaan pajak Aceh dengan baik dan benar. Kemudian, Mualem Dek Fadh perlu memperluas kewenangan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan konten MoU Helsinki yakni Aceh berhak menguasa 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun lau territorial sekitar Aceh. 

Skema 70% harus diperjelas misailnya cost recovery pengusahaan hulu migas yang dikeluarkan oleh kontraktor migas apakah harus dihitung oleh rezim keuangan nasional atau rezim keuangan Aceh. Idealnya, kebijakan cost recovery semestinya menjadi rezim keuangan Pemerintah Aceh, bukan rezim keuangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan. Artinya, Badan Pengelolaan Keuangan Aceh harus menjadi Kementerian Keuangan Pemerintah Aceh, segala sumber penerimaan Aceh harus menjadi terpadu dan terpusat pada Badan Pengelolaan Keuangan Aceh.

Keenam, isu ketimpangan pembangunan serta pengelolaan sumber daya alam berbasis konektitas daerah. Salah satu menjadi agenda priortas berupaya pembangunan agroindustri untuk wilayah tengah Aceh terdiri dari project agroindustri kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, project agroindustri jagung di Aceh Tenggara dan project agroindustri nilam di Gayo Lues. 

Keempat daerah ini akan mampu mengelola sumber daya dari sektor pertanian. Tentu program ini akan berpeluang menghadirkan inovasi berbasis kearifan lokal untuk menciptakan lapangan kerja baru. Program agroindustri ini harus terealisasi dengan baik dibawah kepemimpinan Mualem Dek Fadh, project strategis Aceh harus berjalan dibawah kepemimpinan Mualem Dek Fadh nantinya.

Ketujuh, isu partisipasi perempuan dalam pembangunan politik. Isu ini sebenarnya sudah dijalankan oleh Mualem selaku Panglima GAM, bagaimana beliau membangun pasukan inong balee untuk membela kepentingan Aceh pada saat konflik, pasukan inong balee menjadi pasukan garda terdepan, bagian dari melanjutkan pengorbanan suaminya untuk Aceh. 

Inong balee dianggap sebagai sayap militer GAM yang terlatih dimanifestasikan sebagai wujud untuk menuntut hak-hak bangsa Aceh kala itu. Even, Cut Nyak Dhien juga demikian, beliau melanjutkan perjuangan suaminya untuk meneruskan perjuangan bangsa Aceh untuk melawan penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mualem Dek Fadh dipastikan akan mampu mengaktualisasikan nilai-nilai perjuangan pasukan inong balee dan nillai-nilai perjuangan Cut Nyak Dhien dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh ke depannya. 

Aceh sudah jauh dikenal sejak dahulu bagaimana bangsa Aceh menjadi perempuan sebagai pemimpin, para sultanah di Aceh menjadi bukti sejarah dunia, bagaimana Aceh dibangun dengan empat sulthanah di Aceh dan menjadi pusat peradaban dunia. Bahkan Teungku Fakinah juga sebagai ulama perempuan Aceh dan ulama besar yang disegani pada tahun 1856 M. Mualem Dek Fadh dipastikan akan mampu menjadi Aceh sebagai pusat kesetaraan perempuan, pusat emanipasi perempuan, dan memperkokoh perempuan dalam sektor politik, sektor pemerintahan, sektor bisnis (industry home).

Kedelapan, isu keberpihakan terhadap perempuan, disabilitas, pemuda dan kelompok minoritas. Isu ini menjadi salah satu agenda penting bagaimana mempercepat otoritas APBA untuk menyentuh kelompok minoritas, keberpihakan terhadap perempuan, disabilitas, dan memanfaatkan angka bonus demografis pemuda/i Aceh. 

APBA harus mampu menyelesaikan hal-hal tesebut, bayangkan saja kondisi terbaru saat ini 100 orang berkerja di Aceh harus menanggung 48 orang, dan puncak bonus demografi di Aceh belum berkerja secara maksimal, Mualem Dek Fadh harus menjadikan bonus demografi sebaik-baiknya. Otoritas APBA dibawah kepemimpinan harus membuka keran seluas-luasnya untuk perempuan, disabilitas, pemuda, dan kelompok minoritas di Aceh. Semoga.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda