Demokrasi (Tak) Bertuan
Font: Ukuran: - +
Oleh Mochammad Thoha*
DIALEKSIS.COM - Thomas Ferguson, dalam Investment Theory of Party Competition (1995), mengatakan bahwa dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakan-kebijakn politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elit bisnis dan investor.
Tesis di atas membenarkan realitas demokrasi yang dipasung para kapitalis alias pemilik modal dengan tujuan untuk meraup keuntungan fantastis.
Tidak heran bila setiap produk kebijakan yang menyangkut kepentingan bisnis yang berorientasi pragmatisme politik kerapkali ditunggangi oleh komplotan mafia berjubah demokrasi alias pengusaha hitam yang sebenarnya "bandit" yang membajak demokrasi.
Secara teoritik, tesis di atas juga dibenarkan oleh C. Wright Mills dalam karyanya The Power Elite (1956). Mills berbicara soal kualitas demokrasi yang dipengaruhi formasi elit di AS pascaperang dunia kedua.
Baginya, demokrasi di Amerika Serikat acapkali dibajak oleh segelintir elit politik, ekonomi, dan meliter yang memiliki kuasa, kapital, dan gudang persenjataan.
Keputusan yang strategis bagi publik yang seharusnya didiskusikan secara rasional dan diliberatif pada akhirnya hanya menjadi domain elit-elit tertentu saja. Demokrasi yang seharusnya bersifat pluralis pun kemudian hanya menjadi elitis belaka. (Anugrah, Tempo, 19/10/2012).
Dalam konteks Indonesia, fakta di atas adalah realitas yang kini terjadi secara masif. Melalui partai politik sebagai pilar demokrasi, para bandit demokrasi kerap kali menggunakan dan memanfaatkan politisi yang "tuna harga diri" punya idealisme musiman dan tidak tahan godaan meminjam istilah Buya Syafie Maarif, guna untuk mengambil keuntungan bisnis sebanyak-banyaknya.
Para politisi kerap kali paradoksial dalam tindak-tanduknya dan menyelewengkan kekuasaannya.
Filsuf Immanuel Kent menggambarkan prilaku dan watak seorang politisi pada seekor merpati dan ular.
Kent mengibaratkan dalam dada politisi terdapat dua binatang, di dada kanan terdapat merpati simbol berhati mulia dan suci serta tulus mengabdi, sementara di dada kiri terdapat ular sebagai simbol pemangsa.
Demokrasi (Tak) Tepat Sasaran
Sebelum Indonesia merdeka, kita sudah mengenal istilah demokrasi yang berakar dari tradisi kolektivisme rakyat dan permusyawaratan di desa.
Muhammad Hatta menyatakan dalam bukunya Demokrasi Kita, bahwa demokrasi berasal dari tradisi kolektivisme dari desa yang berakar dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yaitu spirit gotong royong, tradisi pemilihan secara langsung, terbuka, jujur dan adil tanpa memanipulasi dan pembajakan serta money politic, dengan melibatkan partisipasi cratos sebagai pemilik atau tuan dari demokrasi.
Tradisi kolektivisme dibangun dari desa hasil transformasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Karena itu, setiap suksesi kepemimpinan politik dalam sistem demokrasi pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang meritokrasi dan qualifaid serta amanah berjalan di atas kepentingan (tuan) demokrasi yaitu rakyat.
Hanya saja, yang terjadi tidak berbanding lurus dengan substansi demokrasi itu sendiri.
Perilku elit politik di pelbagai ranah kekuasaan hampir semua tidak mencerminkan representasi rakyat sebagai (tuan) demokrasi.
Artinya, demokrasi sekadar dijadikan alat prosedur politik saja, tetapi secara substansi demokrasi hampir tidak tepat sasaran karena rakyat hanya dijadikan "sapi perahan" dibutuhkan ketika kontestasi lima tahun sekali, dan ironisnya mereka tidak dapat menikmati kesejahteraan sebagai pemilik kedaulatan tertinggi demokrasi.
Inilah problem demokrasi yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas meskipun perbaikan kerap dilakukan, tetapi hasilnya tidak jauh beda.
Pun problem demokrasi tidak hanya berhenti pada soal kesejahteraan saja, tetapi juga menyangkut teknis prosedur menyelenggaraan demokrasi juga kerap diwarni intrik politik, manipulasi, intimidasi, black campaign dan sebagainya.
Fakta ini paling tidak kita temukan dalam setiap kontestasi politik baik itu Pilpres, Pileg, maupun Pilkada.
Diakui atau tidak, kualitas demokrasi ditentukan oleh dua unsur jika terpenuhi.
Pertama, kesejahteraan rakyat sebagai tuan atau pemilik kedaulatan demokrasi harus terpenuhi. Karena kesejahteraan adalah prasyarat mutlak dan indikator kemajuan demokrasi, lebih jauh lagi tak ada lagi kemiskinan dan busung lapar menghantui republik ini.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat dan distribusi pembangunan yang merata dipel bagai daerah.
Kalau menggunakan logika jernih dan jujur, saat ini pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengalami hambatan yang sangat serius.
Karena itu, pemerintah semakin agresif menggenjot laju pertumbuhn ekonomi meskipun belum menuai hasil yang maksimal.
Adalah tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali untuk terus mendorong terwujudnya demokrasi yang substansial dengan harapan demokrasi kita dapat mencapai titik kesempurnaan.()
*Pemerhati Sosial Politik dan mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta