Beranda / Opini / Determinan Sekda Aceh?

Determinan Sekda Aceh?

Senin, 20 Januari 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien. [Foto: diokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Artikel ini akan membahas determinan (faktor penentu) Sekretaris Daerah Aceh yang diatur Pasal 107 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait bagaimana persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekda Aceh di Pemerintahan Aceh yang akan didefinitifkan pada tanggal 7 Februari 2025 mendatang. 

Posisi Sekda Aceh memang agak berbeda dengan sekda-sekda provinsi lain yang ada di Indonesia, Sekda Aceh menjadi penentu bagaimana pemerintahan Aceh 2025-2030 berjalan efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif bagi rakyat Aceh ke depannya di bawah Gubernur Aceh dan Wakil Gubernur Aceh selaku pemimpin otoritatif.

Memang secara administratif sekda Aceh adalah selaku pemegang jabatan karir tertinggi bagi pns di pemerintahan Aceh dan sekaligus ia memiliki fungsi selaku pembina kepegawaian daerah. Fungsionaris Sekda Aceh perlu dan harus memiliki loyalitas tinggi pada pimpinan, memiliki karakteristik, integritas, memiliki ideologi keacehan, memahami khusus dan keistimewaan Aceh, memahami MoU Helsinki, ada sikap moralitas, disiplin, enerjik dan terpenting memilki kemampuan manajerial dalam tata kelola pemerintahan Aceh.

Dua paragraf di atas adalah determinan yuridis dan determinan transcendental yang wajib diisi oleh Sekda Aceh definitif nanti. Lalu pertanyaanya adalah apa yang harus menjadi determinan yuridis Sekda Aceh secara eksplisit? Dan bagaimana determinan transcendental Sekda Aceh secara eksplisit agar stabillitas kekuasaan di Aceh terjaga dengan baik?

Determinan atau faktor penentu Sekda Aceh secara detail diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh. Pengaturan tersebut memang dijelaskan bahwa posisi sekda Aceh harus memenuhi PP No. 58 Tahun 2009 tersebut. 

Kedudukan sekda Aceh harus melalui seleksi oleh tim penilai calon sekretaris Daerah Aceh seperti diamanahkan peraturan pemerintah tersebut. Salah satu persyaratan administratif yakni sekurang-kurangnya pernah menduduki dua jabatan struktur eselon IIa yang berbeda. 

Tapi dibalik itu Gubernur Aceh selaku Kepala Pemerintah Aceh memiliki hak prerogatif walaupun tetap melakukan konsultasi terhadap presiden. Hak prerogatif dimaknai adalah Gubernur selaku kepala pemerintahan Aceh dalam konteks kekhususan dan keistimewaan Aceh bisa saja memilih sekda Aceh dengan norma Pasal 23 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2009 dengan alasan chemistry yang kuat dimasa awal-awal pelantikan beliau. 

Artinya, Sekda Aceh yang ditunjuk Mualem masa 100 hari kerja akan sejalan dengan sekda Aceh definitif. Karena antara Gubernur Aceh dengan sekda Aceh, haruslah orang yang tepat dan memahami karakteristik atau gaya kepemimpinan Mualem selaku Gubernur Aceh dan memahami gaya Dek Fadh selaku Wakil Gubernur Aceh.

Lalu, yang menjadi faktor penentu transendetal untuk Sekda Aceh definitif haruslah memahami kepentingan nasional Aceh, kepentingan bangsa Aceh, kepentingan rakyat Aceh, kepentingan jiwa dan raga rakyat Aceh. Jika, faktor ini diakomodir dalam tim penilai Sekda Aceh nantinya maka yang akan diuntungkan bukanlah sosok Mualem dan sosok Dek Fadh selaku pemimpin Aceh, tetapi yang akan diuntungkan adalah rakyat Aceh. 

Artinya, sekda Aceh definitif harus bertujuan untuk menjamin agar ia paham status otonomi khusus Aceh sehingga ia akan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kekhususan Aceh. Jabatan sekda Aceh haruslah dipahami sebagai fungsionaris yang paham manajerial, mampu mengimplementasikan visi misi Gubernur Aceh status quo untuk mempercepat program-program Mualem selaku Gubernur Aceh 2025-2030.

Dua faktor determinan sekda Aceh di atas harus dipahami sebagai penguatan pemerintahan Aceh dibawah komando Panglima GAM Muzakir Manaf dan Dek Fadh selaku Ketua Gerindra Aceh. Yang paling mendasar yang wajib segera yakni program 100 hari Gubernur, karena rakyat Aceh menantikan sentuhan-sentuhan kebijakan Gubernur Muzakir Manaf. Kebijakan 100 hari harus dibarengi dengan program kongkrit dan secara administratif, hal itu diurus oleh fungsionaris Sekda Aceh kapabel.

Sekda Aceh Progressif

Aceh membutuhkan sekda yang progresif, yang siap keluar dari kotak pandora selama ini yang terjadi di Aceh, Sekda Aceh akan banyak dihadapkan dengan pekerjaan rumah tangga pemerintahan Aceh yang selama ini belum terselesaikan oleh pemerintahan sebelum dan melanjutkan program-program yang baik selama ini. 

Beberapa yang mendesak adalah masih tingginya angka kemiskinan di Aceh sebesar 12,64%, tingginya angka pengangguran terbuka di Aceh mencapai 5,75%, upaya menaikan kewenangan Aceh sektor migas di laut 0-200 mil dengan skema 70% untuk Aceh dan 30% untuk Indonesia, perpanjangan dana otonomi khusus Aceh sebanyak 2,25% tanpa batas waktu, memaksimal pelayanan kesehatan diseluruh rumah sakit di Aceh, memberikan beasiswa bagi anak-anak rakyat Aceh, membumi nilai-nilai syari’at Islam dan nilai-nilai MoU Helsinki bagi generasi muda di Aceh dan masih banyak hal lain lagi yang akan dikerjakan oleh Gubernur Aceh melalui tangan administratif dan manajerial seorang Sekda Aceh yang progresif.

Terakhir, Sekda Aceh yang kita harapkan adalah Sekda Aceh yang mampu membawa Aceh Islami, maju, bermartabat dan berkelanjutan. Implementasi visi misi ini harus benar-benar diaktualisasikan nanti dalam APBA-APBA ke depanya. Semoga program kerja bisa dilaksanakan dalam dalam lima tahun ini, harapannya demikian. 

Kita sebagai rakyat Aceh menaruhkan harapan besar bagi Mualem untuk membawa Aceh berubah total, mencapai angka kemandirian yang total, penerapan self-government sesuai amanah MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 

Dengan demikian kita percaya bahwa kata Mualem berasal dari bahasa arab yakni Mualimin berasal dari kata ‘alama-yu’allimu-‘ilman wa mu’alliman. Berarti menangkap hakekat sesuatu, hakekat sesuatu yang diharapkan rakyat Aceh adalah kebijakan beliau lewat pilihan sekda Aceh yang progressif.

Semoga, Wallahu’alam bishawab.[**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI