Evaluasi Pejabat di Akhir Masa Jabatan Antara Kepentingan Publik dan Ambisi Politik
Font: Ukuran: - +
Penulis : Nazaruddin
Nazaruddin, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Administrasi Publik, FISIP Universitas Malikussaleh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Penjabat Gubernur Aceh, Safrizal ZA, baru saja mengevaluasi 20 pejabat eselon II melalui uji kompetensi pada 23-24 Januari 2025. Meski diklaim sebagai upaya meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, kebijakan ini menuai kontroversi karena dilakukan di akhir masa jabatan Safrizal, hanya dua minggu sebelum pemerintahan baru resmi menjabat. Pertanyaan besarnya adalah: apakah ini benar-benar untuk kepentingan publik, atau sekadar upaya terakhir mempertahankan pengaruh politik sebelum Safrizal lengser?
Urgensi yang Dipertanyakan dan Waktu yang Tidak Tepat
Safrizal beralasan bahwa evaluasi ini diperlukan untuk memastikan pejabat eselon II mendukung program pemerintahan baru di bawah Mualem-Dek Fadh. Namun, Jubir Gubernur terpilih, Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man), mempertanyakan urgensi kebijakan ini. Alasan utama yang patut dipertimbangkan adalah mengapa evaluasi harus dilakukan di masa transisi, ketika pemerintahan baru belum resmi menjabat. Seharusnya, langkah ini ditunda hingga Mualem-Dek Fadh mengambil alih kekuasaan, sehingga mereka dapat mengevaluasi pejabat sesuai visi dan misi mereka sendiri.
Kebijakan ini terkesan terburu-buru dan kurang mempertimbangkan konteks politik yang sensitif. Safrizal, sebagai Penjabat Gubernur, seharusnya fokus pada memastikan transisi yang mulus, bukan justru menciptakan kebijakan yang berpotensi memicu ketegangan dengan pemerintahan baru. Ada kemungkinan bahwa ini adalah upaya terakhir Safrizal untuk memengaruhi struktur birokrasi sebelum ia meninggalkan jabatannya. Jika tujuannya memang untuk kepentingan publik, mengapa tidak melibatkan pemerintahan baru secara lebih intensif dalam proses evaluasi?
Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep policy window (jendela kebijakan) yang diperkenalkan oleh John Kingdon dalam Multiple Streams Framework. Safrizal seolah memanfaatkan momen transisi sebagai peluang untuk mendorong kebijakan ini. Namun, pertanyaan mendasar adalah apakah kebijakan ini benar-benar dibutuhkan, atau sekadar dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Jika tujuannya memang untuk kepentingan publik, mengapa tidak melibatkan pemerintahan baru secara lebih intensif dalam proses evaluasi?
Transparansi yang Minim dan Potensi Diskriminasi
Meskipun Safrizal mengklaim telah berkonsultasi dengan Gubernur terpilih Mualem, detail persetujuan dan proses evaluasi ini tidak dijelaskan secara transparan kepada publik. Kriteria penilaian uji kompetensi dan hasil evaluasi seharusnya diumumkan secara terbuka. Tanpa transparansi, kebijakan ini berisiko dianggap sebagai alat untuk mempromosikan kepentingan tertentu, bukan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan.
Selain itu, adanya tim panitia seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Safrizal menimbulkan pertanyaan tentang independensi proses evaluasi. Apakah Pansel benar-benar netral, atau ada kepentingan politik yang memengaruhi keputusan mereka? Jika tidak ada transparansi, kebijakan ini justru dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas pemerintahan Aceh. Lebih buruk lagi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakadilan jika pejabat yang tidak sejalan dengan kepentingan Safrizal atau kelompok tertentu dirugikan dalam proses ini. Jika pejabat yang dievaluasi merasa dirugikan dan mengajukan protes, hal ini dapat menciptakan konflik internal yang justru menghambat kinerja pemerintahan baru.
Konsep principal-agent problem juga relevan dalam konteks ini. Safrizal, sebagai agen yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, seharusnya bertindak untuk kepentingan publik. Namun, ada potensi ketidakselarasan kepentingan antara Safrizal (sebagai agen) dan Gubernur terpilih Mualem (sebagai prinsipal). Apakah Safrizal benar-benar bertindak untuk kepentingan publik, atau ada agenda lain yang ingin ia capai sebelum masa jabatannya berakhir?
Pelanggaran Prinsip Kebijakan Publik yang Baik
Kebijakan publik yang baik seharusnya didasarkan pada prinsip kepentingan publik, transparansi, dan akuntabilitas. Namun, kebijakan evaluasi pejabat eselon II ini justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Ada kemungkinan bahwa kebijakan ini bukan untuk kepentingan publik, melainkan sekadar upaya Safrizal untuk meninggalkan warisan politik sebelum masa jabatannya berakhir.
Selain itu, kebijakan ini juga melanggar prinsip inkrementalisme, di mana perubahan seharusnya dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Evaluasi yang dilakukan secara terburu-buru di akhir masa jabatan justru menimbulkan resistensi dan ketidakpercayaan, baik dari pemerintahan baru maupun masyarakat Aceh. Seharusnya, evaluasi ini dilakukan lebih awal atau ditunda hingga pemerintahan baru resmi menjabat.
Dampak terhadap Masa Depan Pemerintahan Aceh
Kebijakan ini tidak hanya berpotensi menciptakan ketegangan politik, tetapi juga dapat memengaruhi masa depan pemerintahan Aceh. Jika evaluasi ini dianggap tidak adil atau tidak transparan, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan baru. Bagaimana Mualem-Dek Fadh dapat memimpin dengan efektif jika mereka harus menghadapi warisan kebijakan yang kontroversial dari pemerintahan sebelumnya?
Selain itu, kebijakan ini juga dapat menciptakan polarisasi di lingkungan birokrasi Aceh. Jika pejabat yang dievaluasi merasa dirugikan dan memilih untuk tidak mendukung pemerintahan baru, hal ini dapat menghambat kinerja pemerintahan dan merusak tata kelola yang seharusnya dibangun dengan baik.
Kebijakan evaluasi pejabat eselon II oleh Safrizal ZA adalah contoh bagaimana kebijakan yang terlihat baik di permukaan dapat menimbulkan kontroversi jika tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Kebijakan ini terkesan terburu-buru, kurang transparan, dan berpotensi menciptakan ketidakadilan serta ketegangan politik.
Sebagai rekomendasi: Tunda Evaluasi, Proses evaluasi sebaiknya ditunda hingga pemerintahan baru resmi menjabat, agar Mualem-Dek Fadh dapat mengevaluasi pejabat sesuai dengan visi dan misi mereka; Tingkatkan Transparansi, Jika evaluasi harus dilakukan, kriteria dan hasilnya harus diumumkan secara terbuka kepada publik untuk memastikan akuntabilitas; Hindari Intervensi Politik, Safrizal seharusnya menghindari kebijakan yang berpotensi menciptakan ketegangan dengan pemerintahan baru, dan fokus pada memastikan transisi yang mulus.
Kebijakan publik bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan kapan hal itu dilakukan. Jika tidak hati-hati, kebijakan yang terlihat baik justru dapat merusak kepercayaan publik dan menciptakan masalah baru. Aceh membutuhkan kepemimpinan yang bijaksana, terutama dalam masa transisi yang krusial ini. Mari kita pastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan rakyat Aceh, bukan sekadar untuk mempertahankan pengaruh politik sesaat. [**]
Penulis: Nazaruddin [Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Administrasi Publik, FISIP Universitas Malikussaleh]
- Buka Job Fit Pejabat Eselon II, Akademisi Sebut Pj Gubernur Aceh Langgar Etika Politik
- Verifikasi Penerima RLH, Pj Gubernur Safrizal Pastikan Tidak ada Agen Ambil Laba
- Pj Gubernur Safrizal SampaikanUsulan Pengangkatan Bupati dan Walikota Terpilih kepada Mendagri
- Pj Gubernur Safrizal: Selamat Datang Kepala BI Perwakilan Aceh yang Baru