Fenomena "Raja Kubangan" dalam Pilpres 2024
Font: Ukuran: - +
Penulis : Firdaus Mirza
Firdaus Mirza Nusuary, S.TP, M.A. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Opini - Konsep "Raja Kubangan" kita analogikan katak besar yang hidup dalam kubangan kerbau yang seakan-akan dia penguasa paling besar, padahal hanya sebatas kubangan.
Begitupun jika kita merujuk pada figur politik yang tampaknya mengumpulkan kekuatan politik di sekitarnya seperti air yang mengalir ke kubangan, tetapi pada akhirnya tidak menghasilkan perubahan substansial yang signifikan. Fenomena ini menjadi menarik ketika kita amati dari perspektif sosiologi politik, karena mencerminkan pada bagaimana dinamika kekuasaan dan interaksi dalam masyarakat.
Dalam Konteks Sosiologis
Pertama-tama, perlu dicatat dan diketahui bahwa dalam masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, politik bukan hanya tentang individu, tetapi juga tentang jaringan dan relasi sosial. Seorang "Raja Kubangan" yang mungkin muncul karena kemampuannya untuk memanfaatkan jaringan-jaringan kekuasaan yang telah ada. Ini menciptakan struktur politik yang mungkin lebih menguntungkan bagi elit tertentu daripada masyarakat luas.
Elitisme dan Nepotisme
Dalam konteks sosiologi politik, fenomena "Raja Kubangan" dapat diasosiasikan dengan elitisme dan nepotisme. Pemimpin semacam itu mungkin berasal dari lingkaran elit yang mendominasi politik dan ekonomi, dan cenderung mempertahankan status quo yang menguntungkan kelompok mereka. Dalam situasi ini, dalam kacamata sosiologi kita dapat memahami bagaimana kekuasaan dan akses ke sumber daya dapat terkonsentrasi di tangan sedikit orang.
Partisipasi Masyarakat
Penting untuk kita melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam politik yang dipengaruhi oleh keberadaan "Raja Kubangan". Apakah masyarakat merasa terwakili dengan baik ataukah mereka merasa diabaikan? Dalam perspektif sosiologi politik, tingkat partisipasi politik masyarakat dapat mencerminkan tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi politik dan apakah mereka merasa memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan kebijakan tersebut.
Kesenjangan Sosial
Kita memahami dampak kebijakan politik yang diambil oleh "Raja Kubangan" terhadap kesenjangan sosial. Apakah kebijakannya memperkuat ketidaksetaraan ataukah menguranginya? Kesenjangan sosial yang membesar bisa menjadi sumber konflik sosial dan ketidakstabilan dalam masyarakat. apalagi ketika dinamika yang muncul hanya berkutat pada satu tempat dan tidak memiliki progress perubahan signifikan, atau Bahasa lainnya berebut di kubangan kecil padahal dunia itu besar.
Kendali Media dan Opini Publik
Menariknya ketika fenomena "Raja Kubangan" ini didukung oleh kendali media dan opini publik. Dalam paradigma sosiologi, ini dilihat pada bagaimana media membentuk opini publik dan atau sebaliknya memberikan wawasan pada bagaimana seorang pemimpin politik dapat memanfaatkan citra dan naratif untuk mengamankan dukungannya. [**]
Penulis: Firdaus Mirza Nusuary, S.TP, M.A. (Dosen Sosiologi FISIP USK]