Formalisasi Syariat Islam Bukan Syariat Islam: Tanggapan Atas Jabal Ali Husin Sab
Font: Ukuran: - +
Direktur Program Pascasantri Aceh, Miswar Ibrahim Njong. [Foto: ist]
DIALEKSIS.COM - Saat memberi penilaian terhadap formalisasi syariat Islam ala Aceh, saya membayangkan TM Jafar Sulaiman menulisnya dalam amuk kecewa. Lebih dari itu, bahkan bisa jadi ia menulis esai tersebut dengan begitu marahnya. Membuat hal-hal penting yang ingin ia sampaikan menjadi kabur, dan walau yang dikatakannya cukup reflektif dan penting, tapi itu lebih terdengar seperti ia sedang meracau.
Dalam tulisan yang ia beri judul Masalah Utama Aceh Itu Bernama Kekhususan, kalau kita baca dengan terburu-buru apalagi sembari menikmati sepiring mie Aceh yang pedas, memang dapat membuat kita ikut reaksioner pula dengan menyangka bahwa TM Jafar Sulaiman ini anti syariat Islam.
Tapi mana mungkin, sebab baik secara pikiran maupun tindakan, TM Jafar Sulaiman ini adalah progresif tapi sprituil. Soal ini sodara dapat melihat bagaimana keintimannya terhadap Islam melalui bacaan-bacaan yang sering ia unggah di akun media sosialnya dan keterlibatannya sebagai jamaah sebuah tarekat tasawuf.
Masalahnya karena terlalu geram dengan politisasi syariat Islam, TM Jafar Sulaiman, tak sempat membongkar sejelas-jelasnya bagaimana interpretasi syariat Islam dan kekeliruan formalisasinya di Aceh yang menurutnya telah berdampak begitu signifikan terhadap tingginya angka kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, memunculkan kemudharatan dan menyuburkan kebodohan.
Ini yang membuat Jabal Ali Husin Sab salah sangka dan terdorong untuk melakukan kritik yang cukup keras, bahkan dengan menuduh TM Jafar Sulaiman sebagai lemah nalar, sempit perspektif dan terkungkung wacana, lewat tulisannya yang berjudul Masalah Utama Aceh: Menjawab TM Jafar Sulaiman. Tuduhan-tuduhan yang menurut saya dilatari oleh ketergesa-gesaan dan tidak pada tempatnya.
Dengan pengungkapannya tentang data dari negara-negara Barat yang katanya mengalami colaps sosial, Jabal Ali Husin Sab telah mendudukkan qanun-qanun di Aceh yang sebagian besarnya merupakan produk ijtihad, sebagai syariat Islam yang mutlak suci dan mustahil keliru. Padahal formalisasi syariat Islam dan syariat Islam itu sendiri pada titik tertentu harus dipandang berbeda, dan perlu dipahami pula secara terpisah.
Apakah setiap hukum yang diqanunkan di Aceh dapat dikatakan sebagai syariat Islam? Atau justru qanun-qanun yang disahkan di Aceh sebagian besar isinya merupakan hasil ijtihad, yang kemudian dianggap sebagai syariat Islam?
Untuk mengurai pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu mengingat kembali pelajaran awal saat mengaji tentang apa itu syariat.
Kata Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, syariat adalah sejumlah teks atau dalil yang tidak multitafsir dari Al-Quran, teks hadits, teks yang didapat dari perbuatan Nabi SAW dan teks yang didapat dari taqrir Nabi SAW, serta ijma’ para sahabat.
Jika hukum yang lahir dari teks yang qath’i (pasti) maka ia dapat disebut sebagai syariat. Dan biasanya syariat ini berlaku umum, bersifat universal. Akan tetapi hukum-hukum yang lahir bukan dari teks yang qath’i (pasti), namun muncul lewat hasil penalaran para mujtahid atas dalil-dalil terperinci maka disebut juga sebagai hasil ijtihad atau sebagai produk fiqh. Karena didapatkan lewat proses ijtihad, maka seringkali terdapat perbedaan antara satu pemikiran fiqh dan pemikiran fiqh lainnya.
Syariat biasanya bersifat universal. Artinya, berlaku terhadap siapapun, di manapun dan kapanpun. Sementara fiqh tidak demikian. Misalnya kewajiban shalat itu merupakan syariah. Dan siapapun, dimanapun dan kapanpun, seseorang wajib melaksanakannya, namun untuk persoalan apa baju yang dikenakan saat melakukan shalat, itu menjadi pembahasan fiqh yang tentu saja berbeda tergantung pendapat para ulama dan wilayah.
Dengan demikian, sebagian besar qanun yang disebut-sebut sebagai syariat Islam di Aceh merupakan hasil ijtihad, atau sebagai produk fiqh yang diundangkan atau dalam studi hukum Islam dikenal sebagai taqnin al-ahkam. Contoh qanun yang dapat diketengahkan sebagai hasil ijtihad adalah qanun LKS dan sebagian qanun Jinayat. Dua qanun ini merupakan produk fiqh yang diundangkan menjadi aturan yang mengikat.
Semua pembelajar hukum Islam memahami bahwa membuat formalisasi hukum Islam (taqnin al-ahkam) pada hakikatnya adalah suatu tindakan memilih pilihan hukum yang mungkin. Sebab dalam hukum Islam terutama sekali pada tataran fiqh terdapat banyak sekali cara pandang dan spektrum teori yang bisa menjadi pilihan bagi penyusun qanun.
Sebagian besar ulama memberikan penekanan bahwa setiap upaya formalisasi syariat Islam harus di dasari pada mashlahah yaitu untuk menghadirkan kemashlahatan bagi masyarakat. Bahkan dalam memformalisasikan syariat Islam Syaikh Yusuf al-Qaradhawi mengajukan tiga syarat, yaitu bahwa suatu qanun tidak boleh bertumpu hanya pada satu mazhab fiqh saja, penyusun qanun hendaknya memilih teori dan cara pandang mazhab fiqh yang paling kuat argumentasinya sesuai dengan maqashid syar’iyah (maksud syariat) yang menjamin kemashlahatan bagi masyarakat dan dilakukannya evaluasi terhadap dampak penerapan hukum.
Oleh karena itu, saya cukup memaklumi kekecewaan seorang TM Jafar Sulaiman terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh yang sejauh ini belum dapat membawa kemashlahatan sebagaimana tujuan pensyariatan. Sudah saatnya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi syariat Islam, setiap warga Aceh perlu melakukan evaluasi terhadap formalisasi syariat Islam. Bukan membatalkan syariat Islam sama sekali, akan tetapi mencari formula baru dari sekian banyak spektrum teori dalam hukum Islam sebagai jalan keluar dari berbagai masalah yang menghujam Aceh. Yaitu suatu syariat Islam yang membebaskan Aceh dari politisasi syariat Islam sendiri, meretas syariah menjadi revolusi yang melahirkan keadilan, memihak kaum lemah, memberi kedamaian dan melahirkan kebijaksanaan.
Maka setiap kritik terhadap formalisasi syariat Islam tidak boleh dengan tergesa-gesa disimpulkan sebagai upaya untuk membatalkan syariat Islam. Kritik atas formalisasi syariat Islam harus dipandang sebagai evaluasi bersama terhadap dampak dari penerapan qanun. Sampai kapanpun evaluasi harus terus dilakukan sebab formalisasi syariat Islam merupakan hasil penalaran manusia yang rentan mengalami manipulasi dan politisasi.
Dalam I’lam al-Muwaqqi’in, Ibn al-Qayyim pernah mengeluarkan kritik yang cukup menohok bahwa, syariat seluruhnya adalah tentang hikmah dan kesejahteraan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat seluruhnya adalah tentang keadilan, kasih sayang, hikmah dan kebaikan. Oleh karenanya, jika terdapat suatu aturan yang menggantikan keadilan dengan ketidakadilan, kasih sayang dengan kezaliman, maslahat dengan mafsadat, ataupun hikmah dengan omong kosong, maka aturan itu tidaklah termasuk syariat, sekalipun diklaim demikian menurut beberapa interpretasi.
Penulis: Miswar Ibrahim Njong
Direktur Program Pascasantri Aceh