Rabu, 02 April 2025
Beranda / Opini / Gas Tangkulo-1: Ujian Kebijakan Gagal Atasi Kutuk Sumber Daya Alam

Gas Tangkulo-1: Ujian Kebijakan Gagal Atasi Kutuk Sumber Daya Alam

Kamis, 27 Maret 2025 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nazaruddin

Nazaruddin, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh. [Foto: HO/dokpri]



DIALEKSIS.COM | Opini - Di Aceh, eksplorasi gas Tangkulo-1 oleh Mubadala Energy bukan sekadar proyek ekonomi, tapi ujian bagi kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Dalam prisip "Resource Curse" (kutuk sumber daya alam) menjelaskan paradoks di mana negara/daerah kaya SDA justru terbelakang akibat ketimpangan, korupsi, dan kelemahan institusi. 

Aceh adalah contoh klasik: LNG Arun pernah menjadi mesin devisa, tapi masyarakatnya tetap miskin. Kini, proyek Tangkulo-1 berpotensi mengulang kegagalan itu jika kebijakan rekrutmen tenaga kerja dan bagi hasil tidak direformasi secara radikal.

Kegagalan Rekrutmen Tenaga Kerja

UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan prioritas tenaga kerja lokal dalam proyek strategis. Namun, dalam praktik, perusahaan migas kerap mengabaikan ini. Di Blok Mahakam, Kaltim, hanya 15% tenaga kerja berasal dari lokal. Di Aceh, pola serupa terlihat pada proyek LNG Arun: pekerja teknis dan manajerial didatangkan dari luar, sementara warga Aceh hanya jadi buruh kasar.

Mubadala Energy berdalih membutuhkan tenaga ahli, tapi ini adalah pembenaran yang menipu. Dalam pendekatan Human Capital menekankan bahwa kualitas SDM lokal bisa ditingkatkan melalui pelatihan dan pendidikan. Jika sejak 2005 Aceh memiliki otonomi khusus, mengapa Pemerintah Aceh tidak membangun sekolah vokasi migas atau beasiswa teknik untuk pemuda Aceh? Alih-alih mempersiapkan SDM, kebijakan selama ini hanya memfasilitasi perusahaan asing merekrut pekerja impor.

Di kontrak Tangkulo-1, tidak ada klausul yang mengikat secara hukum untuk memastikan kuota pekerja lokal. Padahal, di negara seperti Norwegia, perusahaan migas wajib merekrut minimal 50% tenaga kerja lokal dan melatih mereka ke level ahli. Di Aceh, kebijakan rekrutmen hanya sekadar retorika "prioritas lokal" tanpa sanksi tegas. Jika ini terus dibiarkan, proyek miliaran dolar ini hanya akan menjadi pembajakan kesempatan kerja oleh asing.

Otonomi Khusus vs Kerakusan Pusat

UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menjanjikan keistimewaan dalam pengelolaan SDA, termasuk porsi bagi hasil migas lebih besar. Namun, UU Migas No. 22/2001 justru menegaskan bahwa hanya 15% hasil migas diberikan ke daerah penghasil, dengan rincian: 6% untuk kabupaten/kota, 6% untuk provinsi, dan 3% untuk dana reboisasi. Aceh, dengan status otonomi khusus, seharusnya mendapat tambahan porsi, tetapi hingga kini, tidak ada regulasi turunan yang menjabarkannya.

Ini adalah bentuk kegagalan kebijakan desentralisasi. Pendekatan Fiscal Decentralization menekankan bahwa daerah penghasil SDA harus mendapat kompensasi adil untuk membiayai pembangunan dan mitigasi dampak lingkungan. Namun, Aceh tetap terjebak dalam sistem bagi hasil yang timpang. Sebagai perbandingan: di Alberta, Kanada, provinsi penghasil minyak mendapat 50% royalti dari perusahaan migas. Di Aceh, dengan segala risiko lingkungan dan sosial yang ditanggung, 15% adalah angka yang tak masuk akal.

Meskipun dana otonomi khusus (Otsus) Aceh seharusnya berfungsi sebagai instrumen untuk mendorong pemerataan pembangunan, realitasnya menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Pemotongan dana oleh pemerintah pusat yang terus berlanjut, termasuk rencana pengurangan pada tahun 2025 dengan dalih "efisiensi," menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen terhadap desentralisasi fiskal. Jika pola ini tetap dipertahankan, bagaimana mungkin Aceh membangun infrastruktur pendukung dari hasil migasnya sendiri?

Ketidakadilan Ganda: CSR yang Menjadi Alat Pencuci Dosa

Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya menjadi instrumen perusahaan untuk mengembalikan manfaat ke masyarakat. Namun, Stakeholder Capitalism yang diadopsi banyak perusahaan justru mengubah CSR menjadi alat pencitraan. Di Blok Riau, dana CSR PT Chevron lebih banyak dipakai untuk membangun taman kota ketimbang merehabilitasi sungai yang tercemar limbah migas.

Di Aceh, Mubadala Energy wajib mengalokasikan dana CSR, tetapi tanpa kerangka kebijakan yang jelas, dana ini rentan disalahgunakan. Contohnya: program pelatihan singkat yang tidak sesuai kebutuhan pasar, atau pembangunan pos kesehatan tanpa dukungan tenaga medis tetap. CSR tidak boleh sekadar bagi-bagi uang, tapi harus menjadi investasi jangka panjang, seperti beasiswa S1, S2 dan S3 di bidang energi untuk pemuda Aceh atau pendirian pusat penelitian migas di UNIMAL maupun di USK.

Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang CSR masih sangat lemah. UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menyebutkan CSR sebagai kewajiban "moral", tanpa sanksi hukum. Akibatnya, perusahaan bisa dengan mudah mengalokasikan dana CSR sesuka hati, atau bahkan menggelapkan dana tersebut melalui proyek fiktif.

Aceh Harus Menjadi Episentrum Reformasi Kebijakan

Untuk menghindari "kutuk sumber daya alam", Aceh perlu memaksa perubahan kebijakan melalui tiga langkah:

Memperjuangkan Kontrak Berbasis Kinerja (Performance-Based Contract), Kontrak migas harus mengikat perusahaan untuk memenuhi target rekrutmen tenaga kerja lokal (misal: 60% pekerja non-teknis dan 30% pekerja teknis dalam 5 tahun). Jika gagal, sanksi finansial harus diterapkan. Model ini sukses di Brasil, di mana perusahaan migas wajib melatih tenaga lokal hingga memenuhi standar.

Revisi UU Migas untuk Porsi Bagi Hasil yang Adil, Aceh harus memimpin koalisi daerah penghasil migas untuk menuntut revisi UU Migas. Porsi bagi hasil minimal harus dinaikkan menjadi 40% untuk daerah penghasil, dengan mekanisme pengawasan ketat oleh DPR Aceh.

Mengubah CSR Menjadi "Dana Abadi" untuk Pendidikan dan Lingkungan, Alokasikan 70% dana CSR untuk program jangka panjang, seperti: Beasiswa energi terbarukan dan lainnya untuk 2.000 pelajar Aceh untuk jenjang S1,S2 dan S3; Dana abadi lingkungan, untuk merehabilitasi pesisir yang rusak akibat eksplorasi dan; Pusat inovasi migas yang melibatkan kampus UNIMAL, USK dan perguruan tinggi lainnya yang ada di Aceh serta UMKM lokal.

Gas untuk Kedaulatan, Baku Hantam untuk Keadilan

Proyek Tangkulo-1 adalah ujian bagi Aceh: apakah akan menjadi lokasi eksploitasi baru, atau pelopor model pengelolaan SDA yang berkeadilan. Konsep kebijakan telah memberi kita peta jalan - tinggal keberanian politik untuk mengeksekusi.

Jika Pemerintah Aceh masih diam, maka bersiaplah menyaksikan pemuda Aceh menjadi kuli di tanah sendiri, sementara gasnya dibawa pergi untuk menghidupkan lampu di negeri orang. Jangan mau jadi penonton. Gas Aceh harus menjadi alat kedaulatan, bukan komoditas yang diperdagangkan oleh elite dan asing. [**]

Penulis: Nazaruddin (Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI