Hajatan Elektoral Usai, Saatnya Koetaradja Menata Dirinya Kembali
Font: Ukuran: - +
Penulis : Musrafiyan
Musrafiyan SH MH, Advokat, praktisi hukum dan Ketua Forum Alumni Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pertarungan elektoral 2024 telah usai, mesin partai politik mulai dimatikan secara perlahan. Walau masih dibayang-bayangi pemetaan kekuatan dan penjajakan kongsi, namun suhu politik relatif sejuk.
Salah satu indikatornya bisa diukur lewat perang opini dan press release yang semakin berkurang bahkan lebih mengarah pada teka-teki dan dugaan masyarakat soal bagaimana prospek yang akan dihadirkan Paslon terpilih terhadap daerah yang akan dipimpinnya.
Tak dapat dipungkiri jika kita disuguhkan antusiasme masyarakat dalam menyalurkan hak suara yang sangat tinggi, dari mulai pemilih pemula hingga lansia. Hal ini menandakan bahwa kesadaran politik para voters menunjukan tren kenaikan yang cukup signifikan.
Publik juga diajarkan soal mekanisme pergerakan para kandidat dalam membangun komunikasi politik lintas kekuatan, untuk setidaknya menjadi sirine bahwa jalan pertarungan sudah membentang panjang dan jumlah dukungan partai politik menjadi bekal optimisme untuk dapat meraih banyak suara dalam mengarungi pertarungan.
Stabilitas pergerakan dan komunikasi yang mumpuni dianggap menjadi prasyarat utama dalam menghimpun konsistensi dukungan dari masyarakat akar rumput, sebagaimana yang tersaji dalam pertarungan elektoral di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Munculnya narasi-narasi insinuatif dan lemparan-lemparan postulat politik yang kabur terhadap para Paslon seyogyanya mudah diatasi dengan manuver komunikasi terbuka dan adu gagasan berbasis argument substantif.
Selamat Illiza - Afdhal !
KIP Kota Banda Aceh telah menetapkan pasangan Illiza Sa’aduddin Djamal - Afdhal Khalilullah sebagai Walikota - Wakil Walikota Banda Aceh terpilih pada Pilkada 2024 yang berlangsung pada Rapat Pleno Terbuka Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Banda Aceh Tahun 2024 di Hermes Palace, Kota Banda Aceh (9/1/2025).
Penetapan tersebut didasari pada hasil rekapitulasi beberapa waktu lalu yang mengumumkan Persentase Perolehan Suara Paslon Walikota dan Wakil Walikota Banda Aceh Pemilihan Tahun 2024, dimana Illiza Sa’aduddin Djamal - Afdhal Khalilullah memperoleh 44.982 Suara, pasangan Zainal Arifin - Mulia Rahman sebanyak 8.596 Suara, pasangan Aminullah Usman - Isnaini Husda mendulang 25.121 Suara, serta pasangan Teuku Irwan Djohan - Khairul Amal sebanyak 29.546 Suara.
Dengan persentase perolehan suara 41,24% dari total 109.075 jumlah suara sah yang masuk, pasangan Illiza - Afdhal yang diusung PPP, GERINDRA, GOLKAR, PNA, dan Partai Ummat ditetapkan sebagai Walikota - Wakil Walikota Terpilih Pilkada Kota Banda Aceh 2024 yang akan dilantik pada tanggal 10 Februari 2024 sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan dalam Perpres No. 80 Tahun 2024.
Sejak awal, Illiza - Afdhal memang digadang memiliki kans besar untuk melaju menjadi Paslon yang diperhitungkan dengan bayang-bayang kompetitor seperti Aminullah sebagai lakon petahana, Irwan Djohan dengan segudang pengalaman di kursi pimpinan legislatif provinsi, serta Zainal Arifin dengan citra baiknya sejak menjabat sebagai anggota legislatif maupun Wakil Walikota Banda Aceh saat bersama Illiza Sa’aduddin Djamal selama dua tahun dua bulan maupun Aminullah Usman Periode 2017 - 2022.
Dengan modal dasar elektoral yang memadai, tak dapat dipungkiri bahwa beragam pihak tentu berkepentingan mendelegitimasi reputasi Paslon nomor urut 1 ini. Serangan terhadap Paslon ini, terkhusus yang menyasar Illiza muncul dari segala penjuru, mulai dari sikap partai pengusung yang mendukung Revisi UU Pilkada, isu perempuan “haram” menjadi pemimpin sehingga menjadi pertentangan Syari’at, money politic, dan sejumlah isu lainnya.
Track Record mumpuni Illiza sebagai Anggota DPRK Banda Aceh, Wakil Walikota Banda Aceh, Walikota Banda Aceh, dan Anggota DPR RI cukup menjadi bukti bahwa sosok srikandi ini bukan politisi “kemarin sore” dengan segudang pengalaman yang diemban berikut dengan latar belakang sosial-politik yang kuat dari sang Kakek sebagai ulama terkemuka di Aceh dan Kedua Orang Tua nya yang sama-sama pernah mengemban amanah anggota DPRK Banda Aceh.
Kemampuan membangun narasi, tata kelola media, manajemen konflik, dan daya tahan dalam tekanan menjadi kunci Illiza - Afdhal untuk terus maju dan memenangi pertarungan. Serangan opini juga sesungguhnya mengarah ke kandidat lain, seperti isu peninggalan hutang pada akhir masa jabatan yang menerpa Aminullah Usman, Pro-Kontra keberadaan bioskop di Banda Aceh yang menjadi Visi - Misi Irwan Johan, serta isu-isu lainnya yang menyerang sejumlah Paslon. Inilah panggung megah Pilkada Kota Banda Aceh yang menyuguhkan gelanggang pertarungan terbuka berebut kuasa.
Banda Aceh Menjadi Display Penting Penyelenggaraan Pilkada di Aceh
Banda Aceh adalah barometer politik regional. Bukan semata menjadi jantungnya Provinsi Aceh karena posisinya yang sebagai Ibu Kota, lebih dari itu, perhelatan demokrasi lokal nya akan menjadi role model bagi daerah lain, terutama program perwujudan tatanan kota nya yang substantif dan visioner.
Oleh karena nya, Pilkada Kota Banda Aceh menjadi display penting dan prestisius dalam rentetan perjalanan pertarungan elektoral. Tak dapat dinafikan, bahwa konsekuensi yang mengiringi jalannya roda kampanye para petarung diisi oleh Partai-Partai besar, termasuk tokoh-tokoh nasional yang memiliki kepentingan langsung dengan kontestan pemenang yang akan menduduki tampuk kuasa Koetaradja.
Dalam konteks ini, figure para Paslon, skema koalisi, dan dialektika isu menjadi modal “belanja” dasar elektoral untuk meraup suara mayoritas pemilih. Penulis dalam hal ini tertarik mempelajari pola pendekatan Illiza - Afdhal sebagai Paslon pemenang konstelasi Pilkada Kota Banda Aceh 2024 dalam meyakinkan pihak lain untuk mengusung dan mendukung mereka mulai dari Pra-Kampanye hingga detik ini pasca penetapan Paslon terpilih oleh KIP Kota Banda Aceh.
Muzafer Sherif dan Caroline Sherif sebagaimana dikutip oleh Richard M. Perloff dalam bukunya, The Dynamic of Persuasion mengembangkan sebuah konsep pendekatan yang penulis anggap linear dengan skema pendekatan yang diterapkan Pasangan Illiza - Afdhal. Richard menyebutkan, bahwa terdapat tiga faktor yang harus dipertimbangkan dalam tindakan persuasi. Pertama, Latitude of Acceptance atau zona penerimaan, dimana dalam hal ini Paslon sebagai Persuader masih bisa diterima dan ditoleransi kehadirannya.
Kedua, Latitude of Rejection atau zona penolakan, kondisi ini biasanya terlihat dari munculnya penolakan atau posisi berseberangan dengan Paslon. Dan Ketiga, Latitude of Non-commitment atau zona tanpa komitmen di saat Paslon tidak diterima tetapi juga tidak ditolak.
Membaca, mengukur, dan memprediksi dialektika kuasa dalam ketiga faktor diatas menjadi agenda Pra-Kampanye yang dianggap penting dilakukan Paslon Illiza - Afdhal. Walaupun kedua sosok ini menyadari seni kemungkinan-kemungkinan yang muncul, sesungguhnya ada kerja dan pendekatan akademik yang bisa memprediksi dan menjadi alat ukurnya.
“Blue-Print” Bagi Kota Banda Aceh
Blue-Print seyogyanya memberikan pandangan menyeluruh tentang Kota Banda Aceh. Visi Kota Banda Aceh untuk menjadi kota yang penduduknya mempunyai peradaban tinggi, menguasai dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat yang dilandasi oleh kearifan lokal dan nilai-nilai Islam, dengan penekanan pada pembangunan Kota yang Tamaddun, Modern, dan Islami sebagaimana yang tertuang pada Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kota Banda Aceh Tahun 2007 - 2027 patut direalisasikan secara serius dan berkala.
Setidaknya terdapat beberapa sektor yang membutuhkan perhatian dan fokus serius bagi Paslon terpilih Illiza - Afdhal lima tahun ke depan dalam penerapannya untuk mengoptimalkan Visi, Misi, dan Arah Pembangunan dalam RPJP Kota Banda Aceh 2007 - 2027.
Dalam hal ini Penulis menyorot 6 Sektor Prioritas, antara lain; (1). Peningkatan Pengamalan Syari’at Islam secara Kaffah. (2). Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih. (3). Pengelolaan Lingkungan Hidup Yang Baik, Berkualitas, dan Optimal. (4), Pencegahan Arus Urbanisasi Serta Optimalisasi Penataan Ruang dan Wilayah Kota . (5). Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. dan (6). Dorongan Pelaksanaan Penegakan Supremasi Hukum. Beberapa sektor ini dianggap prioritas karena dilatarbelakangi oleh posisi Kota Banda Aceh sebagai Kota yang akan membuka peluang besar bagi pengembangan Kawasan Pesisir untuk menciptakan ekonomi baru, termasuk menjadi Kota yang dinamis dan terhubung.
Paling tidak harapan perwujudan Visi - Misi yang tertuang dalam RPJP tersebut besar, mengingat RPJP 2007 - 2027 disusun saat kepemimpinan Mawardy Nurdin sebagai Walikota, dimana Illiza Sa’aduddin Djamal menjabat sebagai Wakil nya.
Secercah harapan tersebut turut muncul dibarengi oleh sinkronisasi Visi-Misi dalam RPJP 2007 - 2027 dengan Visi “Banda Aceh Kota Kolaborasi” yang diusung oleh Illiza - Afdhal, dimana beberapa misi nya, meliputi; Peningkatan Kualitas Pelayanan Dasar, Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan Adaptif, Inovatif, dan Responsif, Penguatan Kemitraan Pembangunan, Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Kemajuan Kota, Peningkatan Nilai-Nilai Agama dan Budaya, Pemberdayaan Generasi Muda dan Kemajuan Olahraga, serta Menjaga Kualitas Lingkungan Hidup.
Menunggu Kejutan !
Dalam kerangka konseptual, sebagaimana terlampir dalam booklet yang disusun oleh Illiza - Afdhal dan Tim bertemakan KolaborAksi; Program Prioritas Illiza Afdhal, Pasangan tersebut memimpikan Banda Aceh sebagai Kota Inklusif dengan pembangunan Partisipatif.
Menyorot mimpi tersebut, tentu saja diperlukan analisis proyeksi peluang untuk memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat akar rumput dan menjadikan Desa sebagai Wilayah otonom yang besar dengan penguatan Peraturan Pemerintah tentang Desa, adanya regulasi yang mengatur tentang partisipasi masyarakat desa dalam proses penyusunan rencana pembangunan, serta mengawal transparansi pemerintah Kota Banda Aceh dengan perencanaan pembangunan yang dimulai tingkat Desa (Bottom Up) sebagai wadah pemberdayaan Perangkat Desa.
Solusi yang digambarkan tersebut bukan tanpa dasar, karena proyeksi kekuatan yang dihasilkan akan cukup besar. Misalnya, keberadaan Lembaga Adat di lingkup Desa dapat dijadikan perekat Social Capital pembangunan Desa. Kemudian nilai-nilai partisipatif yang sudah terbangun melalui berbagai keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Village Planning. Sehingga output yang dihasilkan yaitu terciptanya sumber daya manusia Desa yang dapat mengakses perencanaan Kota secara berkesinambungan. Di samping menjadi langkah penguatan basis Voters tetap stabil dari kalangan masyarakat Desa berbasis upaya transparansi dan ruang partisipasi yang dibuka.
Hal menarik lain yang patut kita sorot bersama, yakni misi Penguatan Kemitraan Pembangunan dan misi pemanfaatan potensi sumber daya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan Kota, yang mengerucut pada satu sektor prioritas lainnya, yakni Infrastruktur. Booklet KolaborAksi; Program Illiza Afdhal menyuguhkan gambaran ragam perencanaan pembangunan dan optimalisasi infrastruktur yang memanjakan mata, seperti halnya Pelebaran Jalan Strategis dan Penataan Pedestrian, Peremajaan Kawasan Strategis Kota, Pembangunan Infrastruktur Strategis (Mencakup; Banda Aceh Outer Ring Road, Fly Over Jalan T. Nyak Arif, Pelebaran Jalan T. Iskandar & Pembangunan Simpang 7 Ulee Kareng, Perencanaan Landmark Baru di Kawasan Ulhee Lheu, Pembangunan Jembatan Wisata Krueng Aceh, Perencanaan Wisata Krueng Mate Lambhuk & Wisata Kuliner Gampong Pande, serta Pembangunan Taman Tugu Pena Simpang Mesra), Peningkatan Kualitas PDAM, dan Pembangunan serta Rehabilitasi Rumah Layak Huni.
Tentu saja terwujudnya program-program diatas adalah mimpi sebagian besar Masyarakat Kota Banda Aceh, hanya saja besarnya perencanaan juga dibarengi dengan besarnya resiko yang kemungkinan besar ditimbulkan, terutama menyikapi kesesuaian pembangunan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Banda Aceh. Ketakutan itu tentu ada, sebab sekarang ini optimisme perwujudan pembangunan suatu Kota rutin mengenyampingkan RTRW yang ada.
Illiza - Afdhal patut mempertimbangkan beberapa kemungkinan-kemungkinan buruk yang muncul, seperti; pertama, adanya perubahan fungsi ruang pada Kawasan-kawasan yang telah direncanakan dalam RTRW Kota. Kedua, dibangunnya perumahan baru pada lokasi yang tidak diperuntukan untuk Kawasan Pemukiman. Ketiga, meningkatnya arus urbanisasi yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan ruang. Keempat, masih terbatasnya aparatur yang menguasai tata ruang, baik dalam perencanaan. Dan Kelima, belum maksimalnya jalinan kerjasama dalam mengawasi pemanfaatan ruang, sering terjadi pengalihan fungsi pada kawasan-kawasan tertentu.
Keberhasilan pelaksanaan penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan Banda Aceh sebagai Kota Kolaborasi perlu dihadirkan dengan pola kepemimpinan yang cakap, berkualitas dan demokratis, menjunjung tinggi penerapan Hukum Islam secara Kaffah, Ketata-pemerintahan yang bersih, keberpihakan pemerintah kepada ekonomi rakyat, mekanisme kontrol dan pengawasan melalui pelaksanaan transparansi serta akuntabilitas publik yang baik, dan menciptakan keteraturan perencanaan pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan.
Tentu saja menyikapi itu semua, sebagai masyarakat biasa kami menitip harapan besar bahwa Koeradja bisa dibangun dengan prinsip Kolaborasi. Dengan tak hanya memimpikan Kota ini bisa tertata dengan baik secara fisik, harapannya SDM Nya turut tertata merata dengan apik.[**]
Penulis: Musrafiyan SH MH (Advokat, praktisi hukum dan Ketua Forum Alumni Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
- Kemenag Banda Aceh Gelar Senam Kebugaran dan Tes Kesehatan bagi JCH 2025
- Satpol PP WH Banda Aceh Rutin Patroli Jelang Maghrib Mulai Tunjukkan Hasil
- Tampung Aspirasi Masyarakat, Kapolresta Banda Aceh Gelar Jumat Curhat di Kampung Baru
- Kasus DBD Bertambah, Dewan Minta Dinkes Banda Aceh Fogging Punge Ujong