Hakim Muda Belanda Mengadili Kasus Suami Bunuh Istri di Bireuen
Font: Ukuran: - +
Bisma Yadhi Putra, sejarawan
DIALEKSIS.COM | Awal tahun 1920, A. Breekland dikirim ke Bireuen untuk menjalani penugasan pertamanya sebagai seorang amtenar (pegawai pemerintah). Sebagai pegawai baru, jelas ia perlu belajar banyak hal sambil bekerja mengurusi pemerintahan. Atasannya, Tuan Swaab, menjadi orang terdekat untuk belajar segala hal yang perlu ia ketahui, terutama tentang situasi Bireuen.
Namun, Tuan Swaab adalah seorang pegawai negeri (kontrolir kelas satu) yang cukup sibuk di setiap hari kerja. Apalagi selama dua bulan ke depan, Maret sampai April, Tuan Swaab harus bekerja pula di Lhokseumawe karena ada pejabat di sana yang dipindahkan ke daerah lain dan belum ada penggantinya.
Tuan Swaab berangkat ke Lhokseumawe sebelum Subuh dan pulang ke Bireuen menjelang petang. Alhasil, kesempatan Breekland untuk belajar langsung pada atasannya itu cuma tersedia singkat di malam hari.
Selama Tuan Swaab di Lhokseumawe, mau tak mau Breekland mesti memberesi segala pekerjaan di Bireuen. Tak lama kemudian, ia pun diangkat menjadi pejabat magistrat dan wakil ketua musapat.
Magistrat adalah hakim tunggal yang bertugas mengadili perkara pidana yang dilakukan pribumi maupun vreemde oosterlingen (Orang Timur Asing, khususnya kaum Tionghoa) menurut hukum resmi (hukum Belanda). Sementara musapat ialah pengadilan umum di Aceh untuk kasus pidana dan perdata yang pelaksanaannya melibatkan hukum Islam.
Setiap kali sidang musapat digelar, ulama-ulama (tengku) terlibat sebagai “penasihat Islam” bersama para teuku sebagai pemandu adat. Saat Breekland mulai terbiasa dengan dua jabatan baru itu, suatu kegegeran tiba-tiba muncul dari balik semak-semak di dekat kebun kelapa.
Amin adalah seorang pemuda Bireuen berumur kira-kira 30-an tahun. Badannya besar dan tegap. Sehari-hari, ia mengurusi kebun kepala yang tak begitu jauh dari rumahnya. Suatu hari, saat berjalan pulang ke rumah, tak sengaja ia melihat sebuah kejadian yang membuat matanya melotot.
Amin menemukan istrinya sedang berbaring berdampingan dengan laki-laki lain di sebuah tempat sepi yang terletak di antara kebun dan rumah. Dengan parang yang ia pakai untuk bekerja di kebun, Amin menebas istri dan laki-laki tersebut sampai mati. Kejadian ini dengan cepat menghebohkan Bireuen.
Dalam sidang musapat, Amin mengakui perbuatannya di depan Breekland yang bertindak sebagai hakim. Breekland sempat terkesan dengan Amin karena dia bisa berbicara bahasa Melayu, pertanda bahwa si terdakwa pernah bersekolah atau orang terdidik.
Setelah mendengar pengakuan Amin, Breekland pun meminta pendapat dari para penasihat Islam yang hadir. Seorang tengku berkata, “Menurut pendapat orang Aceh, sangat tidak sopan bahwa seorang perempuan yang telah menikah secara rahasia menjumpai lelaki yang bukan suaminya sendiri. Dalam hal ini kedua-duanya (perempuan dan selingkuhannya) wajib dihukum”.
“Tuan, kejadian semacam ini sangat memalukan suami,” kata seorang lainnya kepada Breekland.
Dari pernyataan-pernyataan yang ia dengar dari para anggota musapat, Breekland mendapat kesan bahwa orang Aceh tidak senang dituntut atas pembunuhan yang mereka lakukan terhadap “pasangan yang telah mempermalukannya”. Breekland pun bertanya lagi kepada Amin.
“Apa kamu merasa sangat malu melihat istrimu bersama lelaki itu?”
“Ya, saya malu”
Bukan kali ini saja Breekland mengadili kasus suami bunuh istri karena faktor perselingkuhan. Sebelumnya, perkara serupa pernah beberapa kali ia tangani dan selalu berakhir dengan putusan bebas untuk si pelaku. Breekland pun menafsirkan bahwa “hukum Islam mewajibkan suami yang dipermalukan untuk membunuh istri yang berzina dan kekasihnya”.
Jelas Breekland tidak senang dengan kebiasaan atau situasi itu. Ia ingin membuat terobosan penegakan hukum di Bireuen, yakni dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada suami yang membunuh istrinya karena berselingkuh.
Namun, karena Breekland juga bersimpati kepada Amin sebagai korban perselingkuhan, ia hanya ingin memberikan hukuman penjara tidak lebih dari tiga bulan.
Orang yang divonis penjara di atas tiga bulan akan dikurung di salah satu penjara besar di Aceh yang kehidupannya cukup keras. Breekland ingin Amin dipenjara, tetapi tidak di penjara yang buruk. Semua anggota musapat, termasuk Teuku Chik Peusangan, setuju dengan keinginan Breekland. Maka dijatuhkanlah hukuman penjara selama tiga bulan pas.
“Amin tampak sangat gembira ketika saya mengumumkan dengan resmi putusan itu. Saya pun senang karena telah berhasil mendobrak kebiasaan untuk selalu memutuskan bebas dalam hal perkara semacam ini,” tulis Breekland dalam catatan hariannya.
Breekland masih berusia 21 tahun waktu memimpin sidang tersebut dan berhasil mendobrak adat di Bireuen yang selalu membebaskan pembunuh perempuan pezina. Dan lebih penting, para teuku dan tengku anggota musapat mendukung perubahan yang ingin dilakukan Breekland di Bireuen. Amin kemudian dimasukkan ke dalam sebuah “kelompok narapidana ringan”.
Bersama tahanan lainnya, ia setiap hari dikeluarkan dari sel untuk membersihkan halaman gedung dan rumah pegawai pemerintah serta menyirami semua tanaman hias yang ada di sana. Aktivitas ini diawasi oleh seorang mandor.
Amin selalu melempar senyum tulus kepada Breekland ketika keduanya bertemu di tempat terbuka. Sikap Amin dengan jelas menunjukkan bahwa ia cukup senang dengan hukuman yang Breekland berikan. Didorong oleh rasa penasaran, Breekland lantas bertanya pada Teuku Chiek Peusangan mengapa Amin bisa sesenang itu.
Penjelasan yang disampaikan Teuku Chiek Peusangan sungguh tak pernah terpikirkan oleh Breekland. Menurut Teuku Chiek Peusangan, dengan terus berada di dalam sel dan penjagaan, tentu Amin akan terhindar dari malapetaka balas dendam oleh keluarga istrinya dan laki-laki yang ia tebas sampai mati. Orang-orang yang marah dari kedua pihak itu mungkin ingin pula menancapkan parang di kepala Amin.
Breekland mengabadikan pengalaman mengadili kasus ini dalam sebuah catatan pribadi yang tahun 1977 diterbitkan dalam sebuah buku berbahasa Belanda. Buku ini juga memuat catatan pribadi milik beberapa amtenar lain yang pernah bertugas di Hindia Belanda. Dua puluh empat tahun kemudian, barulah buku tersebut diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920-1942 (Penerbit Djambatan, 2001).
Penulis
Bisma Yadhi Putra, sejarawan