Kamis, 18 September 2025
Beranda / Opini / Hibah Parpol 400 Persen yang Melukai Hati Rakyat

Hibah Parpol 400 Persen yang Melukai Hati Rakyat

Rabu, 17 September 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Risman Rachman

Penulis: Risman Rachman, Pemerhati politik dan Pemerintahan. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Ketika angka kemiskinan di Aceh masih yang tertinggi di Sumatera (12,33 persen) dan jauh dari cita-cita keadilan sosial. 

Ketika masih ada anak-anak seperti di SD Negeri Seuneubok Teungoh, Kecamatan Darul Ihsan, Aceh Timur, yang belajar di lantai, bahkan menulis sambil tiarap, karena meja dan kursi rusak total. 

Ketika masih ada 2000 hingga 3000 warga Aceh yang menunggu diberi rumah layak huni dari APBA bahkan 100 ribu diharapkan dari APBN. 

Justru kita mendapat kabar bahwa partai politik nasional dan partai politik lokal di Aceh diputuskan menerima hibah bantuan keuangan sebesar 400 persen. Dari Rp2.000 menjadi Rp10.000 per suara sah. Totalnya? Rp29 miliar dari APBA yang justru menurun ke Rp11 triliun.

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah pengkhianatan terhadap rasa malu, terhadap etika publik, dan terhadap janji demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat.

Saya jadi teringat pada pidato Malik Mahmud selaku PM GAM usai terjadi perundingan yang menghasilkan MoU Helsinki. Ia menyinggung satu kebanggaan yang dipunyai bangsa Aceh yaitu tradisi keadilan. 

“Perjuangan yang telah kami lancarkan selama bertahun-tahun itu adalah untuk mencapai keadilan bagi bangsa Acheh. Tidak ada perdamaian di Acheh karena tidak ada keadilan di Acheh.”

Pertanyaannya, apakah kenaikan hingga 400% itu adil, patut, dan kuat secara moral? 

Coba bayangkan, Aceh jelas tidak sedang hidup di masa surplus fiskal. APBA 2025 lebih rendah dari tahun - tahun sebelumnya. Dan, itulah alasannya Aceh masih butuh dukungan lebih lanjut Dana Otonomi Khusus. 

Tapi, yang terjadi, tanpa mau bersabar hingga Dana Otsus diperpanjwng, partai politik yang menurut Komisi Informasi Aceh justru paling tidak informatif dan paling tertutup terhadap publik mendapat limpahan dana terbesar sepanjang sejarah.

Berkaca pada jejak, data IDI Aceh 2023 melaporkan bahwa skor pada aspek pendidikan politik pada kader dan partai politik rendah (54,02) dan skor kinerja legislatif Aceh hanya 53,92 terendah dari semua indikator.

Sebelumnya, menurut MaTA yang merujuk BPK Perwakilan Aceh menunjukkan penyalahgunaan dana hibah parpol secara sistemik (berita 2014). 

Dan kini, dengan 2,9 juta suara sah, hibah Rp10.000 per suara berarti Rp29 miliar”uang rakyat yang dialihkan ke lembaga yang belum diketahui apakah sudah terjadi perbaikan pada transparansi, akuntabilitas, atau pendidikan politik. Itu belum lagi jika disibak aspek kinerja legislasi dan pengawasan melalui kader parpol di dewan. 

Dan, parahnya ketika ada suara yang mengingatkan justru suara-suara kritis itu dicoba padamkan dengan argumen yang mengenyampingkan aspek nilai dan moral. Bahkan, ada yang melakukan kekerasan verbal. 

Padahal, kata Malik Mahmud selaku PM GAM menegaskan bahwa demokrasi yang sejati tidak membatasi ruang pemikiran - pemikiran yang memberi penerangan kepada partai-partai tersebut, ia menggalakkan berkembangnya berbagai pemikiran.

“Dan demokrasi yang sejati tidak berlutut di hadapan kekerasan - ia adalah alat untuk mengakhiri kekerasan dan ketidak-adilan.”

Nelson Mandela pernah berkata, “A nation should not be judged by how it treats its highest citizens, but its lowest ones.”

Bagi siapapun yang membaca Nelson Mandela pasti segera malu hati. Mandela menegaskan bahwa martabat suatu bangsa tidak ditentukan oleh bagaimana ia memperlakukan elite-nya, melainkan bagaimana ia memperlakukan mereka yang paling rentan”yang paling kecil, paling miskin, paling terpinggirkan.

Dalam konteks kebijakan publik, ini berarti mereka yang yang membangun “gedung megah” untuk pejabat tapi membiarkan anak-anak belajar di lantai, gagal secara moral.

Ini juga bermakna partai politik yang gembira dengan kenaikan hibah mencolok hingga 400% tapi tak terpukul melihat anak-anak masih belajar di lantai dan ribuan warga menunggu rumah layak huni, gagal secara etis.

Dan, demokrasi yang memanjakan elite tapi sengaja mematahkan suara rakyat, bukan demokrasi yang sehat, melainkan oligarki yang dibungkus prosedur.

Mandela jelas sedang mengajak kita untuk mengukur keadilan bukan dari retorika, tapi dari kenyataan di lapangan. Jika anak-anak Aceh masih menulis sambil tiarap, dan warga masih menunggu rumah bertahun-tahun, maka kenaikan hibah Rp29 miliar untuk parpol bukan hanya salah urus anggaran itu adalah penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Ingat, anak Sumatera Bung Hatta pernah mengingatkan, “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai keadilan sosial.”

Sungguh, kenaikan hibah untuk parpol kali ini tidak mencerminkan keadilan. Ia mencerminkan ketimpangan moral, di mana partai-partai yang gagal membuka diri kepada publik justru diberi hadiah fiskal.

Kepada Parpol yang masih tersisa rasa malu dan sisa martabat sebaiknya segera menolak hibah bantuan hingga 5 kali lipat, cukup 3 kali lipat jika tidak mau seperti sebelumnya Rp2000 per suara. 

Tunjukkan bahwa kalian bukan sekadar penadah anggaran, tapi penjaga etika publik. Gunakan dana secara bijak”untuk pendidikan politik, pelatihan kader, atau program rakyat. Jangan biarkan demokrasi menjadi alat konsumsi elite, sementara anak-anak Aceh menulis sambil tiarap di lantai, dan ribuan warga masih antri menunggu rumah untuk dibangun.

Ingatlah pada ucapan Vaclav Havel, “The tragedy of modern man is not that he knows less and less about the meaning of his own life, but that it bothers him less and less.”

Vaclav Havel itu tidak sedang menyinggung soal kebodohan, melainkan soal ketidakpedulian. Dan, karena itu kalimatnya semacam tamparan halus tapi dalam terhadap kepekaan moral kita saat ini. 

Dalam konteks Aceh dan kenaikan hibah parpol, kutipan ini sangat relevan. Ini bukan hanya soal elite yang menyusun anggaran tanpa malu, tapi juga soal ada sebagian dari kita yang mulai terbiasa melihat ketimpangan tanpa terusik. Dan, ketika publik tidak lagi marah melihat Rp29 miliar digelontorkan ke lembaga yang tidak transparan, itulah tragedi moral sesungguhnya.

Havel mengajak kita untuk tidak mati rasa, untuk tetap terganggu oleh ketidakadilan, dan untuk menjadikan kegelisahan sebagai bahan bakar perubahan. Karena hanya mereka yang masih terganggu, yang masih bisa menggugat dan memperbaiki.

Jadi, jangan biarkan kita menjadi masyarakat yang tidak lagi terganggu oleh ketidakadilan. Karena ketika rasa malu hilang, maka demokrasi pun kehilangan jiwa. []

Penulis:  Risman Rachman, Pemerhati politik dan Pemerintahan

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid