DIALEKSIS.COM | Opini - Ketika Marlina Usman Muzakkir Manaf, istri Gubernur Aceh, dilantik oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd sebagai Ibunda Guru Provinsi Aceh, sesungguhnya bukan hanya sebuah gelar yang diberikan, tetapi sebuah amanah besar yang sarat makna.
Gelar “Ibunda Guru” adalah simbol kasih, kepedulian, dan kehadiran seorang perempuan Aceh yang siap menuntun dan merangkul para pendidik dalam perjalanan panjang mencerdaskan anak bangsa di bumi Serambi Mekkah.
Dalam pandangan budaya Aceh, sosok ibu bukan sekadar pengasuh, tetapi juga penuntun moral dan cahaya penyejuk bagi keluarga dan masyarakat. Maka ketika Aceh memiliki Ibunda Guru, harapan besar pun mengalir dari hati para guru dan insan pendidikan: semoga di tangan lembut namun tegas seorang ibu, pendidikan Aceh menemukan arah baru yang lebih berdaya, berkarakter, dan berkeadaban.
Hari ini, pendidikan Aceh sedang menghadapi banyak tantangan dari kesenjangan kualitas antarwilayah, kesejahteraan guru yang masih belum merata, hingga tuntutan transformasi digital dan kurikulum yang semakin kompleks. Namun di balik tantangan itu, ada potensi luar biasa: semangat guru-guru Aceh yang tetap menyala, dedikasi mereka yang tidak surut meski di tengah keterbatasan. Di pelosok-pelosok Gayo, di pesisir Aceh Timur, di pulau-pulau kecil Simeulue mereka tetap mengajar dengan cinta, mendidik dengan hati, dan mengabdi dengan keikhlasan.
Kini, dengan hadirnya Nyonya Marlina Usman Muzakkir Manaf sebagai Ibunda Guru, lahir secercah harapan baru: bahwa tangan seorang ibu dapat menghadirkan kehangatan di ruang kebijakan, menyalakan semangat di hati para guru, dan memperkuat sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun pendidikan Aceh. Diharapkan, beliau mampu menjembatani antara nurani pendidikan dengan realitas birokrasi, menghadirkan kebijakan yang lebih menyentuh manusia, bukan sekadar angka dan laporan.
Guru Aceh membutuhkan sosok yang dapat mendengar keluh kesah mereka, memahami perjuangan di lapangan, dan mendorong kesejahteraan yang nyata. Pendidikan Aceh membutuhkan sentuhan yang menumbuhkan, bukan hanya mengatur. Dan dalam figur Ibunda Guru, harapan itu menemukan wujud: seorang perempuan yang mampu menyeimbangkan kelembutan dengan ketegasan, kasih dengan kepemimpinan, dan cita-cita dengan tindakan.
Harapan besar kini bertumpu pada “tangan dingin” ibunda guru Marlina Usman Muzakkir Manaf. Dengan kepedulian dan kepekaan hati seorang ibu, beliau diharapkan mampu mendorong transformasi pendidikan Aceh yang lebih manusiawi dan bermartabat: memperkuat kualitas guru, membangun sekolah yang ramah dan berdaya, serta menanamkan nilai-nilai moral, cinta, dan karakter Islami dalam setiap langkah pembelajaran.
Semoga dari tangan seorang Ibunda Guru lahir kebijakan yang menyentuh akar kehidupan para pendidik; semoga dari hatinya yang tulus mengalir semangat baru bagi ribuan guru di Aceh; dan semoga di bawah naungan kasih beliau, pendidikan Aceh tumbuh sebagai taman ilmu yang hijau, subur, dan melahirkan generasi muda yang cerdas, berakhlak, dan berjiwa Aceh sejati.
Aceh kini memiliki Ibunda Guru, dan di tangan beliau Nyonya Marlina Usman Muzakkir Manaf kita titipkan harapan, agar pendidikan Aceh bukan hanya maju dalam angka, tetapi tumbuh dalam makna; agar guru bukan hanya dihormati dalam seremoni, tetapi dimuliakan dalam kesejahteraan dan kebijakan nyata.
Semoga cinta seorang ibu menjadi cahaya yang menerangi jalan panjang pendidikan Aceh menuju masa depan yang gemilang, Amin. [**]
Penulis: Dr. Juanda, SE, MM (Ketua Biro Pengembangan Profesi dan Karier Guru, Pendidikan dan Tenaga Kependidikan PGRI Provinsi Aceh)