Inovasi dan Skala Suksesi Banda Aceh
Font: Ukuran: - +
Penulis : Joe Samalanga
DIALEKSIS.COM | Opini - Tidak lama lagi, seluruh Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak, untuk calon Gubernur, Bupati dan Walikota. Begitupun Aceh, 23 kabupaten/kota akan menjalankan "demokrasi" untuk memilih pemimpinnya.
Namun disini secara spesifik lebih membahas konteks pilkada Banda Aceh. Kenapa Banda Aceh? jawabnya sederhana, lantaran pusat ibukota Aceh. Dan untuk membahasnya juga tidak sulit. Sebab, paling mudah ditebak, mereka yang akan ikut kontestasi diprediksi berasal dari sosok lama.
Nama-nama yang beredar saat ini, mereka adalah Teuku Irwan Djohan ST, yang sekarang tercatat sebagai Anggota DPR Aceh periode 2019 - 2024 dan pernah menjadi calon Walikota Banda Aceh, tapi kalah. Ada petahana mantan Walikota Banda Aceh Aminullah Usman yang belakangan juga muncul akan merebut kursi 1 Aceh Barat, serta mantan wakil Wali Kota Banda Aceh Zainal Arifin.
Belakangan nama Illiza Sa'aduddin Jamal pun muncul. Dia adalah pemenang pileg DPR RI, tapi gagal melaju lantaran Ambang Batas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak mencukupi 4%, sehingga "kursi" Illiza lenyap seketika. Gara-gara itulah nama Illiza muncul dalam bursa perdebatan bakal calon Walikota Banda Aceh.
Bagi Illiza, Kondisi ini memang menyulitkan, karena sebagai Anggota DPR RI, tentu level walikota sama dengan turun kelas, dan lebih tepat bila bertarung di level Gubernur. Walau itu berat, karena harus "berburu" partai pengusung sebanyak minimal 13 kursi DPRA.
Memang, yang harus dipahami untuk menjadi Pemimpin Daerah bukan sekedar "bertarung", tetapi juga harus melihat pemahaman masyarakat dalam memilih pemimpinnya. Banda Aceh, punya garis tersendiri, karena masyarakat pemilih yang dihadapi pun cenderung lebih berwawasan, punya logika politik untuk tujuan pemajuan Banda Aceh yang rasional.
Dan tentu, "wajah lama" itu menjadi lebih mudah dinilai, sebab pekerjaan dan programnya pernah dijalani bersama. Berhasil atau tidak adalah Dinamisasi cara menilainya.
Butuh Inovasi
Setelah berbicara sosok lama yang kembali menjadi kontestanuntuk memimpin Kota Banda Aceh, dalam skala pemikiran warga pasti sudah ada frame tersendiri dalam memutuskan kualitas dan kemampuan memimpin Kota Banda Aceh.
Namun kita berkeyakinan, apabila kehadiran sosok baru tetap penting untuk bersaing dengan "sosok lama" yang sebenarnya tingkat popularitas sudah sangat tinggi. Namun jika bicara persaingan tentu banyak celah juga dapat dilakukan sosok baru untuk meraih popularitas, terutama dalam penguasaan media massa, media sosial, dan forum-forum sosial berskala menengah ke atas.
Belakangan nama sosok baru juga muncul dalam perdebatan. sosok Heri Julius dan Ahmad Haeqal Asri santer dibicarakan. Dua sosok ini kental Banda Aceh. Heri Julius adalah anggota DPRK Banda Aceh yang kini terpilih menjadi DPRA Dapil 1 Aceh dari Partai Nasdem. Sedang Ahmad Haeqal Asri, anak muda yang saat ini menjabat Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh yang juga Caleg DPRA, tapi gagal walau Haeqal memperoleh suara kedua dari pemenang sesama Partai Golkar.
Membaca peluang sosok baru di pemilihan kali ini juga sangat tinggi, terutama sosok yang menjadi pilihan pemilih muda. Ahmad Haeqal, lebih menjadi alternatif untuk bersaing di kontestasi ini. Dia punya kiprah sosial yang kuat. Memiliki visi inovatif. Haeqal ditopang jaringan kuat, baik secara lokal maupun nasional.
Namun bagi saya, yang terpenting Kota Banda Aceh harus kita jaga bersama, sebab Banda Aceh adalah harga diri "Aceh" secara menyeluruh, simbol kepribadian, budaya, dan menyangkut watak orang Aceh ada di dalamnya. Mengenal Aceh berarti miniaturnya ada di Banda Aceh. Sebab berbagai suku pun ada disitu.
Dalam bahasa universal, bicara kepemimpinan Banda Aceh, maka dia tidak harus membahasakan "Asoe Lhok" atau orang asli. Sebab, sejak masa kesultanan Aceh, Banda Aceh sudah menjadi pusat "birokrasi", juga lalu lintas perekonomian yang didatangi oleh masyarakat dari berbagai daerah yang ada di Aceh.
Untuk kajian suksesi Banda Aceh pun bahasa asoe lhok tidak terlalu dibahas. Sebab, penduduk asli di Banda Aceh juga berasal dari daerah lain yang sudah menetap lama. Ini artinya, setiap warga Banda Aceh berpeluang maju bertarung menjadi Walikota dan Wakil Walikota, dengan konsekuensi memiliki basis daerah yang kuat juga. Kalau di Banda Aceh, lebih melihat pada daerah dan kawasan, semisal asal Aceh Barat Daya (Abdya) maka sekaligus masuk ke wilayah Barat Selatan, begitupun daerah dan kawasan lainnya. Itu basis Massa.
Diluar "basis" tadi, hal menarik lainnya, hasil pileg di Banda Aceh ada 4 partai politik yang cukup mengusung calon Walikota-Wakil Walikota sendiri. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil merebut 5 kursi dengan perolehan suara 21.519, NasDem 5 Kursi perolehan suara 18.837, Partai Amanat Nasional (PAN) 5 kursi perolehan suara 18.531, dan Partai Demokrat 5 kursi dengan perolehan suara 13.346.
Empat Partai itu dapat mengusung sendiri. Sementara partai seperti Golkar 3 kursi dengan perolehan suara 12.665, Gerindra 4 Kursi dengan perolehan suara 12.149, Partai Persatuan Pembangunan 2 Kursi dengan perolehan suara 11.728, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1 kursi dengan perolehan suara 4.735.
Tentu Partai yang belum mencapai 5 kursi dapat membangun koalisi, atau turut bergabung dengan partai yang sudah memperoleh 5 kursi. Koalisi inilah celah penting sebagai prestise bagi calon ke depan, selain kemampuan dan inovasi menggerakkan Banda Aceh, persis seperti yang dilakukan Walikota Banda Aceh terdahulu, Mawardy Nurdin. Inovasi yang dilakukan tampak terang benderang, seperti penciptaan jalur perekonomian masyarakat, menjamin jalan di perkampungan indah dan kuat, dan tentu punya kemampuan menjalankan konsep pembangunan Banda Aceh secara menyeluruh, termasuk kebersihan Kota Banda Aceh. [**]
Penulis: Joe Samalanga (Pemerhati Dinamika Politik Aceh, tinggal di Banda Aceh)