Jalan Terjal Menuju ISPO
Font: Ukuran: - +
Penulis : Azanuddin Kurnia
Ir. Azanuddin Kurnia, SP, MP. Ketua Persatuan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh dan Sekdistanbun Aceh. [Foto: dokumen pribadi untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Para petani dan peternak Indonesia khususnya yang bergerak pada komoditi utama dan produk turunannya yaitu kayu, kelapa sawit, karet, kopi, kakao, kedelai, dan sapi saat ini dihadapkan pada kondisi dan tantangan yang sangat besar. Terutama setelah keluarnya kebijakan dari Uni Eropa (UE) yang dikenal dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
EUDR merupakan regulasi terbaru dari Uni Eropa yang bertujuan untuk menghentikan deforestasi yang terkait dengan produk yang masuk ke pasar Uni Eropa. EUDR dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang dikonsumsi oleh warga UE tidak berkontribusi pada deforestasi global atau degradasi hutan.
Sebelum memperkenalkan produk ke pasar Uni Eropa atau mengekspornya, pengusaha dan pedagang harus menyerahkan pernyataan legalitas kepada otoritas yang berwenang. Tujuan dari persyaratan ini adalah untuk menjamin bahwa barang yang masuk ke pasar Uni Eropa tidak diperoleh dari lahan atau wilayah dimana telah terjadi degradasi hutan atau deforestasi sejak tanggal 31 Desember 2020.
Pengaturan Uni Eropa (UE) mengenai produk bebas deforestrasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019, merupakan komitmen untuk menilai langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi, meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke UE. Komitmen ini juga telah dikofimasi dengan kebijakan European Green Deal serta EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy, dan kemudian EUDR ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023.
Melalui siaran pers yang disampaikan oleh Jubir Kemenko Perekonomian pada Tanggal 24 April 2024, menyatakan bahwa regulasi tersebut telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara karena proses pembahasannya yang dinilai tidak melibatkan negara-negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut yakni kayu (timber), sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan cattle. Selain itu, EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi.
Setelah surat pertama yang ditandangani oleh 14 negara pada tanggal 27 Juli 2022, keberatan terhadap pemberlakuan EUDR kembali disuarakan oleh like-minded countries dalam surat yang ditandatangani oleh Dubes atau Perwakilan dari 17 negara pada tanggal 7 September 2023. Like-minded countries berpandangan bahwa upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim ada dalam kesepakatan multilateral yaitu principle of common but differentiated responsibilities, melakukan diskriminasi dan menghukum terhadap 7 komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).
Indonesia bersama Malaysia juga menjadi negara yang turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia, yang merangkap sebagai Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof, telah melakukan misi bersama (joint mission) ke Brussels pada bulan Mei 2023 lalu untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa yang menangani ketentuan EUDR. Dalam kunjungan tersebut disampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR tersebut apabila diterapkan.
Masih melalui siaran pers tersebut, sebagai tindak lanjut dari kunjungan ke UE tersebut, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan pihak Indonesia dan Malaysia dalam suatu wadah yang disebut Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai concern dan kehawatiran negara produsen terkait dengan rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025. Kick off meeting dari JTF tersebut telah dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua telah dilakukan pada 2 Februari 2024.
Dalam JTF tersebut terdapat lima fokus pembahasan mulai dari masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yang digunakan, hingga perlindungan data pribadi.
Indonesia sendiri, jauh sebelum rencana EUDR tersebut dikeluarkan telah melakukan proses untuk penyelamatan lingkungan dalam meningkatkan produksi komoditasnya seperti kelapa sawit salah satunya. Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia membentuk Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Konsep pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dalam ISPO ini merupakan kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia pada perusahaan dan petani kelapa sawit dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial dan penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perkelapasawitan. Kewajiban ini telah dimulai sejak peluncuran Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) di Medan pada Maret tahun 2011.
Sejalan dengan berkembangan situasi dan kebutuhan dalam skala nasional dan global, Indonesia terus berbenah diri dan menunjukkan komitmenya dalam perlindungan lingkungan hidup dalam setiap aktivitas peningkatan produksi komoditas utamanya. Ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentantg ISPO dan Permentan 38/2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Konsep pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dalam ISPO ini merupakan kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia pada perusahaan dan petani kelapa sawit dalam upaya memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial dan penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perkelapasawitan.
Berdasarkan Permentan 38/2020 tersebut ada 7 (tujuh) prinsip yaitu; a. kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan; b. penerapan praktik perkebunan yang baik; c. pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati; d. tanggung jawab ketenagakerjaan; e. tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; f. penerapan transparansi; dan g. peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Khusus untuk perkebunan rakyat atau pekebun dilakukan dengan menerapkan 5 (lima) prinsip 13 kriteria dan 37 indikator yang meliputi: a. kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan; b. penerapan praktik perkebunan yang baik; c. pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati; d. penerapan transparansi; dan e. peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Jalan panjang dan terjal masih harus ditempuh oleh perusahaan dan para pekebun sawit untuk bisa mendapatkan sertifikasi ISPO tersebut. Tidak mudah untuk mendapatkan, khususnya bagi para pekebun sawit dengan berbagai kelemahan yang ada pada diri pekebun sawit termasuk kelembagaan pekebunnya, termasuk pembiayaan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
Bila tidak dibantu oleh pemerintah dan mitra pembangunan serta para pihak secara lebih kencang, maka tantangan dan mungkin ancaman yang sudah di depan mata akan sulit untuk diatasi. Perpres 44/2020 sudah mengamanatkan pada Pasal 27 bahwa para pekebun sawit akan diberlakukan 5 tahun dari Perpres tersebut diundangkan, artinya itu akan berlaku mulai Maret 2025, Wallahualam. [**]
Penulis: Ir. Azanuddin Kurnia, SP, MP (Ketua Persatuan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Aceh dan Sekdistanbun Aceh)