Janji MoU Helsinki yang Gagal Membawa Kesejahteraan untuk Aceh
Font: Ukuran: - +
Penulis : Nazaruddin
Nazaruddin, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen FISIP Universitas Malikussaleh. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pada tahun 2005, Bangsa Aceh menyambut dengan harapan besar penandatanganan MoU Helsinki yang mengakhiri konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI). MoU ini tidak hanya menjadi simbol perdamaian, tetapi juga janji bagi masa depan Aceh yang lebih baik, di mana kekuasaan, sumber daya, dan kebijakan akan berpihak pada kepentingan rakyat Aceh.
Namun, lebih dari satu dekade berlalu sejak perjanjian tersebut ditandatangani, dan kenyataannya jauh dari harapan. Implementasi MoU Helsinki yang masih belum berjalan sesuai semestinya telah mengundang kekecewaan. Bahkan, dalam beberapa aspek, kebijakan yang dilaksanakan malah menambah beban masyarakat Aceh, bukannya membawa kesejahteraan.
Kegagalan Implementasi MoU Helsinki
Salah satu inti dari MoU Helsinki, yaitu pengembalian kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Aceh dalam berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi, hingga sumber daya alam. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh (UUPA) yang disusun setelah perjanjian ini, seharusnya menjadi landasan untuk mengimplementasikan desentralisasi kekuasaan, serta memberikan ruang yang lebih luas bagi Aceh untuk mengatur urusan internalnya.
Namun, kenyataannya jauh berbeda. Banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki Aceh masih berada di tangan pemerintah pusat, membatasi kapasitas Pemerintah Aceh untuk membuat keputusan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Pemerintah Aceh memang memiliki beberapa kewenangan dalam sektor ekonomi, seperti pengelolaan sumber daya alam, tetapi dalam praktiknya, kontrol atas sektor-sektor vital seperti migas dan energi masih sangat terbatas. Pasal-pasal dalam MoU yang menyebutkan pembagian hasil sumber daya alam antara Pemerintah Aceh dan RI - di mana Aceh seharusnya mendapatkan 70% dari hasil eksploitasi hidrokarbo, nyatanya tidak dapat terwujud dengan baik.
Alhasil, sumber daya alam Aceh yang melimpah justru tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan rakyat, malah yang terjadi 'Buya krueng teudong-dong buya temeng meuraseuki', artinya rakyat Aceh hanya jadi penonton ketika seluruh hasil alam diangkut ke pulau Jawa.
Hingga saat ini, Aceh belum mendapatkan hak 70% yang dijanjikan dalam perjanjian MoU Helsinki, yang mencakup pembagian hasil sumber daya alam dan pengelolaan dana otonomi. Meskipun secara nominal ada alokasi dana dan kebijakan untuk memberikan Aceh kontrol lebih besar atas sumber daya alamnya, kenyataannya distribusi ini masih jauh dari yang dijanjikan.
Banyak sektor penting, seperti pembangunan infrastruktur pasca-konflik, masih terhambat oleh ketidaktransparanan dalam pengelolaan dan ketidaktepatan sasaran dalam penggunaan dana. Hal ini menyebabkan ketimpangan yang semakin dalam, dengan rakyat Aceh yang tidak merasakan manfaat nyata dari kekayaan alam yang dimilikinya, sementara janji-janji MoU Helsinki tetap menjadi kata-kata tanpa implementasi yang jelas.
Kepemimpinan Baru: Tantangan dan Harapan
Seiring berjalannya waktu, Aceh telah memilih pemimpin-pemimpin baru untuk membawa provinsi ini ke arah yang lebih baik. Salah satu yang terbaru, pasangan gubernur terpilih, Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadlullah (Dek Fad). Kedua tokoh ini memiliki latar belakang yang tidak bisa dilepaskan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan Aceh sebelum akhirnya menerima perjanjian damai melalui MoU Helsinki. Mualem, yang merupakan mantan panglima GAM, membawa serta pengalaman dan pemahaman mendalam tentang perjuangan Aceh dan perjanjian damai tersebut.
Namun, dengan latar belakang sebagai eks-panglima GAM, terdapat harapan besar dari masyarakat Aceh terhadap kepemimpinan mereka. Harapan ini berkisar pada pemenuhan janji-janji MoU Helsinki yang telah lama terabaikan, serta peningkatan kesejahteraan yang nyata bagi rakyat Aceh. Tetapi, tantangannya tidaklah ringan. Sebagai pemimpin, Mualem dan Dek Fad harus menghadapai berbagai masalah struktural yang sudah mengakar, seperti ketimpangan pembangunan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial yang masih sangat terasa di masyarakat Aceh.
Salah satu tantangan terbesar bagi pasangan gubernur terpilih, yakni memastikan bahwa kewenangan yang diberikan oleh MoU Helsinki benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat Aceh, bukan sekadar untuk memenuhi kepentingan politik sesaat. Keberanian untuk berbuat beda dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih adil dan transparan menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Selain itu, mereka juga harus dapat membangun hubungan yang lebih baik dengan pemerintah pusat, tanpa mengorbankan aspirasi dan hak-hak rakyat Aceh yang sudah dijanjikan dalam perjanjian damai.
Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat: Fokus yang Terabaikan
Salah satu hal yang sangat dirasakan kurang dalam implementasi MoU Helsinki adalah kebijakan Pendidikan, lapangan kerja dan pemberdayaan masyarakat. Selama ini, meski ada upaya untuk meningkatkan sektor pendidikan, kualitas pendidikan di Aceh masih tertinggal serta minimnnya lapangan pekerjaan jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Infrastruktur pendidikan yang rusak pasca-konflik dan Tsunami belum sepenuhnya diperbaiki, sementara anggaran untuk sektor ini sering kali terpotong atau dialihkan untuk proyek-proyek yang tidak mendesak.
Padahal, pendidikan adalah salah satu kunci utama dalam pembangunan Aceh yang berkelanjutan. Jika sektor pendidikan tidak ditangani dengan serius, maka masa depan generasi muda Aceh akan terancam. Pemerintah Aceh harus bisa memastikan bahwa alokasi dana untuk pendidikan digunakan dengan efisien, terutama untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan infrastruktur sekolah yang ada. Hal ini juga harus diimbangi dengan upaya pemberdayaan masyarakat secara lebih luas, agar masyarakat Aceh tidak hanya bergantung pada bantuan dari luar, tetapi mampu mandiri dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Pentingnya Evaluasi dan Reformasi Kinerja Pemerintah Aceh
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama bertahun-tahun, pemerintahan di Aceh sering kali dilanda masalah internal seperti korupsi dan ketidakjelasan dalam pengelolaan anggaran. Kegagalan dalam mengimplementasikan MoU Helsinki secara maksimal juga disebabkan oleh kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, sangat penting bagi pasangan gubernur terpilih untuk mengutamakan reformasi birokrasi yang lebih efisien dan transparan, serta meminimalkan praktek-praktek korupsi yang merugikan rakyat Aceh.
Selain itu, evaluasi terhadap pelaksanaan MoU Helsinki harus dilakukan secara berkala, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama tokoh-tokoh dari berbagai lapisan yang memiliki pemahaman tentang kebutuhan rakyat Aceh. Tanpa evaluasi yang jujur dan terbuka, Aceh akan terus terjebak dalam lingkaran kegagalan yang tidak ada ujungnya.
Menatap Masa Depan yang Lebih Baik untuk Aceh
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa kegagalan implementasi MoU Helsinki bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat atau masyarakat Aceh saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Aceh dan semua pihak terkait. Dengan pasangan gubernur terpilih yang berlatar belakang eks-GAM, Aceh seharusnya memiliki peluang untuk memperbaiki situasi ini. Namun, ini hanya bisa tercapai jika Mualem dan Dek Fad memiliki visi yang jelas dan komitmen yang kuat untuk menuntaskan janji-janji MoU Helsinki, serta mampu memanfaatkan kekuasaan yang ada untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Jika pemerintahan di Aceh tidak segera memperbaiki kinerja dan tidak melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh MoU Helsinki, maka bukan tidak mungkin, ketidakpuasan masyarakat Aceh akan kembali membara. Konflik yang sempat mereda bisa saja kembali mencuat, dan tuntutan untuk kemerdekaan Aceh kembali mengemuka. Oleh karena itu, keseriusan dan keberanian untuk membawa Aceh menuju kesejahteraan yang sejati adalah langkah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Janji-janji MoU Helsinki telah lama ditunggu, namun kenyataannya, Aceh masih terjebak dalam berbagai ketimpangan dan ketidakadilan. Kesejahteraan rakyat Aceh yang seharusnya menjadi prioritas utama belum juga terwujud.
Pasangan gubernur terpilih, Mualem dan Dek Fad, memiliki tantangan besar di depan mata untuk memperbaiki implementasi MoU Helsinki dan membawa Aceh menuju masa depan yang lebih baik. Jika mereka gagal melaksanakan amanah tersebut, maka masa depan Aceh akan semakin terancam. [**]
Penulis: Nazaruddin (Pemerhati Masalah Kebijakan, Analis Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP Universitas Malikussaleh)