Senin, 08 September 2025
Beranda / Opini / Kendurinomics

Kendurinomics

Minggu, 07 September 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Fahmi Yunus

Dosen FEBI UIN Ar-Raniry & Peneliti ICAIOS, Fahmi Yunus. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Opini - Sejauh pengetahuan saya, Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW melalui kenduri selama tiga bulan. Biasanya kurun waktu ini dibagi tiga tahapan. Di bulan Rabiul Awal sebagai maulid awal, Rabiul Akhir maulid pertengahan, dan Jumadil Awal periode maulid akhir. Daerah lain yang hampir menyamai “rekor Aceh”, yaitu Madura. Katanya, perayaan maulid di sana berlangsung sebulan. Bahkan Iran masih jauh di bawah Aceh. Penganut Islam Sunni di sana juga merayakan maulid, tapi hanya selama seminggu. Sementara di Pakistan, Bangladesh hingga Somalia cuma dalam hitungan hari saja. Walaupun di Somalia agak persis dengan kita, mereka juga punya hari libur nasional peringatan Maulid Nabi.

Dalam suasana perang atau konflik sekalipun, maulid tetap diperingati dan dirayakan dengan kenduri (makan-makan). Ingatan saya terbawa pada medio tahun 1999, saat konflik bersenjata antara Pemerintah RI dan GAM masih berkecamuk. Sebagai jurnalis pada media terbitan kampus, saya berkesempatan meliput dan mewawancari salah seorang petinggi GAM di wilayah Jim-Jim, Pidie Jaya. Setelah melewati berbagai pemeriksaan, saya berhasil menjumpai para anggota GAM yang sedang terlihat santai di salah satu meunasah di pelosok Aceh itu. Beruntung saat itu saya berhasil mewawancarai Panglima GAM, Tgk. Abdullah Syafi’i yang terlihat baru selesai menyantap sesuatu. Ternyata hari itu juga bertepatan dengan peringatan maulid di kampung itu. Sebelum memulai wawancara Tgk Lah dengan ramah mempersilakan saya untuk mencicipi hidangan maulid di hadapan kami. Saya sempat tergoda melihat bu kulah (nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang lazim disajikan saat maulid), gulai ikan dan telur asin di dalam rantang sederhana yang terhidang. Walau dipersilakan untuk makan ikut, Saya agak segan menikmati hidangan itu. Sebagai warga sipil sekaligus mahasiswa, saya kehilangan selera makan melihat salah seorang anggota GAM dari jarak tiga meter menatap saya dengan tatapan tajam, sambil duduk bersila dan mengelus-elus senjata AK-47 di pangkuannya. Dari panglima GAM ini saya tahu bahwa hidangan maulid tersebut berasal dari warga kampung sekitar yang dihantarkan secara sukarela oleh warga pendukung GAM di kala itu. Bahkan perang pun bisa berhenti sejenak untuk merayakan maulid, pikir saya.

Kembai ke urusan kenduri, tulisan ini tidak membahas kenduri maulid dari sudut pandang budaya atau agama, tapi saya ingin menguliknya dari perspektif ilmu ekonomi yang saya pahami.

Mengutip berita pada Dialeksis.com, (3/9/2025) beberapa hari sebelum peringatan maulid, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem yang merangkap sebagai ketua Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Aceh mewanti-wanti bawahannya untuk mengantisipasi inflasi di bulan maulid ini. Mantan Panglima GAM penerus Tgk. Abdullah Syafi’i ini memberi perhatian serius momen peringatan maulid yang berpotensi berpengaruh pada angka inflasi di Aceh. Karena peringatan ritual keagamaan selama ini mampu meningkatkan permintaan (demand) masyarakat terhadap barang-barang konsumsi seperti makanan, khususnya. Sementara, persediaan (supply) barang tersebut tidak bertambah, yang kemudian memicu terjadinya kenaikan harga-harga barang. Pertanyaannya, apakah tiap terjadi kenaikan permintaan dan harga maka akan menyebabkan inflasi meningkat? Kemudian, apakah inflasi yang meningkat itu buruk atau baik?

Sejenak mari kita pahami dulu definisi inflasi. Secara sederhana adalah adanya perubahan dari nilai uang. Contohnya, pada tahun 1980-an, dengan uang Rp.1.000 kita bisa bawa pulang 2,5 kg bawang merah, karena harga di saat itu cuma sekitar 400 perak. Tapi, sekarang dengan uang seribu rupiah hanya cukup beli satu pisang goreng di warung. Dalam kajian ekonomi, setidaknya ada dua mazhab yang sering digunakan dalam menganalisis inflasi yaitu inflasi secara moneter dan non-moneter. Mazhab pertama di populerkan oleh Milton Friedman, atau lebih dikenal sebagai “bapak moneter”. Peraih nobel bidang ekonomi di tahun 1976 ini berpendapat bahwa di mana-mana dan selalu masalah inflasi adalah suatu fenomena moneter. Artinya, jika suatu harga barang naik, pasti disebabkan oleh uang yang beredar terlalu banyak. Dengan kata lain, inflasi terjadi di saat uang terlalu banyak beredar dalam suatu perekonomian.

Namun, mazhab kedua yang digagas oleh John Maynard Keynes kurang sependapat dengan mazhab ala Friedman. Mazhab Keynesian berargumen bahwa inflasi terjadi karena permintaan terhadap barang meningkat, sedangkan jumlah barangnya tetap atau melebihi kapasitas produksi, maka harga ikut meningkat pula (demand-pull inflation). Plus adanya ongkos produksi atau distribusi yang ikut naik (cost-push inflation), seperti kenaikan harga BBM yang membuat pedagang ikut menaikkan harga.

Itu belum cukup. Ternyata teori ekspektasi juga ikut berperan. Dalam praktiknya kita melihat, jika semua orang percaya harga akan naik, maka pedagang buru-buru ikut menaikkan harga, lalu kita sebagai pembeli jadi “panik” dan ikut memborong barang tersebut. Maka tak heran harga-harga barang ikut terdongkrak naik. Bukan hanya maulid, momentum hari-hari besar keagamaan lain seperti, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Natal, dll secara empirik sering memicu laju inflasi.

Di sisi lain selain memicu inflasi, geliat kenduri juga memberi manfaat bagi perekonomian. Mulai dari petani, pedagang di pasar, hingga jasa catering ikut meraup untung. Roda ekonomi di kampung atau lokal tetap berputar, solidaritas sesama sesama terpelihara, dan masyarakat terlibat dalam perayaan tradisi kolektif. Artinya, inflasi yang terkendali juga memberi dampak yang baik ekonomi. Misalnya, dengan tingginya permintaan terhadap suatu barang akan memberikan stimulus bagi perusahaan untuk menambah atau menaikkan produksinya. Lalu, penambahan produksi diharapkan mampu menyerap tenaga-tenaga kerja atau membuka lapangan kerja baru.

Namun kerisauan terbesar kita adalah di saat inflasi tak terkendali. Kondisi perekonomian Aceh juga tidak baik-baik saja. Selain memiliki persentase kemiskinan yang tertinggi di Sumatera, Badan Pusat Statistik (BPS) juga melaporkan bahwa inflasi di Aceh pada bulan Agustus sebesar 3,70 persen dan menjadikannya sebagai 10 besar provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia, melampaui angka inflasi nasional sebesar 2,31 persen.

Harga kebutuhan pokok dan barang-barang di pasar yang melonjak adalah mimpi buruk, khususnya bagi rumah tangga miskin. Saya pernah melakukan riset di wilayah Aceh Besar dan menemukan bagaimana warga miskin kadang terpaksa harus berhutang demi bisa membuat kenduri. Tentu mereka punya alasan untuk tetap berkenduri karena kondisi sosial dan budaya atau alasan apapun yang akhirnya membuat mereka makin terjepit secara ekonomi.

Inflasi bukan hanya sekadar persentase atau angka-angka pada laporan statistik pemerintah. Kenaikan harga-harga barang makin terasa hingga ke sudut-sudut dapur rumah kita. Kita tunggu, apakah kebijakan atau instruksi “sang panglima” mampu menurunkan angka inflasi dan memperbaiki kondisi ekonomi Aceh. Mungkin, jika kita bisa bangga merayakan maulid selama tiga bulan, maka kita akan lebih bangga lagi jika Mualem mampu membawa angka inflasi Aceh ke bawah tiga persen, atau di bawah tingkat nasional.

Penulis: Dosen FEBI UIN Ar-Raniry & Peneliti ICAIOS, Fahmi Yunus

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka