Kesadaran Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada, Bangun Demokrasi Berkualitas
Font: Ukuran: - +
Penulis : Istiqamah
DIALEKSIS.COM | Opini - Partisipasi masyarakat adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik melalui pemilihan pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, dan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. yang mencakup kegiatan seperti memberikan suara dalam pemilihan parlemen, berpartisipasi dalam rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik, kelompok kepentingan yang melakukan pendekatan atau membangun hubungan dengan pejabat pemerintah.
Menurut Heri Kusmanto (Partisipasi Masyarakat dalam Demokrasi Politik: 2014), perkembangan dan partisipasi masyarakat dalam demokrasi politik seperti kebebasan berpendapat, kebebasan mendapatkan penghidupan yang layak dan kebebasan memperoleh akses pendidikan dapat dikategorikan baik, hal ini dapat dilihat dalam setiap kegiatan rapat pembangunan desa, setiap warga diberikan kebebasan memberi aspirasi atau menerima kritikan, dalam kebebasan bekerja, warga memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai dengan pendidikan dan keahliannya, begitu juga dalam memperoleh akses pendidikan, semua warga selalu mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan warga yang lain.
Kesadaran partisipasi masyarakat dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak pada November 2024 mendatang sangat memiliki peranan penting dalam membangun demokrasi yang berkualitas. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang melibatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi lokal merupakan salah satu dasar untuk membangun demokrasi yang bertanggungjawab terhadap kepentingan rakyat.
Sikap negatif masyarakat saat pemilihan
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan masyarakat saat Pemilu dan Pilkada, yakni memilih para calon eksekutif dan legislatif. Memilih merupakah salah satu indikator yang penting untuk melihat partisipasi politik warga karena ia merupakan tanggung jawab yang perlu dilaksanakan oleh setiap warga masyarakat.
Kecenderungan warga untuk turut serta dalam pemilihan menunjukkan wujud kesadaran politik dalam demokrasi. Namun masih banyak sikap negatif yang dilakukan masyarakat saat pemilu/pilkada, antara lain masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, apatis terhadap politik, hingga terkena politik uang.
Politik uang ini cukup banyak terjadi saat pemilihan. Politik uang diartikan sebagai praktik jual beli suara dalam kontestasi politik dengan memberikan imbalan tertentu kepada individu/kelompok/pemilih (Hudri, 2020). Pemilih yang cerdas harus menghindari praktik ini karena mengancam tatanan demokrasi dan melanggar hak asasi manusia.
Politik uang yang biasanya dilakukan dengan bentuk uang, sembako, atau barang lainnya yang dibagikan kepada pemilih untuk mempengaruhi perolehan suara pemilih. Hal ini tidak hanya merusak moral pemilih, tetapi juga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mengorbankan orang-orang yang berbakat, jujur. Serangan fajar (nama yang sering disematkan untuk pemberian politik uang saat dini hari atau menjelang subuh) ini juga bertentangan dengan nilai-nilai agama, khususnya Islam yang melarang suap dan politik uang.
Sayangnya, sebagian dari masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung atau memilih jika ada mendapatkan keuntungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi atau terpilih mereka akan lupa janji.
Faktor masyarakat tidak gunakan hak pilih
Faktor yang menyebabkan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya, secara sederhana dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu faktor dari internal pemilih dan faktor eksternal.
Faktor internal, seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit, pemilih sedang ada kegiatan yang lain serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih. Kondisi itulah yang secara teknis membuat pemilih tidak datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Adapun faktor eksternal, yaitu dikarenakan adanya stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) diselenggarakan pada 27 November 2024, pada saat itulah perilaku pemilih dalam memilih ini bukan karena keuntungan semata, ataupun keterlibatan dalam serangan fajar, melainkan atas dasar kesadaran terhadap tanggung jawab moral sebagai bagian dari masyarakat Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab.
Apa yang harus dilakukan pemilih/masyarakat?
Dalam menghadapi Pilkada serentak 2024, bagaimana tindakan yang seharusnya dimiliki masyarakat dalam memilih pemimpin nanti? Masyarakat harus menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan memilih calon yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka, dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti latar belakang, visi, dan misi yang diusung para calon.
Pemilih harus memahami secara mendalam isu-isu yang dihadapi dan memiliki rekam jejak dalam melayani masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik untuk membawa Indonesia maju.
Adapun tindakan lainnya yang dapat dilakukan masyarakat yaitu menghindari para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, tapi mereka yang baik, tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
Selain dari sisi pemimpin, masyarakat juga seharusnya aktif dari partisipasi dalam proses pemilihan, termasuk memastikan terdaftar dari sisi sebagai pemilih, untuk menggunakan hak pilih mereka, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan dengan memilih calon yang dianggap baik menurut mereka.
Pemilihan merupakan fondasi dari sistem demokrasi ketika kita aktif dalam memilih para pemimpin, maka itu akan memengaruhi keputusan kebijakan nanti. Setiap tangan masyarakat akan menentukan hidup mereka ke depannya, maka masyarakat memiliki kesempatan nantinya untuk mengevaluasi kinerja pemimpin yang terbaik untuk masa depan serta membantu membangun sistem pemerintahan yang lebih berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. [**]
Penulis: Istiqamah (Sekretaris Departemen Kajian dan Aksi, Himapol UIN Ar-Raniry Banda Aceh)