Komitmen Jokowi VS Prabowo Memangkas Jaringan Koruptor
Font: Ukuran: - +
Menjelang perhelatan pesta demokrasi 2019, selalu ada isu-isu hangat yang mencuat ke permukaan. Jika ditarik benang merahnya, isu-isu tersebut sering digoreng dan dikaitkan dengan Capres dari kedua belah pihak, baik 01 maupun 02.
Kali ini, publik dihebohkan dengan OTT KPK yang menimpa Ketua Umum PPP, Romahurmuziy atau yang akrab disapa Romy (15/3/2019). Kasusnya dikaitkan dengan suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI.
Di satu sisi, ini menjadi ujian bagi kubu 01. Karena Romy adalah salah satu tim pemenangan di kubu 01. Sementara di sisi yang lain, hal ini menjadi "amunisi" bagi kubu 02 untuk menggoreng dan menyerang kubu 01. Apa sampai di sini selesai? Sabar dulu, Bung.
Pada masing-masing kubu tersebut tidak lepas dari monster-monster yang menguras uang rakyat, dan akan selalu saja muncul wajah-wajah baru, karena ini masalah penyakit sosial. Badai korupsi akan menimpa siapa saja, baik kubu A maupun kubu B, partai A, B, C, D dst. Hanya saja masanya belum tiba. Tunggu saja tanggal mainnya.
Seperti kasus-kasus sebelumnya yang telah menimpa pejabat dan petinggi-petinggi lintas partai seperti Lutfi Hasan Ishaq (PKS), Anas Urbaningrum (Demokrat), Max Moein (PDIP), Suryadharma Ali (PPP), Rio Capella (Nasdem), Setya Novanto (Golkar), M. Taufik (Gerindra), Zumi Zola (PAN) dan masih banyak lagi, termasuk pejabat dan petinggi partai-partai lainnya yang pernah terjerat, kecuali partai pendatang baru PSI.
Perbandingan komitmen Capres
Dalam konteks Pilpres, kita harus membaca, melihat dan menyimak sepenuhnya keseriusan Jokowi dan Prabowo. Dengan kata lain, kita perlu melakukan perbandingan komitmen Capres dalam memangkas jaringan koruptor yang semakin hari kian memprihatinkan bangsa ini. Bahkan sampai saat ini telah mengakar hingga tingkat pedesaan (baca: korupsi dana desa).
Pertama, terkait kasus Romy, Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada KPK. Karena ia mengatakan siapapun yang terlibat kasus korupsi harus dijerat, tanpa ada intervensi sedikitpun dari Istana. Meskipun yang terjerat itu bagian dari koalisi partai pendukungnya.
Sementara, jika kita berkaca 5 tahun sebelumnya, Menteri Agama era SBY-Boediono sekaligus mantan Ketum PPP, Suryadharma Ali (SDA) juga pernah dijerat KPK menjelang Pilpres 2014 terkait korupsi dana haji. Namun, saat itu PPP berada dalam koalisi Prabowo-Hatta.
Berbeda dengan Jokowi, kala itu Prabowo merasa dikriminalisasi oleh KPK era SBY-Boediono, dan mengatakan penetapan SDA sebagai tersangka jelang Pilpres 2014 sarat muatan politis. Bahkan ironisnya, Prabowo mengatakan tindakan KPK telah melukai hati masyarakat. Wow! (sumber: https://m.merdeka.com/peristiwa/icw-kritik-prabowo-karena-bela-suryadharma-soal-korupsi-haji.html)
Kedua, terkait Caleg Napi koruptor. Meskipun belum ada UU yang mengatur larangan napi koruptor maju sebagai caleg, namun untuk mengantisipasi berulangnya korupsi dari caleg napi koruptor patut diwaspadai.
Dalam debat Capres-Cawapres (17/1/2019), Jokowi sempat bertanya kepada Prabowo terkait caleg napi koruptor yang diusung oleh partai Gerindra, dimana Prabowo selaku Ketua umumnya. Prabowo berasumsi bahwa kalau korupsi tidak seberapa, tidak jadi masalah. Lalu ia menganalogikan perbandingan pencuri ayam dengan koruptor.
Petikan jawaban Prabowo sangat absurd dan irasional. Mestinya, korupsi walaupun sedikit tetap harus diberantas dan perbandingan kasus yang disampaikan Prabowo juga tidak apple to apple. Sebagai ketua umum partai yang menandatangani dan menyetujui Napi koruptor maju sebagai caleg, komitmen antikorupsi Prabowo patut dipertanyakan.
Ketiga, terkait nepotisme kekuasaan. Jokowi tidak memberikan jabatan politik dan proyek pada anak istrinya. Bahkan Jokowi memberikan kesempatan kepada anak-anaknya berkarir di dunia kewirausahaan yang tidak berhubungan langsung dengan panggung kekuasaan. Toh, bisa saja kalau Jokowi berkeinginan membangun bisnis di lingkaran kekuasaan. Tapi hal itu tidak ia lakukan, demi menghindari nepotisme kekuasaan dan sadar bahwa ia lahir dari grass root atau rakyat biasa.
Sementara itu, Prabowo yang lahir dari keluarga elite dan sudah lama bersentuhan dengan kekuasaan karena pernah menjadi menantu Soeharto. Tentunya pernah "mencicipi" manisnya hasil proyek dan bisnis Cendana. Bahkan sejak maju sebagai Capres 2014 hingga sekarang juga didukung oleh keluarga Cendana.
Barangkali hanya ada tiga catatan perbandingan yang dapat penulis uraikan. Tentu masih banyak lagi yang perlu diuraikan. Atau boleh jadi ada yang berbeda dalam melihat persoalan ini juga tidak jadi masalah.
Musuh utama
Sampai saat ini koruptor masih menjadi musuh utama bangsa ini. Koruptor adalah pengkhianat bangsa yang menjajah bangsa sendiri. Koruptor juga "Penista agama", karena "Kefakiran sangat dekat kekufuran", kata Nabi Saw. Karena ulah koruptor bangsa ini menjadi miskin.
Dulu Bung Karno juga pernah berujar "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, sedangkan perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Karena itu, jangan beri ruang dan kesempatan bagi caleg koruptor. Hanya satu kata, Tenggelamkan!
Siapapun presidennya, koruptor akan selalu ada. Selama penyakit sosial itu masih menjangkiti masyarakat Indonesia. Namun, membandingkan komitmen sang Capres memangkas jaringan koruptor adalah perkara yang sangat penting, sebagaimana yang telah penulis uraikan.
Karena dari situ kita tahu, siapa Capres yang serius dan berkomitmen melawan penjarah uang rakyat dan siapa pula Capres yang terindikasi melindungi harta kekayaannya dan juga melindungi mafia-mafia di lingkarannya.
Akhirnya, hati saya sudah terpatri untuk memilih 1 dari 2 Capres yang ada, bukan dua-duanya alias Golput. Karena dalam memilih membutuhkan prinsip dan alasan yang rasional, bukan karena ini dan itu. Prinsip Yes, fanatik No! So, bagaimana dengan Antum? .
*Denni Taufiqurrahman, Aktif di PD Pemuda Muhammadiyah Kota Banda Aceh bidang Politik, Hikmah dan Hubungan Antarlembaga