Lembaran Baru Konflik di Timur Tengah
Font: Ukuran: - +
Penulis : Dr. Zulhelmi
Dr. Zulhelmi, MHSc (Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh). Foto: for Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Opini - Serangan Iran ke Israel yang terjadi pada hari Sabtu 13 April 2024 menjadi lembaran baru dalam sejarah konflik di Timur Tengah. Serangan ini merupakan serangan balasan Iran terhadap Israel karena dua minggu sebelumnya Israel menyerang kantor konsulat Iran yang berada di kota Damaskus, Suriah.
Serangan ini adalah serangan yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, karena sebelumnya banyak pihak yang menduga bahwa Iran tidak pernah berani menyerang Israel. Selama ini Iran dinilai hanya menggertak Israel saja tanpa berani melakukan aksi nyatanya. Bahkan ada pula yang menduga bahwa Iran sebenarnya sekutu atau kawan dekat Israel, sehingga tidak mungkin ia akan menyerang Israel. Oleh karena itu, serangan 13 April tersebut telah membantah dugaan tersebut. Di samping itu pula, serangan tersebut menunjukkan bahwa ternyata Iran adalah negara yang kuat dan berani melawan Israel, Amerika Serikat dan sekutunya demi mempertahankan marwah dan harga diri sebuah negara yang berdaulat dan bermartabat.
Dalam tulisan yang sederhana ini, ada beberapa pesan penting yang ingin penulis uraiakan terkait dengan serangan Iran ke Israel. Pertama, bahwa saat ini Republik Islam Iran adalah satu-satunya negara Islam yang ada di atas permukaan bumi ini yang kuat serta ditakuti oleh Israel, Amerika Serikat dan para sekutunya. Hal ini sangat wajar terjadi karena Iran memiliki kekuatan yang tidak bisa disepelekan dalam bidang militer, pengembangan nuklir, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
Meskipun selama bertahun-tahun ekonomi Iran diembargo oleh dunia karena ia tidak pernah ta’at pada Amerika Serikat, namun kondisi tersebut telah mampu membuat ekonomi Iran berdaulat dan tidak tergantung pada negara-negara lain. Rakyat Iran sudah teruji oleh waktu untuk hidup secara berdaulat di atas kemerdekaan ekonominya sendiri, tanpa ketergantungan pada ekonomi global.
Kedua, bahwa Iran adalah satu-satunya negara Islam yang serius membela saudaranya yang sedang dijajah oleh Israel. Memang benar bahwa kita tidak mungkin membantah adanya negara-negara Islam lain juga turut membantu warga Palestina, namun bantuan tersebut hanya berupa bantuan material (seperti makanan, minuman, pakaian, obat-obatan) untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain dalam bentuk material, bantuan lain juga diberikan dalam bentuk do’a yang dipanjatkan oleh kaum muslimin dalam setiap shalat melalui Qunut Nazilahnya dan juga do’a pada setiap khutbah Jum’at. Tapi saat ini, ada kebutuhan lain yang lebih penting untuk warga Palestina, yaitu kebutuhan untuk hidup merdeka dari penjajahan Israel.
Tentu untuk mewujudkan hal ini mesti melalui kekuatan militer dan diplomatik, tidak cukup hanya menyalurkan bantuan material untuk keberlangsungan hidup di tengah-tengah peperangan. Fakta menunjukkan hanya Iran satu-satunya negara Islam yang benar-benar serius membela saudaranya yang muslim di Palestina tidak hanya melalui dua cara di atas, melainkan juga melalui kekuatan militer yang dimilikinya serta kekuatan diplomatik di forum PBB.
Namun sangat disayangkan, usaha maksimal Iran tersebut seakan tidak pernah mendapatkan apresiasi dan pengakuan dari mayoritas umat muslim. Hal tersebut dikarenakan Iran merupakan negara Islam yang bermazhab syi’ah, sementara negara-negara mayoritas Islam lain bermazhab sunni. Menurut hemat penulis, kondisi seperti ini sangat merugikan masa depan umat muslim itu sendiri, karena kondisi seperti ini merupakan kondisi yang sengaja diciptakan oleh Israel melalui kekuatan zionisnya untuk memecah belah umat Islam, sehingga umat Islam tidak bersatu padu. Perbedaan sunni-syiah sengaja dibenturkan, sehingga umat Islam menjadi lemah akibat dari perpecahan internal. Artinya, jikalau umat Islam terjebak pada benturan ini, maka mereka sudah berhasil masuk dalam perangkap zionis Israel.
Oleh karena itu, sebagai solusi agar umat Islam di dunia tidak terperangkap dalam jebakan zionis ini, maka umat Islam harus membuka kembali dan mempelajari lembaran-lembaran sejarah masa lalu, khususnya masa awal mula terjadinya perpecahan umat Islam yaitu pada periode akhir khalifah Ustman bin Affan. Bukankah belajar sejarah itu sangat penting agar kita bisa belajar dari masa lalu, sehingga kesalahan tersebut tidak terulang kembali di masa depan?
Sejauh pengetahuan penulis, kemunculan mazhab-mazhab teologis dalam Islam itu merupakan produk perjalanan sejarah umat Islam itu sendiri. Mengingkari perbedaan mazhab tersebut berarti mengingkari sejarah umat manusia itu sendiri. Sekarang tidak perlu lagi dibicarakan siapa salah dan siapa yang benar, karena hal tersebut sudah selesai ditulis dan dianalis oleh para ilmuan dan sejarawan dalam banyak bukunya. Bahkan, sebagian mereka menyebut bahwa peristiwa konflik internal umat Islam pada periode akhir khalifah Ustman bin Affan tersebut adalah sebagai Fitnah Besar (al-Fitnatul Kubra), sebagaimana yang ditulis oleh Taha Hussain. Fitnah yang dimaksud di sini adalah ujian atau cobaan yang dihadapi umat Islam yang kondisinya sangat rumit dan tidak sederhana. Oleh karenanya, tidak ada manfaat bagi umat Islam hari ini untuk membela Ustman ataupun mencaci Ali dan begitu juga sebaliknya, sebagaimana yang ril terjadi hari ini di kalangan sunni ataupun syi’ah.
Atas dasar itu, maka yang harus dilakukan oleh umat Islam setelah mempelajari sejarah kelam perjalanan umat Islam masa lampau itu adalah menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan sebuah fakta sejarah yang tidak mungkin dibantah dan apalagi menutupinya serta menguburkannya dalam dalam. Aksi kongkrit dari bentuk penerimaan pil pahit ini adalah menumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan-perbedaan mazhab ataupun aliran yang ada dalam umat Islam, khususnya mazhab-mazhab teologis. Sudah saatnya sekarang ini umat Islam menghindari permusuhan sesama umat Islam sendiri hanya karena perbedaan mazhab. Artinya, kalaupun ada sebagian kalangan yang berbeda atau tidak sesuai mazhab dengan mazhab yang diyakininya, maka hargai perbedaan tersebut. Di samping itu pula, tidak perlu ada pemaksaan agar orang lain yang berbeda mazhab untuk meninggalkan mazhabnya dan mengikuti mazhab yang lain. Anggap saja perbedaan-perbedaan itu sebagai bumbu kehidupan yang membuat hidup ini dinamis dan tidak monoton. Ibaratnya seperti bumbu masakan, yang terdiri dari banyak rasa, seperti pedas, manis, asin, pahit, tawar, asam dan lain sebagainya. Jikalau semua perbedaan rasa tersebut diaduk menjadi satu dan berubah menjadi sebuah resep masakan, kuah beulangong umpanya, maka hal tersebut akan melahirkan sebuah menu makanan yang sangat istimewa. Tapi, apa jadinya, kalau seseorang memaksa agar hanya boleh ada satu rasa saja, misalnya manis? Tentu ini tidak bisa menjadi sebuah resep menu makanan istimewa, bahkan bisa jadi tidak ada yang mau mencicipinya, karena cuma ada satu rasa, yaitu manis.
Nah seandainya, umat Islam sudah mampu menghargai perbedaan mazhab yang dilahirkan dari rahim sejarah umat Islam itu sendiri, maka saat itu kekuatan umat Islam dengan sendirinya akan tumbuh besar dan sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya. Dengan demikian, konsekwensi logis dari adanya sikap saling menghargai adalah mengakui dan mengapreasiasi atas segala usaha yang pernah dilakukan oleh orang yang berbeda pandangan dengan kita.
Dalam kasus konflik di Timur Tengah hari ini, maka siapapun dia, harus menghargai dan mengapresiasi jihad negara Iran yang telah membantu saudaranya yang muslim di Palestina. Bahkan, umat Islam secara umum harus berbangga, karena ternyata dalam keterpurukan umat Islam hari ini, masih ada sebuah negara Islam yang bernama Iran yang kuat dan berani menghadapi kekuatan Israel, Amerika Serikat dan para sekutunya. Jangan gara-gara Iran bermazhab syi’ah, lalu kalangan muslim sunni menutup mata prestasi gemilang yang dimiliki Iran, bahkan berupaya untuk menutupinya dengan kebohongan. Sudah sepatutnya kita umat Islam seluruh dunia mendukung Iran serta mengucapkan terimakasih yang setingi-tingginya karena Iran berada di garda terdepan untuk melawan zionis Israel.
Ketiga, serangan Iran terhadap Israel dilakukan secara professional dan penuh tanggung jawab. Artinya, serangan tersebut tidak diarahkan pada masyarakat sipil tidak terlibat dalam peperangan, sehingga anak-anak, kaum perempuan dan orang-orang lemah lainnya tidak menjadi korban perang. Serangan Iran ke Israel difokuskan pada markas militer dan tidak merusak fasilitas umum lainnya seperti rumah sakit dan sekolah. Hal ini sangat berbeda dengan serangan Israel ke Palestina yang tidak hanya menyerang pasukan Hamas semata, melainkan juga rakyat sipil lemah yang tidak berdosa. Dari sini, jelas terlihat bahwa Iran dalam kondisi perang sekalipun tetap menghargai dan menjaga rakyat sipil yang tidak terlibat dalam medan pertempuran. Ini merupakan realisasi dari ajaran Islam yang humanis dimana Islam melarang untuk membunuh orang-orang lemah yang tidak berdaya, bahkan tidak diperbolehkan menebang pohon kayu sekalipun.
Di penghujung tulisan ini, penulis juga memprediksi bahwa jikalau Iran terus menerus melakukan serangan militer ini ataupun Israel berupaya membalas kembali serangan itu ke Iran, maka perang dunia ketiga sudah berada di ambang pintu. Tentu masing masing akan meminta bantuan kepada negara-negara sekutunya yang akhirnya perang semakin meluas karena diikuti oleh banyak negara. Sebagaimana yang dilansir oleh CNN Indonesia bahwa sehari setelah serangan Iran terhadap Israel, Dewan Keamanan PBB melaksanakan sidang darurat untuk merespon serangan tersebut. Dalam sidang tersebut masing-masing memberikan argument untuk mempertahankan diri serta mencari dukungan dari negara-negara sekutu.
Semoga konflik yang terjadi di Timur Tengah ini segera mereda, karena sesungguhnya peperangan itu tidak akan pernah bisa membangun sebuah peradaban manusia yang baru. Justru peperangan itu membunuh peradaban manusia itu sendiri. Oleh karenanya, serangan Iran ke Israel ini dianggap sebagai lembaran baru, karena pasca serangan tersebut, konflik di Timur Tengah bisa jadi akan mereda karena Israel sudah tidak berani lagi arogan terhadap Palestina. Atau pun sebaliknya, Israel tidak tinggal diam karena ia justru akan meminta bantuan dari sekutunya untuk membalas dendam pada Iran. Kita nantikan saja bagaimana perkembangan terakhir konflik di Timur Tengah sambil berdo’a supaya konflik tersebut segera mereda dan manusia pun bisa hidup secara damai dan sentosa. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…
Penulis : Dr. Zulhelmi, MHSc (Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh).