Senin, 20 Oktober 2025
Beranda / Opini / Literasi Digital, Benteng Terakhir Melawan Disinformasi di Aceh

Literasi Digital, Benteng Terakhir Melawan Disinformasi di Aceh

Minggu, 19 Oktober 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Naufal Habibi

Naufal Habibi, Wartawan Media DIALEKSIS.COM. Dokumen pribadi untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di sebuah warung kopi di Banda Aceh, obrolan tentang politik dan isu terkini selalu menggema lebih cepat dari denting cangkir kopi. 

Di sudut meja, seseorang membuka gawai dan dengan yakin menunjukkan tangkapan layar berisi berita baru yang katanya berasal dari sumber terpercaya. 

Padahal, sumber itu tidak pernah bisa diverifikasi. Namun dalam hitungan menit, kabar itu sudah berpindah tangan, berpindah grup, berpindah kepercayaan. Inilah wajah disinformasi kita hari ini cepat, meyakinkan, dan menyesatkan.

Fenomena ini bukan sekadar urusan salah paham atau kekeliruan informasi. Ia telah menjadi ancaman serius terhadap nalar publik, terhadap keutuhan masyarakat, bahkan terhadap tatanan demokrasi di Aceh yang tengah tumbuh di atas luka sejarah panjang. 

Di tengah derasnya arus digitalisasi, literasi menjadi semacam vaksin sosial, benteng terakhir yang melindungi masyarakat dari infeksi kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran.

Aceh adalah daerah dengan semangat sosial tinggi. Setiap kabar, sekecil apa pun, bisa beredar dari Meulaboh hingga Langsa hanya dalam hitungan jam. Namun semangat itu sering kali tak diimbangi kemampuan memilah kebenaran. 

Di ruang digital kita, opini dan fakta kerap menyatu tanpa batas, sementara foto-foto lama dimunculkan kembali seolah-olah baru terjadi kemarin.

Menurut Indeks Literasi Digital Indonesia 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kominfo dan Katadata Insight Center, skor literasi digital nasional berada di angka 3,65 dari 5, dengan kategori sedang.

Namun, Aceh berada sedikit di bawah rata-rata nasional, khususnya dalam aspek digital safety dan critical thinking. Artinya, masyarakat Aceh masih rentan terhadap informasi palsu dan kurang kritis dalam menilai sumber berita di media sosial.

Data itu diperkuat pula oleh temuan Siber Kreasi (2024) yang menunjukkan bahwa lebih dari 60% masyarakat Indonesia masih sering membagikan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Di Aceh, di mana WhatsApp Group dan Facebook masih menjadi media utama pertukaran kabar, kebiasaan ini menciptakan ruang subur bagi misinformasi berkembang.

Ketika Hoaks Menjadi Alat Kekuasaan

Disinformasi tidak selalu muncul karena iseng. Dalam politik, ia sering menjadi alat yang efektif murah, cepat, dan mematikan reputasi lawan. Menjelang Pemilu 2024 lalu, Kominfo mencatat lebih dari 1.300 konten hoaks politik yang tersebar di dunia maya, dan sebagian besar beredar melalui media sosial pribadi dan grup tertutup.

Di Aceh, fenomena serupa terlihat dari meningkatnya kabar bohong yang mengaitkan kandidat dengan isu agama dan sejarah konflik. 

Padahal, sebagian besar informasi itu tidak pernah terbukti. Hoaks yang dibiarkan menyebar bukan hanya merusak reputasi seseorang, tapi juga merusak fondasi kepercayaan publik.

Dalam konteks Aceh, hal ini jauh lebih berisiko, karena kepercayaan adalah modal sosial utama kita. Sekali kepercayaan runtuh, kita kehilangan arah bersama.

Literasi Digital Sebagai Amal Jama’i

Melawan disinformasi bukan hanya tugas pemerintah atau media, tetapi tugas kolektif. Literasi digital seharusnya tidak hanya diajarkan di ruang-ruang formal seperti sekolah atau kampus, melainkan juga di meunasah, balai gampong, dan ruang komunitas. Di sanalah masyarakat Aceh bisa belajar untuk berhati-hati sebelum berbagi.

Kegiatan seperti Ngaji Digital, pelatihan cek fakta berbasis komunitas, atau diskusi literasi di warung kopi bisa menjadi cara sederhana namun bermakna untuk membangun kesadaran kolektif. Di dunia yang begitu cepat ini, kehati-hatian menjadi bentuk kebijaksanaan baru.

Lebih dari itu, kita juga perlu melatih empati digital. Artinya, sebelum menyebarkan informasi, kita harus berpikir: apakah kabar ini bisa melukai orang lain? Apakah ini benar-benar bermanfaat bagi publik? Di sinilah nilai-nilai Aceh yang berbasis adab dan ukhuwah Islamiyah seharusnya menjadi fondasi bermedia sosial.

Peran Media Lokal dan Jurnalis Muda

Media lokal di Aceh punya peran strategis sebagai penyeimbang arus informasi global. Di tengah gempuran clickbait dan algoritma media sosial yang lebih suka sensasi, media lokal seharusnya menjadi penjaga nalar menghadirkan jurnalisme verifikasi, bukan jurnalisme sensasi.

Selain itu, jurnalis muda Aceh juga perlu tampil sebagai pendidik publik, bukan sekadar pelapor peristiwa. Mereka harus berani menelusuri sumber, menolak kabar tanpa dasar, dan mengedukasi pembaca bahwa kebenaran tidak bisa diserahkan kepada algoritma.

Beberapa inisiatif baik sebenarnya sudah muncul. Misalnya, program literasi digital yang digelar oleh Relawan TIK Aceh dan Dinas Kominfo Aceh sejak 2022 yang menyasar pelajar dan mahasiswa. 

Namun langkah-langkah itu masih harus diperluas agar menjangkau masyarakat akar rumput dari pedagang pasar hingga komunitas pesisir.

Kita tidak sedang berperang melawan teknologi, melainkan melawan kelalaian dalam menggunakannya. Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan gawai, tetapi kemampuan berpikir kritis, etis, dan bertanggung jawab.

Jika Aceh ingin dikenal bukan hanya karena sejarahnya yang heroik, tapi juga karena kecerdasannya di era digital, maka literasi adalah jihad baru kita.

Mari mulai dari hal kecil, membaca sebelum membagikan, mengecek sebelum mempercayai, menulis sebelum menyesali. Karena dalam dunia yang serba cepat ini, jeda untuk berpikir adalah bentuk perlawanan paling elegan terhadap disinformasi.

Literasi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan moral masyarakat modern. Ia menuntun kita agar tidak tersesat di hutan informasi yang semakin lebat.

Dan di Aceh, literasi digital bukan hanya benteng terakhir, melainkan juga cahaya pertama yang menuntun nalar kita kembali ke jalan kebenaran. 

Penulis: Naufal Habibi, Wartawan Media DIALEKSIS.COM.

Naufal Habibi adalah pegiat literasi digital dan pemerhati isu sosial Aceh. Aktif menulis di berbagai media lokal dan terlibat dalam kegiatan edukasi masyarakat berbasis komunitas.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI