Mampukah Fadhil Rahmi Menjadi Pendongkrak Suara Bustami?
Font: Ukuran: - +
Penulis : Aryos Nivada
Kehadiran Fadhil Rahmi di pentas Pilkada Aceh membuka sejumlah pertanyaan dan analisis tentang strategi politik serta prospek kemenangannya. [Foto: net]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh 2024 menghadirkan dinamika politik yang menarik untuk dicermati. Salah satu tokoh yang menjadi sorotan adalah Fadhil Rahmi, anggota DPD RI periode 2019-2024 yang kini diusung sebagai calon wakil gubernur mendampingi Bustami Hamzah.
Kehadiran Fadhil Rahmi di pentas Pilkada Aceh membuka sejumlah pertanyaan dan analisis tentang strategi politik serta prospek kemenangannya.
Fadhil Rahmi, pria kelahiran Langsa 6 September 1978, memiliki latar belakang pendidikan yang cukup menarik. Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo ini pernah menempuh pendidikan di institusi yang sama dengan Ustaz Abdul Somad (UAS), tokoh agama yang memiliki pengaruh besar di Indonesia.
Namun, menariknya, pengaruh UAS yang sempat menjadi andalan Fadhil Rahmi dalam Pemilu 2019 ternyata tidak mampu mempertahankan elektabilitasnya pada Pemilu 2024.
Penurunan suara Fadhil Rahmi dari 227.624 pada Pemilu 2019 menjadi 137.754 pada Pemilu 2024 menunjukkan bahwa strategi pass marketing yang mengandalkan figur tokoh agama tidak lagi seefektif sebelumnya. Fenomena ini mengindikasikan adanya pergeseran pola pikir pemilih Aceh yang semakin rasional dalam menentukan pilihan politiknya.
Tantangan Fadhil Rahmi kini semakin kompleks ketika ia harus bersaing dalam kontestasi Pilkada Aceh. Keputusannya menggantikan posisi almarhum Tengku Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop) sebagai calon wakil gubernur mendampingi Bustami Hamzah memunculkan sejumlah pertanyaan.
Apakah ia mampu memperluas pengaruhnya? Bagaimanapun, secara peta dukungan suara yang dimiliki, jumlah suara partai yang mendukung Bustami masih kalah banyak dari suara milik partai yang mendukung Muzakir Manaf. Dengan begitu, kehadiran Fadhil Rahmi tentu diharapkan lebih agresif sebagai sosok pendulang suara.
Salah satu kelemahan yang terlihat yaitu kurangnya penetrasi Fadhil Rahmi ke segmen pemilih muda. Hasil monitoring media menunjukkan minimnya aktivitas yang berkaitan dengan kaum muda, sehingga ia terkesan terlokalisir pada jejaring relasi yang sudah ada. Padahal, pemilih muda merupakan segmen krusial yang dapat menentukan hasil Pilkada.
Faktor geografis juga menjadi pertimbangan penting. Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari Bireuen dan Aceh Utara, seharusnya Fadhil Rahmi dapat memanfaatkan ikatan kedaerahan untuk memperluas basis dukungannya. Namun, sejauh mana pengaruh ini dapat dimaksimalkan masih menjadi pertanyaan.
Jika dilihat dari peta perolehan suara DPRK, Aceh Utara dikuasai oleh Partai Aceh. Hanya di Bireuen yang lebih banyak dikuasai Golkar. Menjadi sangat berbahaya manakala mesin Golkar dan NasDem tidak berkerja di Bireuen.
Ada kekhawatiran bahwa pencalonan Fadhil Rahmi hanya sebagai "jalan tengah" untuk menetralisir gejolak antar partai pengusung. Jika benar demikian, maka posisinya bisa jadi hanya sebatas pelengkap tanpa memiliki ‘bargaining position’ yang kuat dalam konstelasi politik Aceh.
Indikasi ini terlihat dari lima calon dari kalangan ulama yang diusulkan oleh Abu Mudi, tidak ada yang menjadi calon wakil. Apakah karena mereka tidak bersedia, apakah mereka tidak diterima secara bulat oleh partai pengusung atau mereka tidak diterima oleh calon gubernur. Ujungnya, karena harus mengejar jadwal, akhirnya dipilih Fadhil Rahmi.
Klaim bahwa Fadhil Rahmi merepresentasikan didukung ulama Aceh juga perlu dicermati lebih dalam. Faktanya, kandidat lain seperti Muzakir Manaf dan Fadhullah juga memiliki relasi yang kuat dengan kalangan ulama di Aceh. Mereka bahkan telah melakukan serangkaian silaturahmi dengan tokoh-tokoh ulama terkemuka di Aceh. Hampir semua nama ulama yang diusulkan memiliki relasi yang kuat dengan berbagai politisi dari Partai Aceh. Sangat mungkin mereka tidak bersedia guna memberi jalan bagi Mualem untuk mencalonkan diri. Bisa jadi juga mereka enggan mendampingi setelah tahu kualitas mengaji dari Bustami.
Penting untuk diingat bahwa kedekatan dengan ulama bukan sekadar formalitas menjelang Pilkada. Ini adalah tentang relasi jangka panjang dan bukti konkret kepedulian terhadap para ulama dan umat. Masyarakat Aceh yang semakin cerdas tentu akan mempertimbangkan aspek ini dalam menentukan pilihan politiknya.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, Fadhil Rahmi perlu melakukan introspeksi dan penyesuaian strategi. Ia harus mampu keluar dari zona nyaman dan memperluas jangkauan politiknya, terutama di kalangan pemilih muda. Selain itu, penguatan narasi politik yang lebih substansial dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Aceh kontemporer juga menjadi keharusan. Strategi membawa nama Tu Sop (almarhum) meski bagus secara politik namun itu tidak mencerminkan kualitas sang calon. Itu sama saja mengulang pendekatan politik dengan menumpang pada nama besar UAS.
Pada akhirnya, kiprah Fadhil Rahmi di panggung Pilkada Aceh 2024 akan menjadi cermin dari dinamika politik lokal yang terus berevolusi. Apakah ia akan mampu beradaptasi dan memenangkan hati rakyat Aceh, atau justru terjebak dalam pusaran politik identitas yang mulai kehilangan relevansinya, atau juga akan menjawab pertanyaan publik soal mengapa pilihan keluar dari nama-nama yang diusulkan awal oleh ulama (Abu Mudi)? Jawaban atas pertanyaan ini akan terkuak seiring berjalannya proses Pilkada Aceh 2024. [**]
Penulis: Aryos Nivada (Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala dan Pendiri Sindikasi Grup)