DIALEKSIS.COM | Opini - Bahasa daerah adalah cermin dari jati diri, penanda kebudayaan, dan warisan yang mengikat kita pada tanah leluhur. Di Aceh, bahasa Aceh bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bagian tak terpisahkan dari memori kolektif masyarakat. Ia hadir dalam syair, dalam doa, dalam cerita rakyat yang dituturkan dari mulut ke mulut, dan dalam berbagai ekspresi seni yang menjadi napas kebudayaan kita.
Namun seiring laju zaman, terutama dalam era digital yang didominasi oleh konten berbahasa Indonesia dan Inggris, posisi bahasa Aceh kian terdesak. Jika tidak segera direspons secara kolektif, bukan tidak mungkin bahasa ini perlahan hanya akan hidup sebagai simbol semata -- terdengar di seremoni budaya, di pentas kesenian, tapi absen dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah situasi ini, masyarakat Aceh menaruh harapan besar kepada generasi mudanya. Generasi yang lahir dan tumbuh dalam arus globalisasi, generasi yang melek digital dan menjadi penggerak utama dalam ruang-ruang media sosial. Sebab dalam dunia saat ini, eksistensi sebuah bahasa tidak lagi hanya ditentukan oleh jumlah penuturnya, tetapi juga oleh sejauh mana bahasa tersebut hadir dalam ruang publik digital.
Media sosial kini menjadi panggung utama di mana ide, budaya, dan identitas ditampilkan, dibentuk, dan dinegosiasikan. Sayangnya, bahasa Aceh belum cukup mendapat ruang terhormat di panggung ini. Meski sesekali muncul dalam konten humor atau musik tradisional, representasi tersebut masih bersifat simbolik dan terbatas. Belum banyak konten digital berbahasa Aceh yang bernilai edukatif, reflektif, atau mampu memperkenalkan kearifan lokal kepada khalayak yang lebih luas, terutama generasi muda.
Di sinilah peluang sekaligus tantangan itu hadir. Generasi muda memiliki peran strategis dalam mengubah wajah media sosial menjadi ruang yang ramah bagi bahasa ibu. Dengan kreativitas dan keberanian bereksperimen, generasi muda bisa membawa bahasa Aceh keluar dari ruang privat menuju ruang publik digital. Lewat podcast, vlog, cerpen digital, puisi visual, atau thread edukatif di media sosial, bahasa Aceh bisa tampil sebagai bahasa yang hidup, relevan, dan membanggakan.
Pelestarian bahasa daerah tidak lagi cukup dilakukan melalui pendekatan konvensional seperti pelajaran muatan lokal atau dokumentasi kamus. Kini, revitalisasi harus menjangkau ruang-ruang baru tempat generasi muda menghabiskan waktu dan membentuk identitasnya. Dan itu berarti bahasa Aceh harus hadir di media sosial, bukan hanya sebagai simbol kebudayaan, tetapi sebagai praktik keseharian yang membentuk narasi dan makna baru.
Tentu, tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada anak muda. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas budaya juga memiliki andil besar. Pemerintah bisa merancang kebijakan yang mendukung literasi digital berbasis bahasa daerah, memberikan insentif kepada kreator konten lokal, serta memfasilitasi pelatihan dan kolaborasi antarkomunitas.
Sekolah-sekolah bisa memperkuat pelajaran bahasa Aceh dengan pendekatan kreatif berbasis proyek digital. Media lokal juga perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi karya dan suara generasi muda dalam bahasa ibu mereka.
Namun pada akhirnya, keberhasilan upaya pelestarian ini akan sangat bergantung pada kemauan generasi muda untuk mengambil peran aktif. Sebab mereka bukan sekadar pewaris bahasa, tetapi juga pencipta masa depan bahasa itu sendiri. Dengan tangan mereka, bahasa Aceh bisa dibawa melintasi batas-batas waktu dan ruang, dari ruang tamu nenek ke layar ponsel dunia.
Harapan ini bukan harapan kosong. Sudah ada benih-benih yang tumbuh -- dari konten kreatif di TikTok hingga komunitas sastra digital yang mulai menggunakan bahasa Aceh sebagai medium ekspresi. Kini tinggal bagaimana kita menyemai dan menyuburkannya secara bersama-sama.
Menghidupkan bahasa Aceh bukan hanya tentang menjaga warisan masa lalu. Ini tentang menanam identitas di masa depan. Dan generasi muda adalah ladangnya -- subur, dinamis, dan penuh potensi. Kepada merekalah harapan ini kami titipkan, bukan dengan beban, tetapi dengan kepercayaan. [**]
Penulis: Feti Mulia Sukma (mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Syiah Kuala)