kip lhok
Beranda / Opini / Menelisik Ukuran Demokrasi

Menelisik Ukuran Demokrasi

Selasa, 16 Agustus 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif, Ratnalia Indriasari. [Foto: For Dialeksis]


Menelisik Ukuran Demokrasi (Merespon IDI Aceh 2021) 

Sistem demokrasi menjadi jamak diterapkan di hampir semua negara di dunia. Data dari the Freedom House (2022) melaporkan terdapat 139 negara atau 71 persen dari total 195 negara di dunia telah menerapkan sistem demokrasi dengan kualitas yang berbeda. 

Masih terdapat sekitar 56 negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi yang baik, meskipun mereka memiliki partai politik dan melakukan pemilu. Perdebatan mengenai kualitas demokrasi diantara para ilmuan politik sudah dilakukan sepanjang konsep ini berkembang dan diterapkan serta disebarkan.

Untuk mengukur sejauh mana demokrasi telah berhasil diterapkan di sebuah negara, berbagai lembaga dan organisasi peneliti mengembangkan ukuran standar demokrasi global. 

Oleh Gerardo L. Munck dan Jay Verkuilen, professor politik dari University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat, mengidentifikasi terdapat sembilan ilmuan dan lembaga riset global yang membuat indeks demokrasi untuk mengevaluasi dan mengkomparasi kualitas demokrasi negara seluruh dunia.

Meskipun demikian, lembaga dan ilmuan ini menyusun laporan indeks demokrasi dengan jumlah negara dan rentang periode yang berbeda. Sebagai misal, Freedom House menganalisis kualitas demokrasi di hampir semua negara dengan memulainya dari rentang 1972 sampai saat ini. 

Marshal dan Jagger (2001) menyusun indeks dengan nama Polity IV dengan mengukur kapasitas demokrasi 161 negara sejak tahun 1800 sampai 1999. Vanhannen(2000) juga mengamati perkembangan demokrasi pada 187 negara sejak tahun 1810 sampai 1998. Selain itu, beberapa lembaga internasional belakangan juga membuat ukuran tersendiri. 

Misalnya Economist Intellegence (EIU) yang merupakan sebuah lembaga riset yang terbentuk sejak 1946 dan berafiliasi dengan the Economist, sebuah media internasional berpengaruh dunia. EIU juga menyusun indeks demokrasi sejak 2006 sampai sekarang dengan menganalisis 165 negara.

Selain keragaman periode dan jumlah negara yang dianalisis, berbagai laporan pengukuran kualitas demokrasi yang ada di dunia saat ini juga menggunakan variabel yang berbeda-beda. Kita ambil contoh, Freedom House Institute yang menggunakan dua variabel utama yaitu penerapan hak-hak politik dan pengaplikasian hak-hak warga negara dengan 22 indikator. 

Bollen (1980) mengukur kualitas demokrasi dengan kebebasan politik dan kedaulatan rakyat dengan enam indikator. Sementara Polity IV menggunakan lima variabel yaitu daya saing partisipasi, regulasi partisipasi, daya saing rekrutmen lembaga eksekutif, keterbukaan rekrutmen lembaga eksekutif, kendala lembaga eksekutif. Terakhir, EIU juga menganalisis perkembangan demokrasi sebuah negara dengan lima variabel yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Demikian halnya dengan lembaga atau laporan kualitas demokrasi lain yang menggunakan variabel yang berbeda dengan yang lain. 

Hal ini mengindikasikan perbedaan perspektif para ilmuan dunia dalam menganalisis nilai demokrasi dan proses penerapannya di sebuah negara.

Perkembangan demokrasi di Indonesia seperti permainan roller coster yang mengalami fluktuasi dan meliuk-liuk. Pasca 1998, kualitas demokrasi Indonesia semakin membaik dengan menguatnya pemerintahan sipil dan keterbukaan informasi dengan keterlibatan media yang independen serta kebebasan membentuk partai politik dengan penyelenggaraan pemilu yang lebih demokratis. 

Lembaga-lembaga yang aktif melakukan pengukuran kualitas demokrasi tersebut juga menganalisis Indonesia sebagai salah satu negara yang merdeka dan menerapkan sistem demokrasi. The Freedom House melaporkan Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi yang masih setengah terbuka dengan skor 59 dari rentang 0 – 100. Kualitas penerapan hak-hak politik di Indonesia cukup bagus yang berada pada angka 30 (dengan nilai maksimun 40). 

Terdapat dua indikator yang mendapatkan nilai terendah pada variabel ini yang mempengaruhi pencapaian indeks demokrasi Indonesia tahun ini, yaitu lembaga pemberantasan korupsi yang kuat dan efektif dan keterbukaan dan transparansi pemerintahan. Selanjutnya pada variabel penerapan hak-hak kewargaan, pencapaian kualitas demokrasi Indonesia menurup Freedom House adalah pada angka 29 (dengan nilai maksimun 60). Nilai ini mengindikasikan Pemerintah Indonesia belum maksimal menjaga pemenuhan hak-hak kewargaan masyarakat Indonesia. 

Terdapat empat indikator yang memiliki nilai terendah dalam variabel ini, yaitu penerapan hukum, kebijakan, dan praktik yang menjamin perlakuan yang sama terhadap berbagai segmen masyarakat; perlindungan dari penggunaan kekuatan fisik yang tidak sah dan kebebasan dari perang dan pemberontakan; proses hukum berlaku dalam masalah perdata dan pidana; dan kebebasan dalam mempraktikkan dan mengekspresikan keyakinan atau ketidakpercayaan agama di depan umum dan pribadi. 

Indikator-indikator tersebut menjadi standar Freedom House untuk melihat kualitas demokrasi di semua negara dimana ada kemungkinan bertentangan dengan pandangan politik dan kebijakan serta nilai yang berlaku di sebuah negara, termasuk di Indonesia.

Pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Badan Pusat Statistik (BPS) dibantu oleh UNDP serta ilmuan politik di Indonesia kemudian menyusun ukuran demokrasi sendiri dan menyebutnya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). 

BPS secara resmi kemudian membuat laporan IDI sejak 2009 sampai saat ini dengan mengadopsi konsep pengukuran demokrasi versi Freedom House dan EIU. IDI mengukur kualitas demokrasi dengan mengacu pada tiga variabel yaitu kebebasan sipil, pemenuhan hak politik dan lembaga demokrasi yang terdiri atas 28 indikator. Data diolah dengan mengacu pada laporan, berita media tertentu dan kebijakan yang ada sesuai dengan indikator masing-masing.

BPS telah mengumumkan IDI 2021 dengan terjadi perubahan variabel, dimana hak politik diganti dengan kesetaraan. Perubahan variabel ini tentu mengubah metode penghitungan dan indikator yang digunakan. Sayang sekali, BPS belum menerbitkan laporan IDI 2021 di websitenya sehingga kita belum bisa menganalisisnya dengan lebih detail.

Badan Kesatuan Kebangsaan dan Politik, Provinsi Aceh bersama BPS Aceh telah mengumumkan hasil IDI Aceh 2021 dengan mendapatkan nilai tertinggi di Pulau Sumatera. Pencapaian ini tentu kita apresiasi dengan baik dimana Aceh sebagai daerah pasca konflik namun mampu melakukan pembenahan dalam penerapan nilai demokrasi menurut versi BPS tersebut. 

Nilai IDI 2021 Aceh terdiri atas variabel kebebasan sipil dengan 85,50, variabel kesetaraan sebesar 81,41 dan variabel kapasitas lembaga demokrasi berada pada angka 75,82. Angka kebebasan sipil mengalami kenaikan 1,01 poin dari tahun 2020 dan penurunan 7,78 poin di tahun 2019. Namun data kebebasan sipil Aceh perlu mempertimbangkan sebuah riset yang dilakukan oleh Mubarak dan Kumala (2020) yang diterbitkan oleh Jurnal Psikologi USK. Studi ini mengindikasi adanya diskriminasi pada kelompok agama minoritas yang mengalami pembatasan atau hambatan dalam mengekspresikan diri pada ruang publik.

Selanjutnya nilai kapasitas lembaga demokrasi di Aceh juga mengalami kenaikan 0,91 poin dari angka 74,91 di tahun 2020 dan penurunan nilai dari angka 79,08 pada 2019. Variabel ini terendah dari kedua variabel lainnya meski masih pada rentang nilai sedang. Beberapa isu penting pada kapasitas lembaga demokrasi di Aceh adalah netralitas penyelenggara pemilu/pilkada, peran parpol untuk melakukan kaderisasi, peran DPRA/K dalam mengajukan qanun inisiatif dan rekomendasi pada eksekutif serta peran birokrasi pemerintahan daerah, khususnya transparansi APBA/K. 

Selain itu, tentu beberapa isu lain terkait dengan variabel kesetaraan. Terakhir, meskipun nilai IDI Aceh 2021 paling tinggi di Sumatera, bukan berarti demokrasi di Aceh telah terimplementasi dengan sempurna. 

Pemerintah, partai politik, organisasi masyarakat dan warga Aceh masih perlu kerja kolaboratif untuk sungguh-sungguh mengaplikasi nilai-nilai demokrasi yang substansial dan mampu berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan seluruh warga Aceh secara berkelanjutan.

Penulis: Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif, Ratnalia Indriasari.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda