Menjaga Marwah Demokrasi, Urgensi Integritas dalam Pilkada 2024
Font: Ukuran: - +
Penulis : Fachrul Razi
*Penulis adalah Dr. (Cand) H. Fachrul Razi, M.I.P, M.Si, MH (Ketua Komite I DPD RI)
DIALEKSISI.COM | Opini - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan manifestasi demokrasi elektoral di tingkat lokal yang krusial dalam sistem pemerintahan desentralisasi Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Dahl (1971) dalam teori poliarki, pemilihan yang bebas dan adil merupakan salah satu institusi kunci demokrasi.
Namun, dalam konteks Indonesia, Pilkada seringkali menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan pemilihan di tingkat nasional, mengingat kuatnya pengaruh elit lokal dan potensi konflik yang lebih tinggi (Aspinall & Sukmajati, 2016).
Untuk menjaga integritas Pilkada, beberapa aspek kritis perlu mendapat perhatian:
- Rekrutmen penyelenggara pemilu tingkat bawah (PPK, PPS, KPPS) harus transparan dan akuntabel. Hal ini sejalan dengan prinsip electoral integrity yang dikemukakan Norris (2014), di mana profesionalisme dan netralitas penyelenggara pemilu menjadi faktor kunci.
- Validasi daftar pemilih memerlukan mekanisme verifikasi yang kuat. Studi oleh Alvarez et al. (2008) menunjukkan bahwa akurasi daftar pemilih berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
- Pendaftaran peserta Pilkada, terutama dari jalur perseorangan, perlu difasilitasi. Rendahnya partisipasi calon independen dapat mengindikasikan adanya barrier to entry yang bertentangan dengan prinsip contestation dalam demokrasi (Dahl, 1971).
- Netralitas Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Daerah harus dijaga ketat. Penelitian Tans (2012) menunjukkan bahwa intervensi birokrasi dalam proses elektoral dapat mengancam fairness pemilihan.
- Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) juga krusial. Fenomena bureaucratic politicization, sebagaimana dibahas oleh Peters & Pierre (2004), dapat mengancam prinsip merit system dan profesionalisme birokrasi.
Aspek anggaran Pilkada juga memerlukan pengawasan ketat. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan estimasi anggaran Pilkada 2024 mencapai Rp 35,8 triliun. Besarnya anggaran ini berpotensi memicu praktik korupsi, sebagaimana diwarning dalam studi Sjahrir et al. (2013) tentang korelasi desentralisasi fiskal dengan tingkat korupsi di daerah.
Fenomena "pembajakan" demokrasi, atau apa yang disebut Hadiz (2010) sebagai "local bossism", juga menjadi tantangan serius. Munculnya pseudo democracy yang hanya mengedepankan prosedur formal tanpa substansi, sebagaimana dibahas Diamond (2002), dapat mengikis esensi demokrasi.
Menjaga integritas Pilkada, dengan demikian, menjadi conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi lokal yang berkualitas. Merujuk pada konsep democratic quality yang dikemukakan Diamond & Morlino (2005), integritas elektoral merupakan salah satu dimensi prosedural yang fundamental.
Untuk itu, diperlukan komitmen dari seluruh stakeholders, mulai dari penyelenggara, peserta, hingga masyarakat, untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Hanya dengan demikian, Pilkada dapat menjadi instrumen efektif bagi artikulasi kepentingan publik dan menghasilkan kepemimpinan daerah yang legitimate.
Penguatan demokrasi lokal melalui Pilkada yang berintegritas pada gilirannya akan berkontribusi pada konsolidasi demokrasi di tingkat nasional, sebagaimana argumentasi Linz & Stepan (1996) tentang pentingnya institusionalisasi demokrasi di berbagai arena, termasuk di tingkat sub-nasional.
Dengan menjaga dan meningkatkan kualitas Pilkada, Indonesia dapat melangkah lebih jauh dalam mewujudkan cita-cita demokrasi yang substantif, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
*Penulis adalah Dr. (Cand) H. Fachrul Razi, M.I.P, M.Si, MH (Ketua Komite I DPD RI)