Merawat Ingatan Menjadi Harapan
Font: Ukuran: - +
Pegiat Literasi dan Dosen FKIP USK, Herman RN. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jika dikumpulkan 100 pemuda dari seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh, lalu ditanyakan kepada mereka tentang Kerajaan Aceh Darussalam, menurut Anda berapa orang yang mampu menjawab letak istana Kerajaan Aceh Darussalam dan berapa orang yang mampu menjawab tentang para pemimpin (raja) Kerajaan Aceh Darussalam?
Saya memang belum pernah melakukan survei tentang ini, bahkan lembaga survei di Aceh pun belum pernah mengadakan survei terkait hal ini. Mereka para lembaga survei itu lebih tertarik menggelar survei politik dibanding survei literasi sejarah. Namun demikian, saya berani berasumsi dengan tegas bahwa tidak sampai 50 persen anak muda Aceh mampu menjawab dengan tepat tentang lokasi Kerajaan Aceh Darussalam dan tidak sampai 30 persen yang mampu menjawab para raja Kerajaan Aceh Darussalam. Belum lagi ditanyakan soal sejarah Aceh yang lebih detil.
Hal ini menandakan bahwa literasi sejarah bagi regenerasi Aceh sangat rendah. Jika letak istana Kerajaan Aceh Darussalam saja mereka tidak mampu menjawab, betapa pula mereka harus diminta menjelaskan tentang sejarah Aceh secara runtut.
Pengalaman saya beberapa waktu lalu saat menjadi dewan juri Raja dan Ratu Baca yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), ternyata tidak ada satu orang pun para finalis (10 perempuan dan 10 laki-laki) yang mampu menjawab siapa saja raja dan ratu yang pernah memimpin kerajaan Aceh. Bahkan, peserta yang membawa misi literasi sejarah Aceh sekali pun tidak mampu menjawab empat sultanah yang pernah memimpin Aceh. Ingat, hanya empat sultanah, mereka tidak mampu menyebutkan nama. Demikian halnya seorang finalis yang namanya diambil dari nama salah seorang raja Aceh, dia tidak mampu menjawab siapa saja nama raja Aceh, meski nama dirinya diambil dari nama salah seorang raja Aceh. Tatkala diminta menyebutkan 5 saja nama raja Aceh dari 35 yang pernah berkuasa, itu pun tidak mampu dijawab.
Pengalaman lain yang pernah saya lakukan, bertanya kepada para peserta seminar yang terdiri atas anak sekolah, mahasiswa, guru, dan pengelola taman bacaan. Pertanyaan kali ini tentang pengalaman membaca cerita. Coba sebutkan cerita tentang anak durhaka atau anak yang melawan pada orang tuanya yang Anda ketahui atau pernah dibaca atau pernah didengar? Jawaban para peserta secara umum dan kompak “Malinkundang!”.
Mendengar jawaban tersebut, saya hanya mampu berkomentar, ‘Kutu di seberang lautan jelas kelihatan, gajah di pelupuk mata dikatupkan’. Ternyata anak muda Aceh lebih mengenal cerita dari seberang lautan dibanding kisah di tempatnya sendiri. Padahal, cerita yang sama seperti kisah Malinkundang ada di Aceh Besar yang dikenal dengan Amat Rhangmanyang. Kisah yang mirip juga ada di Aceh Tengah, yakni Putri Pukes. Alkisah, cerita Batu Belah yang terdapat beberapa versi-versi Gayo dan versi Aneuk Jamee juga menceritakan tentang anak yang durhaka pada orang tuanya. Sungguh miris tatkala anak-anak muda Aceh, generasi yang ke depan akan menjadi penerus Aceh, lebih mengenal kisah di luar sana dibanding kisah-kisah yang berselemak di Aceh.
Dua pengalaman ini tentang Kerajaan Aceh Darussalam dan kisah anak durhaka merupakan sebuah realita kondisi Aceh masa kini. Bahwa anak muda Aceh zaman sekarang sudah tidak mengenal lagi Aceh, baik sebagai sebuah identias, etnis, maupun sebagai sebuah rumpun bangsa.
Sebagai orang Aceh dan berkhidmah pada dunia literasi, saya menyarankan kepada Pemerintah Aceh melalu instansi terkait agar dapat melakukan pembenahan literatur. Pembenahan tersebut dapat berupa mengajak orang Aceh menulis kembali sejarah Aceh, baik sebagai etnis, sebagai suku, pun sebagai identitas. Sudah cukup Aceh hari ini nyaris kehilangan identitas dan jati dirinya. Jangan sampai Aceh masa depan akan memunculkan sekte bahwa kami Gayo bukan Aceh, kami Alas bukan Aceh, kami Kluet bukan Aceh, kami Tamiang adalah Melayu. Stop istilah-istilah semacam ini. Aceh adalah sebuah satu kesatuan yang terhimpun dari bineka suku, bineka etnis, bineka bahasa, tetapi tunggal ika dalam satu kata: ACEH.
Untuk mencapai harapan ini, Pemerintah Aceh harus memberikan peluang kepada orang Aceh--para penulis dan peneliti--untuk menuliskan kembali sejarah Aceh yang bertaburan dari Krueng Raya hingga Melaka, dari Banda Aceh hingga Belanda. Lalu, buku-buku tersebut dibukukan, diterbitkan baik dalam bentuk fisik mapun digital. Jadikan dokumentasi tersebut sebagai bacaan wajib di sekolah hingga universitas.
Untuk kelayakan sebagai bacaan di sekolah dan di perguruan tinggi, tentu diperlukan tim perumus dan tim pengkaji. Pemerintah Aceh mesti memberikan peluang dan memfasilitasi hal tersebut. Bahwa sejarah Aceh sudah pernah ditulis oleh penulis asing seperti Denys Lombard, James Siegel, Anthony Reid, dan lain-lain, bukan berarti sejarah Aceh tidak mungkin ditulis ulang, direvitalisasi agar sesuai dengan bacaan anak-anak masa kini dan masa depan. Nantinya akan lahir sejarah Aceh dalam bentuk buku ajar, sejarah Aceh dalam bentuk bahan bacaan ringan, sejarah Aceh dalam bentuk buku populer, bahkan sejarah Aceh dalam bentuk novel dan film pun perlu digarap dan digalakkan.
Percayalah, kondisi hari ini merupakan cermin bagi masa depan. Bahwa anak muda Aceh mulai kehilangan identitas ke-Aceh-annya, mulai tidak mengenal sejarah Acehnya, tidak tertutup kemungkinan di masa akan datang mereka bahkan malu mengakui diri sebagai orang Aceh. Sebelum ini terjadi, kita belum terlambat memperbaiki cermin tersebut. Basuhlah cermin hari ini agar jelas tempat berkaca anak Aceh di masa depan.
Jangan katakan literasi sejarah itu sangat penting jika bahan untuk literasi tersebut masih mengandalkan dari luar. Jangan sibuk mencari pengakuan internasional terhadap sejarah Aceh, tatkala dokumentasi yang kita punya hanya tersimpan apik di Belanda, Turki, Patani, atau Malaya. Kini saatnya berbenah, merawat ingatan menjadi harapan!
*Penulis: Herman RN (Pegiat Literasi dan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala)