Mualem Bukan Orator
Font: Ukuran: - +
Penulis : Jabal Ali Husin Sab
Penulis: Jabal Ali Husin Sab adalah warga Banda Aceh
DIALEKSIS.COM | Opini - Jagat medsos dihebohkan dengan pidato Muzakir Manaf 'Mualem' dimana ia salah ucap. Kata-kata yang diucapkan dipelintir dan dijadikan olokan. Memang di era medsos seperti sekarang ini, kita mudah terhibur dengan hal-hal remeh yang sepatutnya bisa dimaklumi.
Mualem adalah seorang prajurit yang tak dilatih untuk jadi orator. Apalagi membangun narasi berbasis retorika politik yang penuh kepalsuan. Mualem adalah panglima yang karakternya bisa dilihat dari tindakan. Sebagai seorang prajurit, ia punya komitmen, loyalitas dan tanggung jawab untuk pasukannya di medan tempur.
Soal kesetiaan, tanggung jawab dan kepedulian, para prajuritnya dahulu tahu betul karakter Mualem. Sikap “Loyalitas ke bawah”, untuk selalu peduli terhadap orang-orang yang pernah jadi bawahannya di masa perang, serta tanggung jawabnya kepada keluarga korban konflik, merupakan hal-hal yang dimiliki oleh seorang komandan seperti Mualem. Kepedulian itu juga ia miliki untuk Aceh, negeri yang pernah ia perjuangkan dengan senjata dan darah.
Soal kesetiaan kepada teman dan pasukannya, Mualem sama persis seperti Prabowo. Memang dibalik sifat keras dan tegas prajurit, kadang tersimpan sifat peduli, setia dan tanggung jawab. Sikap-sikap kepemimpinan yang dibentuk melalui pendidikan militer ini melahirkan karakter yang orisinil, dimana hal ini mungkin jarang dimiliki oleh pengecut-oportunis yang kerap hadir di kancah politik.
Mualem adalah cerminan ureung Aceh. Dia tak banyak bicara, nada bicaranya juga tak selalu berapi-api. Kalimatnya sering pendek. Tapi sebagai seorang ureung Aceh, walaupun hanya mengeluarkan sikrek haba, sikrek haba itu akan dipertanggung jawabkan dan bisa dipegang. Begitulah karakter orang Aceh sejati.
Di tengah politik hari ini yang dipenuhi kepalsuan dan narasi politik yang dibangun dengan kalimat indah yang keluar dari mulut-mulut yang tidak bisa dipercaya, Mualem adalah antitesis kondisi tersebut. Di saat politik dalam kondisi riil dipahami dalam ungkapan; lam tulak na tarèk, lam anggôk na asèk, Mualem tampil apa adanya, lagee na aju.
Di saat opini masyarakat saat ini beranggapan bahwa; ureung politek hana pat ta mat, kita sepatutnya mempertimbangkan kembali perihal karakter ketimbang “haba mameh”.
Tidak ada satu tokoh pun di Aceh hari ini yang memberikan sumbangan mak meugang bagi ribuan warga. Haba mameh tidak akan ada artinya di momen krusial seperti itu. Mualem mengambil tanggung jawab moral untuk memberikan bantuan mak meugang kepada ribuan orang, baik saat punya jabatan maupun tidak. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral dan kepeduliannya terhadap rakyat kecil. Kepedulian yang bukan hanya tampak di musim politik.
Perihal Kecerdasan
Hari ini Mualem dianggap tokoh yang tidak mumpuni secara intelektual, bahkan dianggap bangai. Tapi sampai hari ini kita tidak punya calon pemimpin yang mana intelektualitasnya sejalan dengan komitmen sosial. Bahkan mungkin mereka yang kita anggap sebagai ureung carong, adalah mereka yang juga carong peubangai gob. Intinya, kecerdasan tanpa niat baik dan komitmen sosial justru malah berbahaya.
Kita lupa bahwa pucuk pimpinan pemerintahan tidak perlu menguasai hal teknis. Ia hanya cukup memiliki keahlian menempatkan para ahli pada tempatnya. Ini yang terjadi di era Soeharto yang teknokratis.
Soeharto yang berbasis militer mampu memimpin Indonesia melewati krisis ekonomi era orde lama. Di masanya terjadi percepatan pembangunan yang luar biasa. Indonesia menjadi negara yang bangkit secara ekonomi dan di segala sektor. Soeharto adalah seorang prajurit yang menempatkan sejumlah ahli dan teknokrat pada bidangnya masing-masing. Dan hal seperti ini juga bisa dilakukan oleh seorang Mualem.
Yang wajib dimiliki oleh pemimpin adalah soal syauqah atau kondisi dimana seorang tokoh politik memiliki kekuatan secara riil. Dengan kekuatan yang dimiliki, ia akan lebih ditaati. Kondisi pemerintahan akan lebih mampu berjalan stabil. Dan Mualem adalah sosok pemimpin yang punya itu.
Siapa yang tidak kenal Gus Dur sebagai seorang alim, intelektual dan cendekiawan mumpuni Indonesia yang karyanya masih bisa kita baca hingga sekarang. Sayangnya, kecakapan intelektual Gus Dur dan kepiawaian bahasanya dalam menulis, tidak sejalan dengan kecakapannya memimpin sebagai presiden.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tokoh fenomenal Indonesia ini, Gus Dur gagal mempertahankan pemerintahannya selama lima tahun. Ia gagal menciptakan kestabilan politik dan ekonomi, gagal mengatur pemerintahan dengan baik. Akhirnya Gus Dur harus lengser sebelum waktunya. Intinya, intelektualitas Gus Dur tidak sejalan dengan kemampuannya dalam memimpin negara.
Banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk memilih pemimpin, salah satunya yang paling mendasar adalah soal karakter bawaan. Mualem adalah sosok dengan karakter orisinil yang asli Aceh. Ia bukan orator, tapi ia adalah sosok yang sikap dan tindakannya mencerminkan orang Aceh sejati.