Senin, 20 Oktober 2025
Beranda / Opini / Mualem, Kemandirian Fiskal, dan Pemotongan TKD

Mualem, Kemandirian Fiskal, dan Pemotongan TKD

Minggu, 19 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Baru-baru ini Gubernur Aceh. H. Muzakir Manaf (Mualem) menjadi sorotan media nasional dan lokal usai menghadiri pertemuan bersama Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2025. 

Ada beberapa isu yang menjadi perbincangan saat itu antara lain: Pertama, Pemerintah Daerah diseluruh republik diharapkan agar mampu dalam mengelola fiskal daerah bahkan harus mandiri dan memaksimalkan segala upaya untuk membiaya pemerintahan daerahnya. Tak terkecuali Aceh juga mendapat sorotan tajam dari Menkeu Sadewa. Kedua, Mualem selaku Kepala Pemerintah Aceh menolak terkait pemotongan anggaran transfer ke daerah (TKD) karena semua itu akan menjadi beban semua daerah-daerah yang di Nusantara. 

Ketiga, sorotan tajam Bunda Sherly ke Mualem membuat netizen mabuk kepayang, tapi isu yang ketiga ini adalah iklan semata saja dalam persoalan subtansi yang harus segera diselesaikan antara pusat dan daerah, khususnya Aceh yang memiliki sistem kekhususan dan keistimewaan di Indonesia.

Pokok persoalan pemotongan TKD

Pertama, persoalan transfer keuangan daerah diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 

Norma TKD ini diatur dalam Pasal 1 angka 70 UU No. 1 Tahun 2022 menjelaskan bahwa TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Dalam penormaan UU No. 1 Tahun 2022, platform TKD diambil dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (DOK), dana keistimewaan, dan dana desa. Kebijakan anggaran TKD harus ditetapkan melalui UU APBN tahunan, dan TKD provinsi/kabupaten/kota ditetapkan dalam peraturan presiden. Biasanya setiap tahun diterbitkan penjabaran teknis anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), misalnya Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN mengatur secara jelas berapa TKD setiap provinsi, kabupaten dan kota. 

Untuk Aceh, penerimaan TKD dari Pemerintah Pusat cukup siginifikan. TKD tahun 2025 mencapai 919,9 T sementara anggaran yang diajukan oleh Kemenkeu pada APBN Tahun 2026 TKD diajukan hanya 693 T. Sontak daerah-daerah mengalami defisit, salah satunya Aceh menerima potongan sekitar 25% dari anggaran tahun sebelumnya dan beberapa daerah lain kena 30-35% dari penerimaan tahun 2025.

Sebenarnya isu hubungan keuangan daerah dan pusat menjadi menarik untuk diteliti dalam kajian terbaru hubungan pusat dan daerah yang diterbitkan oleh Jurnal Peuradeun Q1, hasil riset penulis dengan judul Regulation of cabinet relations with the government of Aceh within the framework of a presidensial system menjelaskan bahwa hubungan Kepala Pemerintah Aceh dengan kabinet harus dipandang sejajar dengan kementerian yang ada di dalam kabinet. Maka dalam konteks pemotongan TKD harus dipahami bahwa Kepala Pemerintah Aceh satu level dengan Menteri di Kabinet. 

Walaupun dalam pengaturannya, Pasal 12 Pepres No. 201 Tahun 2024 memberikan kewenangan penuh bahwa Menteri Keuangan dapat menyesuaikan TKD bukan hanya itu Menteri Keuangan bahkan dapat melakukan pengalihan anggaran antar kementerian atau lembaga. Pasal 21 perpres a quo ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 dalam konteks Aceh, karena kebijakan admistratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah (dalam hal ini Kementerian) dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.

Aspek historis tentang konsultasi dan pertimbangan Gubernur seharusnya menjadi persetujuan dalam penormaan UU No. 11 Tahun 2006 karena saat itu Ahli dari Universitas Padjajaran Sri Soemantri memberikan catatan penting bagaimana mungkin suatu keputusan pemerintah pusat harus mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari Gubernur, apa tidak cukup konsultasi saja, dan hal ini lebih dekat daripada implementasi dari negara kesatuan.

Dalam konteks NKRI, hubungan keuangan antara pusat dan daerah selalu menjadi kegagalan pemerintah pusat dalam pengelolaan negara baik itu menerapkan sistem kesatuan dan sistem federal. Sebut saja, pembubaran Republik Indonesia Serikat dibubarkan akibat tidak bisa mengelola hubungan keuangan pusat dan daerah, begitu juga dengan negara kesatuan, nyaris bubar karena tidak mengelola keuangan dengan baik. Aceh, Riau, PRRI Sumatera Barat, Papua, Repulik Maluku Selatan semua itu diakibatkan tidak dapat membagi keuangan antar pusat dan daerah walapun ada persoalan lain yang mendasar.

Negara mestinya, mencari upaya untuk menemukan konsep ideal hubungan pusat dan daerah karena konsep yang sudah diamanahkan oleh Pasal 18B ayat (1) UUD Tahun 1945 menjadi landasan aktual untuk mengkaji lebih jauh interpretasi hubungan ini. 

Jika tidak berani untuk memperkuat norma konstitusional a quo maka rubah saja negara kesatuan menjadi negara federal sehingga setiap wilayah di Indonesia dapat menggali potensi daerahnya masing-masing. Tidak susah payah lagi setiap provinsi harus konsultasi peraturan daerah anggaran pemerintah dan belanja daerah (APBD) Provinsi ke Kementerian Dalam Negeri, khususnya Direktorat Jenderal Bina Keuangan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Mualem selaku Kepala Pemerintah Aceh

Posisi Kepala Pemerintah Aceh sama kedudukannya dengan Perdana Menteri dalam bentuk negara federalistik tetapi dalam bentuk kesatuan maka penamaan tetap pada istilah Gubernur. Terkait nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang menjadi landasan utama untuk merubah pengaturan penamaan Gubernur menjadi Perdana Menteri bagi sistem pemerintahan di Aceh. 

Dalam konteks anggaran pengelolaan keuangan Aceh, Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) harus diberikan ruang yang signifikan oleh Pemerintah Pusat. Rumusan dasarnya jelas 70 untuk Aceh 30 untuk Indonesia, maka kemandirian fiskal dalam konteks TKD dapat dengan mudah dipenuhi.

Pola ini bisa dilihat bagaimana Skotlandia menduduki peringkat ke-13 pusat keuangan terbesar di dunia dan dan pusat keuangan terbesar ke-4 di Eropa. Aceh dapat mencontoh Skotlandia yang secara konsisten menjadi salah satu bagian paling makmur di Eropa meskipun dalam kekuasaan Britania Raya (perjanjian persatuan). 

Temuan-temua sumber daya alam di Skotlandia selalu dijadikan untuk kepentingan rakyat Skotlandia, sebagai contoh industri minyak Skotlandia yang ditemukan dilaut utara dapat menyumbang 13,8 miliar dan mendukung 100.000 lapangan kerja bagi rakyat Skotlandia, Aceh tidak menutup kemungkinan itu dibawah kekuasaan Mualem selaku Kepala Pemerintah Aceh harus memaksimalkan industri migas di Aceh yang relatif aman daripada tambang minerba yang dapat merusak ribuan hektar hutan Aceh.

Dengan demikian persoalan Aceh dalam konteks kemandirian fiskal dan pemotongan TKD oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan harus disikapi dengan tegas karena dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia, rezim keuangan daerah menjadi urusan pemerintah pusat. Pemerintah Indonesia jangan berdalih ketika ada pembagian keuangan maka seakan-akan bentuk negara federalistik yang diambil mengeyampingkan esensi bentuk negara kesatuan yang seperti diamanahkan oleh Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 khususnya mengenai bentuk negara kesatua Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Negara kesatuan harus bertanggungjawab penuh atas keuangan daerah-daerahnya jika tidak maka bentuk negara kesatuan harus segera dirubah menjadi negara federal.

Wallahualam bissawab. [**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI