DIALEKSIS.COM | Opini - Secara umum, konsep desentralisasi merujuk pada pengalihan kekuasaan dan sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Di Indonesia, reformasi pasca kejatuhan rezim orde baru telah mendorong desentralisasi yang melimpahkan kekuasaan secara luas kepada pemerintah daerah (Aspinall dan Fealy, 2003).
Kasus di Provinsi Aceh menjadi menarik dibanding banyak daerah lain di Indonesia, karena desentralisasi Aceh memiliki latar belakang historis, budaya, dan politik yang kompleks. Gejolak konflik di Aceh tidak hanya didasari oleh isu identitas, tapi juga pengelolaan sumber daya alam yang tidak merata.
Dengan begitu, Aceh diberlakukan desentralisasi asimetris sebagai hasil political settlement antara “Pemerintah Indonesia” dengan masyarakat Aceh pada MoU Helsinki 2005. Kekhususan Aceh kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Salah satu bentuk implementasi desentralisasi asimetris di Provinsi Aceh yakni dana otonomi khusus (Otsus) sebagai kompensasi agar Aceh tetap terintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketergantungan Lama-Masalah Baru
Secara normatif, Otsus Aceh menjadi harapan besar, terutama bagi rekonstruksi pasca-konflik. Data yang ada menunjukkan dari 2008 sampai 2019 total dana Otsus yang diterima Aceh mencapai angka Rp 73,326 triliun (Badan Akuntabilitas Keungan Negara, 2020). Selama ini dana Otsus menjadi tumpuan utama pendanaan pembangunan Aceh, dengan prioritas utamanya terhadap sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Akan tetapi, nominal yang besar tersebut ternyata telah menyebabkan ketergantungan terhadap transfer pemerintah pusat, sehingga membuat ekonomi Aceh sulit untuk berkembang, kontribusi sektor produktif Aceh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mengalami stagnasi, dengan sektor migas dan pertanian yang mendominasi, namun kedua sektor tersebut rentan terhadap fluktuasi harga global maupun faktor lain seperti cuaca dan transisi energi yang mulai meninggalkan energi fosil. Artinya perlu upaya untuk mendiversifikasi perekonomian Aceh.
Kini, Aceh dihadapkan pada tantangan krusial, pengurangan alokasi dana Otsus dan akan berakhirnya skema khusus pada tahun 2027, mewajibkan pemerintah Provinsi Aceh untuk mencari sumber ekonomi baru agar tidak terjebak dalam ketergantungan terhadap pendanaan dari pusat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada triwulan I 2025, pertumbuhan ekonomi Aceh adalah 4,59 %, tingkat pengangguran terbuka mencapai 5,5%, dalam konteks negara berkembang persentase tersebut memang tergolong masih wajar, tapi yang menjadi kekhawatiran di Aceh adalah angka kemiskinan masih di atas 12,64%. Hal ini menggambarkan bahwa gelontoran dana Otsus belum sepenuhnya menggerakkan ekonomi rakyat.
Tantangan Mencari Sumber Ekonomi Baru
Sebagai upaya menghindari ketergantungan terhadap dana transfer pusat dan menuju kemandirian ekonomi, Aceh harus memiliki lanskap perekonomian yang komprehensif. Dengan demikian, perlu untuk mengidentifikasi tantangan yang selama ini menjadi penghambat. Tulisan ini merangkum beberapa tantangan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, minimnya investasi swasta akibat iklim usaha di Aceh kurang kondusif, baik karena faktor regulasi, kepastian hukum, maupun persepsi terhadap penerapan syariat islam. Kedua, keterbatasan infrastruktur penunjang, di mana aksesibilitas wilayah, konektivitas logistik, serta ketersediaan air bersih masih menjadi kendala di berbagai daerah.
Ketiga, keterbatasan teknologi, kurangnya riset terapan, serta kualitas tenaga kerja yang belum memadai menghambat pembangunan sektor-sektor baru. Keempat, aspek yang mungkin paling fundamental dan harus diluruskan adalah mentalitas “ketergantungan” terhadap pusat yang masih dominan, baik di kalangan birokrat maupun sebagian masyarakat.
Identifikasi Potensi Tersembunyi
Terlepas dari tantangan yang ada, seperti halnya daerah lain di Indonesia, Aceh juga memiliki potensi besar yang dapat dikembangkan dan menjadi penopang perekonomian masyarakat.
Beberapa sektor potensial yang dapat dikembangkan misalnya seperti pariwisata halal yang menawarkan keindahan alam dan budaya Islam Aceh. Selain itu potensi garis pantai yang panjang juga dapat menjadi peluang penopang ekonomi baru jika dikelola secara komprehensif. Selanjutnya komoditas lokal seperti kopi Gayo dan nilam juga memiliki pasar ekspor yang menjanjikan. Kemudian ekonomi digital yang mulai digeluti generasi muda Aceh juga perlu diberdayakan.
Di samping itu, aspek paling fundamental yang perlu diperhatikan adalah sektor pendidikan. Selain seperti yang disebutkan di atas, tentu masih banyak potensi lainnya yang dapat dikembangkan. Dengan mengidentifikasi potensi yang dimiliki, peluang Aceh untuk mandiri secara ekonomi semakin terbuka.
Upaya Pemerintah Aceh dan Harapan ke Depan
Pemerintah Aceh menyadari tantangan ini dan mulai mengarahkan kebijakan untuk diversifikasi ekonomi. Program pemberdayaan UMKM, pelatihan kewirausahaan, serta fasilitas investasi menjadi fokus beberapa tahun terakhir. Selain itu, kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset juga mulai digencarkan untuk menciptakan inovasi berbasis potensi lokal.
Namun tantangan terbesar tetap ada di tahap implementasi dan konsistensi kebijakan. Tanpa perubahan paradigma dan reformasi birokrasi, berbagai potensi tersebut sulit berkembang.
Menuju Kemandirian Ekonomi
Aceh berada di persimpangan penting. Dengan semakin menipisnya dana Otsus, pilihan untuk berbenah menjadi keharusan. Menciptakan sumber ekonomi baru bukan sekedar opsi, tapi jalan untuk berbenah.
Sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci. Tanpa itu, otonomi khusus hanya akan menjadi status administratif tanpa makna kesejahteraan. Aceh tidak boleh lagi sekedar menunggu bantuan. Kini saatnya berdiri di atas kaki sendiri. [**]
Penulis: Syahrul Ramadhan (Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM)