Para Pemimpi Kekuasaan
Font: Ukuran: - +
"Sebelum para filsuf menjadi raja, atau sebelum para raja dan pangeran di dunia ini memiliki semangat dan kekuatan filsafat, dan sebelum keagungan politik dan kebijaksanaan berpadu, serta sifat buruk masyarakat kebanyakan yang ingin saling mengalahkan itu disingkirkan, maka kota-kota yang ada tak akan pernah bebas dari kejahatan-kejahataan ini—demikian pula seluruh umat manusia, kukira—dan hanya dengan cara itulah Negara kita akan tetap tegak dan menyaksikan gemilangnya hari ini" (Plato dalam Republic).
Berbicara mengenai permasalahan pemimpin yang ideal adalah suatu hal yang tidak ada habis-habisnya. Persoalan bagaimana menjadi dan melakukan jabatan pemimpin adalah sebuah perdebatan ribuan tahun yang belum selesai hingga kini? Mulai dari zaman teoritikus klasik lanjut ke abad kegemilangan Islam hingga era kontemporer. Ihwal tentang pemimpin masih galib diperdebatkan.
Apalagi, memasuki musim Pemilu. Banyak sosok yang kemudian muncul lalu mengiklankan diri, merekalah yang paling pantas terpilih untuk memangku kekuasaan. Bertebaran disepanjang jalan polah narsistik dari para individual dengan beragam pose terbaik.
Pesta demokrasi memilih langsung, siapa yang akan memimpin kita selama lima tahun selanjutnya, telah didepan mata. Beriringan dengan memilih para wakil rakyat yang akan memperjuangkan aspirasi dari rakyat melalui jalur legislatif. Eksekutif dan legislatif yang terpilih menentukan mau dibawa kemana negara beserta seluruh penduduknya.
Bersama dalam mengarungi kehidupan bernegara yang makmur sentosa, atau ramai-ramai merasakan siksa neraka di dunia oleh kebijakan yang dikeluarkan. Yang pasti, para "linto baroe" telah memuncak birahi politiknya. Tidak sabar ingin segera bersanding di pelaminan, berangan-angan duduk menjadi raja lima tahun. Segala cara diupayakan.
Hampir semua calon mengumbar pernyataan menyalahkan kondisi terkini, bahwa negara ini diambang kehancuran atau kita semua digerbang kenestapaan. Tanpa ada yang menawarkan solusi dan program substansial untuk mengatasi semua persoalan. Jika pun ada yang menawarkan pemecahan masalah, kebanyakan akan keluar jawaban omong kosong dan janji "cet langet" belaka.
Di era yang arus informasi dan media sosial berkembang sedemikian pesat, masih ada calon pemimpin yang doyan menceritakan dongeng pengantar tidur dalam kampanye. Tak pelak mereka jadi bahan bullying kocak di media sosial. Banyak diantara para calon pemimpin ini memiliki misi yang amburadul tak keruan, namun mengeluarkan suara paling keras bahwa dialah sosok yang paling pantas dan mampu untuk memimpin seraya menujuk kebatang hidungnya sendiri.
Kriteria Pemimpin
Plato bersikeras dengan prinsip kriteria pemimpin itu harus the philosopher king (raja kebajikan/ orang yang bijak). Dari paragraf diawal tulisan, muncul pertanyaan: apakah filsuf itu? Bedasarkan etimologinya seorang filsuf adalah pecinta kebijaksanaan. Namun yang dimaksud disini berbeda dengan seorang pecinta pengetahuan, dalam arti bahwa seseorang yang selalu ingin tahu bisa saja dikatakan cinta pengetahuan rasa keingintahuan yang vulgar tidak membuat orang menjadi filsuf.
Dengan demikian definisinya harus disempurnakan: filsuf adalah orang yang mencintai "visi tentang kebenaran". Visi ini tidak semata-mata bersifat intelektual; tidak pula sekedar kebijaksanaan, tetapi cinta terhadap kebijaksanaan. "cinta intelektual kepada Tuhan" dalam filsafat Spinoza pada dasarnya sama dengan persatuan erat antara pikir dan rasa. (Bertrand Russell dalam Hystory of Western Philosophy).
Pikiran dan perasaan saling keterkaitan dalam membentuk watak kepemimpinan yang ideal. Dualisme ini saling melengkapi, menjadi formula untuk mencapai tujuan hakiki dari makna kekuasaan. Setiap kebijakan yang akan dilakukan oleh pemimpin, terlahir dari pikiran yang memiliki visi jernih. Sehingga keputusan yang akan ditetapkan teruji kemanfaatan dan kemaslahatannya. Kemudian disaring oleh filter esensial, yaitu perasaan. Berguna untuk menimbang baik-buruk, untung-rugi, positif-negatif atas ekses yang akan disebabkan oleh kebijakan yang akan dikeluarkan.
Didalam Islam sendiri, pemimpin wajib memiliki kualifikasi tertentu. Filsuf politik termasyur muslim, Ibnu Khaldun dalamKitab Muqaddimah, bagian ketiga dari kitab pertama, pasal ke-26 mengurai dengan gamblang: Adapun kiteria orang-orang yang dapat menduduki jabatan terhormat ini ada empat syarat:
Pertama, berilmu pengetahuan. Hal itu sudah jelas. Sebab dia bertanggung jawab dalam menerapkan hukum-hukum Allah jika mengetahuinya. Sedangkan orang-orang yang tidak memahami ajaran agama dan hukum-hukum Allah, maka tidak boleh diangkat sebagai khalifah. Seseorang belum bisa dikatakan sebagai orang yang berilmu kecuali sudah mencapai tingkatan mujtahid. Sebab bertaklid merupakan sifat minus, sedangkan kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam berbagai karakter dan perbuatan.
Kedua, berkeadilan. Pemimpin harus mempunyai sense of justice (rasa keadilan). Mampu menjadi mizan (timbangan) menyangkut segala hal yang berkaitan dengan kepemimpinannya.
Ketiga, berkompetensi. Memahami strategi pengelolaan negara hingga mampu menghadapi krisis politik dan segala konsekwensinya. Keempat, sehat jasmani dan rohaninya. Yakni bebas dari penyakit gila, buta, dunggu dan tuli serta segala cacat fisik seperti kehilangan kedua tangan atau kedua kakinya atau lainnya. Karena itu akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Dan menjadi pemimpin akan bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT atas segala apa yang telah diperbuatnya.
Kemenangan Rakyat
Menjadi pemimpin bukanlah masalah remeh temeh, pekerjaan sepele yang bisa diakali dengan gampangan. Ini merupakan masalah pelik, menyangkut hajat hidup orang banyak. Di era yang menganut sistem demokrasi terbuka, dimana konstitusi melindungi hak untuk dipilih dan untuk memilih, yang menjamin peluang siapa saja bisa maju sebagai calon pemimpin kemudian dipilih melalui pemungutan suara.
Hal ini membuat siapa saja, apakah dia pencuri, bajingan atau pun pendosa besar sekalipun berpeluang untuk menjadi pemenang. Semestinya para calon yang tidak layak dan tidak pantas bisa tahu diri, sadar akan ketidakmampuannya tersebut.
Kapasitas dan kompetensi yang tidak cukup akan berakibat fatal menyeluruh. Budayakan malu untuk setiap perbuatan salah yang akan atau telah dilakukan. Ingat bahwa anak cucu akan menanggung malu dari warisan dosa yang telah dilakukan.
Pemimpin yang kita butuhkan adalah pemimpin visioner yang mampu memenangkan rakyat, dengan segala hak yang seharusnya didapatkan. Bagaimanapun caranya rakyat harus menang. Bukan malah mengambil hak dan bagian rakyat untuk diri sendiri. Mungkin, dalam pikiran banyak orang menjadi pemimpin itu sebuah kesenangan surgawi dan akses kepada kenikmatan hidup seluas-luasnya.
Hal itulah yang membuat keadaan sekarang banyak orang yang bermimpi jadi pemimpin. Pemimpin yang kerjanya hanya bermimpi, bukan pemimpin pemimpi yang merancang mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan kemudian giat bekerja untuk meraih cita-cita itu.
*Iqbal Ahmady M. Daud, Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala