kip lhok
Beranda / Opini / Para Penimbang Manisan

Para Penimbang Manisan

Senin, 16 Juli 2018 16:04 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Suatu hari di masa konflik, saya duduk di samping Tgk Abdullah Syafii, yang pada saat itu, media masih menulisnya sebagai Panglima GAM  wilayah Pidie. Ada banyak tamu, dari berbagai kalangan, yang hendak bertemu dengan Tgk Lah.

Seorang kontraktor duduk di depan Tgk Lah. (Dialog terjadi dalam bahasa Aceh).

+ Hai, saudara, ada perlu apa?

-    Begini Tgk. Saya ada pekerjaan membuat jalan di kampung ini. Jadi, ada rencana buat kenduri kecil sebelum memulai pekerjaan. Saya meminta izin pada Tgk.

+ Bagus. Oooo... itu tidak ada kaitannya dengan saya. Itu urusan saudara dengan masyarakat. Tapi saya ingatkan pada saudara: Gata lagee ureueng suekat manisan...meunyoe meusiliek, nyan ata gata...meunyoe gata teumok, nyan ka rhoeh ata gob!

Saya pun terkesima, seakan menemukan ideal orang Aceh. Dan kini, pernyataan itu rupanya juga mengatakan tentang kemungkinan keseluruhan situasi paska konflik. Orang-orang pada berganti posisi. Dulu, mereka mengawasi para penimbang manisan, untuk menguatkan dirinya sebagai pejuang. Sekarang, melalui sistem kehidupan politik yang demokratis, mereka  telah menjadi penimbang manisan itu sendiri. Mereka menjadi pengendali di eksekutif maupun di legislatif. Bahkan ada yang di partai politik, yang sebetulnya tidak menimbang manisan, tapi mengendalikan para penimbang manisan.  

Kemenangan politik dalam pilkada adalah perubahan posisi menjadi para penimbang manisan. Seakan itulah yang menjadi tujuan berdemokrasi.

Apa yang terjadi pada Gubernur dan Bupati yang ditangkap KPK, beserta lingkaran partai dan birokrasi, adalah mereka yang berperan sebagai penimbang manisan atau, yang mengendalikan kelompok penimbang manisan. Hal yang penting diperhatikan, lanjutannya, KPK menyelidik ke berbagai instansi, baik pada level propinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini menjelaskan tentang keluasan dan kedalaman jaringan kerja para penimbang manisan di Aceh. Dan, mereka juga telah menciptakan bahasa sandi untuk menghidupkan komunikasi di antara mereka. Oleh karena itu, mereka menjadi golongan tersendiri dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Jika dilihat secara keseluruhan, hal ini merupakan bagian dari rentetan peristiwa kekisruhan di dalam pengelolaan pemerintahan, antara legislatif dan eksekutif, sejak penetapan APBA hingga munculnya interpelasi terhadap gubernur, di samping isu kekisruhan pemilihan kepala Unit Layanan Pelelangan (ULP) hingga pemotongan dana beasiswa. Kejadiannya, bukanlah ketika orang sibuk adu burung, lalu ada yang melempar kucing ke dalam arena, tapi ketika adu burung sedang terjadi, maka para pemilik burung yang berada ditengah-tengah arena yang ditangkap.

Konsekuensi logisnya, terjadi perlambatan terhadap proses penyerapan APBA 2018, yang secara langsung mempengaruhi peredaran uang di masyarakat. Kita dapat membayangkan hingga Juli 2018, daya serapan APBA baru mencapai sekitar 24 persen dari pagu Rp. 15,08 trilyun, dengan sisa masa kerja sekitar 4,5 bulan lagi.

Memang, percepatan penyerapan anggaran dapat dilakukan dengan mengambil kebijakan menciptakan paket-paket di bawah nilai Rp. 200 juta sehingga dapat dilakukan penunjukan langsung (PL). Namun, percepatan penyerapan anggaran yang tiba-tiba tersebut rentan terhadap terbukanya peluang korupsi dan, penurunan kualitas pekerjaan.

Namun, efek sosial dari perilaku para penimbang manisan ini adalah penundaan peredaran uang di dalam masyarakat. Ada baiknya untuk dihitung secara kuantitatif sejauhmana besar pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan di Aceh.

Singkatnya, perilaku para penimbang manisan ini bergulir dari perkembangan yang negatif di ranah politik, lalu masuk ke ranah kehidupan perekonomian, dan akhirnya menurunkan kualitas kehidupan (sosial) masyarakat Aceh itu sendiri.*

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda