Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Opini / PBB, Demo, dan Akar Masalah di Jakarta

PBB, Demo, dan Akar Masalah di Jakarta

Jum`at, 15 Agustus 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Zamzami Muhammad

Zamzami Muhammad, Pemerhati Sosial Ekonomi Aceh. Foto: doc Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - Gelombang unjuk rasa di Pati, Cirebon, Bone, dan Singkawang bukanlah fenomena sporadis yang bisa direduksi menjadi sekadar “ketidakpuasan warga terhadap kebijakan daerah.” Di balik spanduk dan pekik massa, tersambung benang merah yang jarang dibicarakan desain hubungan keuangan pusat - daerah yang secara sistematis mendorong pemerintah daerah memeras sumber pendapatan lokal demi memenuhi target fiskal.

Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), pemerintah pusat menanamkan mekanisme insentif dalam skema Transfer ke Daerah (TKD). Logikanya sederhana: semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut terutama dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semakin besar pula alokasi Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mengalir ke daerah. 

Inilah politik fiskal wortel dan tongkat versi terbaru: hadiah bagi daerah yang agresif memungut pajak, dan hukuman diam-diam bagi daerah yang dianggap “malas” memungut.

Masalahnya, tidak semua daerah memiliki tambang, ladang migas, atau perkebunan raksasa. Bagi wilayah miskin sumber daya alam, PBB menjadi “urat nadi” PAD. Kenaikan tarif PBB sering kali bukan pilihan politik sukarela, melainkan langkah terpaksa demi mengamankan aliran dana dari pusat. 

Akibatnya, pajak yang seharusnya menjadi instrumen keadilan fiskal berubah menjadi beban tambahan bagi warga, terutama kelompok berpenghasilan rendah.

Dari perspektif pusat, kebijakan ini tampak rasional. APBN sedang terhimpit beban bunga dan cicilan utang; transfer fiskal perlu lebih selektif; daerah didorong mandiri secara fiskal. Namun, logika fiskal yang kaku ini sering kali mengabaikan realitas lapangan: menaikkan PBB di daerah miskin sama artinya dengan memungut pajak dari kantong yang sudah kosong. Hal ini rawan memicu resistensi sosial yang ujungnya pecah di jalanan.

Ironisnya, pemerintah pusat sendiri belum berani menyentuh sektor pajak yang lebih progresif. Rencana kenaikan PPN batal karena gelombang protes rakyat. Pajak sektor SDA ditunda karena tekanan pengusaha yang khawatir harga komoditas global jatuh. Lalu, beban itu digeser ke pemerintah daerah dan pada akhirnya jatuh ke pundak rakyat kecil yang justru paling rentan.

Jika pemerintah serius mencari solusi, maka satu opsi yang selama ini dihindari patut kembali dipertimbangkan: pajak kekayaan. Inggris pernah memungut 10% dari kekayaan individu superkaya demi menyelamatkan fiskal negara. 

Hasilnya, kas negara terisi, perilaku ekonomi para pemilik modal berubah, aset mati dijual, dana mengalir ke sektor produktif, dan roda ekonomi kembali berputar. Indonesia, dengan ketimpangan ekonomi yang kian melebar, sebetulnya memiliki ruang besar untuk mengadopsi langkah serupa.

Kita boleh berdebat panjang soal teknis, risiko, dan efek jangka pendeknya. Namun satu hal pasti: membebani rakyat kecil dengan PBB demi menambal APBN adalah resep konflik sosial yang akan terus berulang. 

Jika pusat ingin daerah mandiri tanpa memicu gelombang protes, keberanian untuk memajaki kekayaan besar adalah ujian moral sekaligus ujian kepemimpinan. Sebab, pajak yang adil bukan sekadar urusan angka tetapi juga soal keberpihakan.

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI