Pemikiran Populisme Hasan Tiro: Quo Vadis Nasionalisme?
Font: Ukuran: - +
Oleh Farnanda
Tulisan ini ingin mengeksplorasi bagaimana Hasan Tiro sebagai seorang populis mampu meraih dukungan masyarakat Aceh untuk berjuang bersama GAM dalam rangka melepaskan Aceh dari Indonesia.
Hasan Tiro membangun wacana populisme melalui sentimen identitas ke-Aceh-an dan pemikiran ideologi nasionalisme tingkat lokal, yaitu etnonasionalisme bangsa Aceh. Atas pemikiran populisnya, Hasan Tiro berhasil memperoleh legitimasi dari bangsa Aceh serta bagi kepimpinannya dalam Gerakan Aceh Merdeka.
Namun sebelum membahas lebih dalam, penulis perlu menengahkan terlebih dahulu terminologi dari istilah populisme dalam konteks tulisan ini. Memaknai populisme, secara teoritis masih menuai perdebatan karena populisme dipandang sebagai sebuah konsep yang ambigu, tumpang tindih, dan sukar dipahami. Kompleksitas ini disebabkan karena para ahli cenderung memahami populisme berdasarkan sudut pandang berbeda sesuai dengan konteks yang berlangsung, sehingga studi populisme memunculkan pendekatan yang beragam (Taggart, 2000 ; Hadiz dan Robinson, 2017).
Berdasarkan keragaman makna tersebut, akhirnya bermuara pada istilah populisme yang dipahami sebagai konsep perjuangan yang mengatasnamakan kehendak rakyat umum sebagai gaya politik untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Sosok populis hadir dengan strategi mobilisasi masa dimaknai sebagai sebuah keberpihakan kepada rakyat untuk berjuang karena kekecewaan terhadap kinerja pemerintahan (Laclau, 2005 ; Mudde dan Kaltwasser, 2017 ; Hadiz dan Robinson, 2017). Pemahaman populisme ini disesuaikan dengan konteks perjuangan Hasan Tiro sebagai katalisator yang memerjuangkan keadilan bagi masyarakat Aceh.
Munculnya doktrin Hasan Tiro untuk merdeka dari Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa persoalan, salah satunya distribusi sumberdaya yang tidak merata antara pusat dan daerah. Bagi Tiro, segala kepentingan dimonopoli oleh pemerintahan pusat dan hanya didominasi oleh orang-orang Jawa sehingga memunculkan sentimen etnisitas di hati masyarakat Aceh.
Tiro membangun paham Acehisme dengan menekankan sentimen ethtic identity berdasarkan sejarah kejayaan Aceh masa lampau. Riwayat kejayaan tersebut menempatkan perbedaan kultur dan identitas antara Aceh dengan Jawa (negara Indonesia). Doktrin dari cerita historis itu berkonsekuensi pada sebuah sentimen yang menjadikan “Jawa” sebagai common enemy bagi rakyat Aceh.
Selanjutnya untuk menguraikan cerita Hasan Tiro dalam memperoleh legitimasi bangsa Aceh, penulis menggunakan pendekatan populisme berdasarkan peran seorang aktor. Maka penulis merujuk pada konsep populisme yang ditulis Mietzner (2015) melalui karyanya Reiventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation In Indonesia. Referensi ini dijadikan rujukan utama dalam menguraikan konsep populisme yang dibangun oleh seorang aktor guna massa memperoleh legitimasi.
Selanjutnya juga merujuk pada tulisan Molinoux dan Osborne (2017) yang menggambarkan beberapa varietas mengenai konsep populis. Misalnya yang dalam referensi tersebut, Jan-Warner Muller (2015), Hasan Tiro menggunakan konsep populistik sebagai respon moral terhadap realitas kekusaan Indonesia (dalam Molinoux dan Osborne, 2017).
Kemudian argumen Molinoux dan Osborne (2017) bahwa dalam populisme perlu memperhatikan secara khusus sarana dimana tuntutan dari sifat politis diterjemahkan ke dalam lingkungan politik. Artinya, faktor yang menjadi latar belakang doktrin Hasan Tiro bersumber dari wacana politis tentang berbagai persoalan yang telah disebutkan sebelumnya, hingga menyebabkan konflik berkepanjangan. Dalam hal ini Tiro menggunakan isu publik yaitu ideologi populis guna memerdekakan Aceh dari Indonesia.
Namun sebelum menuju ke ide populis yang digagas Tiro, perlu terlebih dahulu menarik benang merah terkait persoalan yang telah terjadi sebelumnya hingga menyebabkab konflik panjang. Untuk itu, penulis perlu melacak pendekatan lain yang bersinggungan dengan konteks yang ada, yaitu wacana ideologi nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme ini merupakan sebuah konsep ideologi yang awalnya menjadi pemersatu bangsa Aceh dan Indonesia. Sebelum pada akhirnya oleh Tiro dipertentangkan dengan nasionalisme tingkat lokal, yakti etnonasionalisme bangsa Aceh. Melihat potret pertentangan ini, membawa penulis untuk mendalami seperti apa konsep nasionalisme ala Indonesia diterapkan kepada bangsa Aceh.
Nasionalisme Setengah Hati
Deklarasi GAM pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, Pidie merupakan satu tanda bahwa terdapat persoalan besar yang berujung konflik panjang. Bertolak belakang pada 16 Juni 1948, ketika Soekarno meminta rakyat Aceh untuk bergabung dengan Indonesia, membantu menghadapi kedatangan kembali rombongan kaphee ke Indonesia.
Dengan kata lain, saat itu Aceh dan Indonesia merupakan satu kesatuan dengan hubungan bilateral yang baik. Dalam sebuah perundingan terjadi sebuah kesepakatan, apabila Aceh bersedia untuk bergabung dan membantu Indonesia maka Soekarno dengan sumpahnya kepada Allah swt. bersedia memberikan hak otonomi kepada bangsa Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri, sesuai dengan syariat islam. Hak veto Soekarno sebagai kepala negara mutlak digunakan demi menjamin bangsa Aceh dalam menjalankan syariat Islam.
Meminjam istilah Bennedict Anderson (1991), The imagined community of Indonesia, wacana yang dibangun oleh Soekarno berhasil menarik simpati masyarakat Aceh. Persatuan Ulama Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Beureueh menandatangani Maklumat Seluruh Ulama Aceh yang isinya mendukung penuh dan bersedia membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia (dalam Ibrahimy, 2001).
Nasionalisme bagi Anderson merupakan Imagined Community atau satu komunitas politik yang dibayangkan memiliki keterbatasan, namun dapat berdaulat serta memiliki legitimasi emosional (Anderson, 1991). Hal ini menyebabkan, meskipun sesama anggota dari suatu bangsa tidak pernah berjumpa, dan tidak saling mengenal, mereka merasa memiliki tali ikatan persaudaraan dan persamaan. Ikatan persaudaraan horizontal menjadi suatu dasar bagi anggota sebuah bangsa untuk mengikatkan diri di dalam entitas satu bangsa.
Dalam kaitannya, janji-janji Soekarno membentuk pola pikir dan membuat masyarakat Aceh membayangkan bahwa bergabung dengan Indonesia adalah pilihan terbaik yang dapat mengakomodir kepentingan rakyat Aceh. Maka atas hal ini, PUSA yang diketuai oleh Daud Breueh dalam maklumat tersebut juga menegaskan bahwa perjuangan ini merupakan perjuangan suci sebagai perjuangan lanjutan bangsa Aceh sebagaimana perjuangan dipimpin oleh Tgk. Chik Ditiro dahulu.
Dengan demikan Nasionalisme atau Imagined Community of Indonesia yang diwarkan oleh Soekarno tersebut berbuah banyak bagi Indonesia. Aceh membantu Indonesia melawan penjajahan Belanda secara moril maupun materi. Melalui Gabungan Saudagar Aceh (GASIDA) bangsa Aceh mengumpulkan harta dan menyumbangkan dua buah pesawat terbang berjenis Dakota atau dikenal dengan nama Seulawah I untuk memperkuat pertahanan Indonesia. Melalui radio Rimba Raya di Aceh Tengah, Aceh membantu menyiarkan berita kemerdekaan yang disiarkan dalam bahasa Indonesia, Aceh, Inggris, Belanda, Arab, Urdu, Mandarin, dan Jerman. Radio Rimba Raya yang didirikan satu hari setelah kedatangan Belanda ke Yogyakarta pada 20 desember 1948, menggantikan Radio Republik Indonesia (RRI) yang di bom oleh Belanda.
Selain itu sebagi bentuk kesetiaan pada ideologi nasionalisme, bangsa Aceh juga memberikan 10 tas berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas. Dukungan ini memberikan kontribusi besar bagi Indonesia untuk bertahan dari penjajahan Belanda hingga mencapai keberhasilan diplomasi dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda tahun 1949. Dalam konferensi inilah pengakuan terhadap Indonesia diberikan oleh Belanda (Kawilarang, 2008).
Namun demikian, setelah Indonesia merdeka, dukungan Aceh terhadap Indoenesia berubah menjadi beberapa pemberontakan besar dan massif serta mengancam kedaulatan Indonesia. The imagined community of Indonesia yang sebelumnya terbentuk dan menghasilkan dukungan yang luar biasa terhadap pemerintahan Indonesia, bertransformasi menjadi penentangan nasionalisme Indonesia. Penentangan awal terhadap nasionalisme Indonesia direpresentasikan melalui pemberontakan Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII) yang di dirikan secara resmi pada 21 September 1953 dan dipimpin oleh Daud Beureueh.
Abu Beureueh menyatakan bahwa impian rakyat Aceh adalah masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, suatu kejayaan Negara Islam pada masanya. Penentangan ini merupakan respon dari kekecewaan bangsa Aceh kemudian muncul ketika Soekarno akhirnya membentuk negara Indonesia yang nasionalis dan tidak berasaskan islam seperti yang diharapkan dan dijanjikan kepada masyarakat Aceh. Hal ini terlihat dari isi pidato beliau di Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953 yang isinya menyatakan bahwa Soekarno menolak Islam sebagai dasar negara (edisi khusus Tempo, Agustus 2003). Selain itu penyebab lainnya yakni distribusi kekayaan yang tidak merata dan pemerintahan sentralistik. Pemberontakan ini berlanjut dengan tindakan represif sehingga mencatat Aceh sebagi daerah dengan intensitas kekerasan dan pelanggaran HAM tertinggi pada masa DOM diberlakukan. Konflik yang terjadi berlandaskan kepada penentangan terhadap nasionalisme Indonesia.
Berdasarkan transformasi menjadi konflik tersebut sebenarnya dapat meliputi pendapat Anderson akan empat hal pokok dari istilah bangsa, yaitu bangsa sebagai hal yang terbayang, terbatas, berdaulat, dan sebagai sebuah komunitas. Dalam hal ini istilah bangsa yang terbayang atau imagined dimana anggota dari suatu bangsa pada dasarnya tidak saling mengenal dengan anggota yang lain, tidak pernah berjumpa mahupun berinteraksi.
Tetapi, walaupun mereka tidak saling berjumpa, mengenal, dan berinteraksi, mereka akan merasa bahwa mereka berasal dari satu bangsa yang sama. Sehingga terdapat semacam tali persaudaraan yang mengikat anggota suatu bangsa tersebut. Namun setelah terjadi akumulasi kekecewaan seperti yang telah disampaikan diatas, maka konteks imagined akhirnya dipertanyakan oleh Hasan Tiro dengan membalik logika pikir bahwa seharusnya, anggota suatu bangsa tidak menjatuhkan anggota yang lain. Walaupun anggota tersebut tidak pernah berjumpa, tidak pernah mengenal, dan berinteraksi, tapi dalam konteks nasionalisme semua anggota bangsa harus bersatu. Maka eksploitasi atas kekayaan alam Aceh, ketidakadilan, dan distribusi kekayaan yang tidak merata harusnya tidak terjadi dalam konteks imagined tersebut.
Anderson (1991) kemudian menjelaskan bangsa sebagai sesuatu yang bersifat terbatas (limited), artinya setiap bangsa memiliki garis batas dengan bangsa-bangsa yang lain dan ada pembeda antara satu bangsa dengan bangsa yang lain. Sama seperti imagined, limited dapat dijelaskan dalam dua situasi. Aceh merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Sehingga limitasi berupa garis batas, maupun pembeda lain menjadi hilang dan melebur dalam satu bangsa yaitu Indonesia. Namun setelah terjadi akumulasi kekecewaan, maka bangsa Aceh kembali menarik garis pembeda antara bangsa Aceh dan Indonesia untuk kemudian mempertentangkannya.
Kemudian Anderson (1991) juga berasumsi bahwa bangsa dibayangkan sebagai suatu yang berdaulat (sovereign) dimana setiap bangsa mempunyai kedaulatannya masing-masing. Dalam konteks ini, kerajaan Aceh memiliki kedaulatannya sendiri dibawah kepemimpinan sultan secara turun-temurun. Namun, ketika bangsa Aceh bergabung dengan Indonesia, maka terminologi kedaulatan kerajaan Aceh secara otomatis berganti menjadi keadaulatan NKRI. Ketika konflik antar keduanya terjadi, maka bangsa Aceh melalui GAM berusaha untuk memperoleh kedaulatannya kembali dengan cara berpisah dari Indonesia dan mendirikan successor state dari kerajaan Aceh masa lampau.
Bangsa dijelaskan Anderson (1991) juga sebagai sebuah komunitas (community), yang memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi, serta mendalam. Rasa kesetiakawan dalam ini sering dijadikan alasan bagi anggota suatu bangsa rela bertaruh nyawa untuk orang lain dan rela melakukan apapun apabila bangsanya dalam keadaan terancam oleh sesuatu hal. Atas rasa kesetiakawanan yang tinggi terhadap satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, rakyat Aceh rela meninggalkan daerahnya untuk berperang melawan Belanda. Padahal pada saat itu, rakyat Aceh masih mengalami Inferiority Complex, yaitu suatu gejolak kejiwaan, ketidakseimbangan, merasa rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri yang diakibatkan oleh perang yang cukup lama dengan Belanda.
Keadaan ini berusaha diatasi dengan mencari suatu pegangan hidup yang baru. Situasi ini dengan mudah dimanfaatkan oleh Soekarno dengan memberikan janji-janji, membangun nasionalisme, dan membentuk Imagined community of Indonesia sebagai negara baru yang terbaik.
Pada akhirnya, penistaan nasionalisme kepada bangsa Aceh bermuara pada akumulasi kekecewaan. Ini berimplikasi pada Hasan Tiro untuk membangun sebuah doktrin nasionalisme tingkat lokal yang dikenal dengan etnonasionalisme bangsa Aceh, dan mempertentangkannya dengan nasionalisme Indonesia.
Guna membakar semangat melawan nasionalisme pusat, Hasan Tiro menggalakkan konsep populisme sebagai dasar perjuangan, dengan membangun sentiment etnis menggunakan etnik identity melalui sejarah kejayaan Aceh masa lampau. Bagi Tiro Nasionalisme Indonesia dianggap sebagai representasi kepentingan Jawa. Sistem dan nama-nama simbolis dalam birokrasi negara kesemuanya di namai dalam bahasa Jawa seperti Desa, Lurah, Kecamatan, Camat, Kabupaten, Bupati, dan lain sebagainya. Tiro juga menegaskan bahwa bangsa Jawa memiliki kedudukan yang baik untuk memanipulasi Nasionalisme Indonesia demi kepentingan mereka sendiri (Tiro, 1985).
Pupulisme ala Tiro: Etnonasionalisme Untuk Bangsa Aceh
Sejak awal, ada banyak perdebatan mengenai posisi Aceh di dalam NKRI. Sebagian mengatakan bahwa keberadaan itu tidak sah dan mengingkari kehendak orang Aceh. Sejarah Aceh memang merupakan satu identitas politik tersendiri, sementara identitas Indonesia adalah (menurut Tiro) suatu identitas buatan yang datang belakangan dan rapuh. Karenanya, keduanya tidak mungkin diperbandingkan, apalagi disandingkan. Kelompok pemikiran ini tentu bahkan menganggap penggabungan Aceh ke dalam Indonesia sebagai suatu pilihan politik pencaplokan (Damanik, 2010).
Nasionalisme yang tidak dapat menjadi solusi sehingga konflik muncul dari kelompok-kelompok yang merasa dikalahkan dan dimarjinalkan. Hal ini memunculkan ethnic revival yang memunculkan sentimen dalam kelompok tertentu sehingga memunculkan konflik. Sentimen ini kemudian diakomodir untuk menggerakkan sentimen menjadi lebih besar dan bersifat kolektif. Hasan Tiro menggiring sentimen ini menjadi hal yang mampu membakar sensitifitas masyarakat Aceh melalui etnonasionalisme Aceh. Dalam hal ini Tiro mampu menjadi tokoh populisme dengan membangun dukungan massa memalui pendekatan kultural dan indentitas.
Dalam Molyneux & Osborne (2017) populisme yang dibangun Hasan Tiro ini berpijak pada prinsip identitas, artinya gagasan yang diatur oleh tokoh (Tiro) membentuk sebuah kesatuan ekspresif yang dapat dijadikan kekuatan langsung untuk menuntut penguasa, yakni Indonesia (Hennis, 2009 , Hlm 41.; cf. Schmitt, 1985 [1923], Hlm. 26-27).
Akumulasi kekecewaan pada Indonesia membawa Hasan Tiro membangun sebuah doktrin nasionalisme tingkat lokal yang dikenal dengan etnonasionalisme bangsa Aceh serta mempertentangkannya dengan nasionalisme Indonesia. Dalam membakar semangat melawan nasionalisme inilah Hasan Tiro menggalakkan konsep populisme sebagai dasar perjuangan, dengan membangun sentiment etnis menggunakan etnik identity melalui sejarah kejayaan Aceh masa lampau.
Steven Levitsky dan James Loxton (2013, 110) menguraikan tiga karakteristik dalam menggambarkan pemahaman tentang populisme: Pertama, populisme harus memobilisasi dukungan massa melalui sebagai kelompok yang dimarjinalkan serta merangkap dan memposisikan diri sebagai oposisi. Kedua, sosok populis merupakan individu kuat yang berada pada satu poros diluar partai nasional. Ketiga, populis membangun hubungan yang dekat dengan massa (dalam Mietzner, 2015).
Tiro sebagai aktor populis menggunakan GAM sebagai jalan untuk memobilisasi massa agar dapat bergabung dan berperang sebagai respon dari pengkhiatan oleh Indonesia. Tiro menjadi kunci dan “pelaku” dari setiap pemikiran dalam konsep populisme sebagai gerakan-gerakan politiknya. Hasan Tiro mewakafkan dirinya sebagai relay antara keinginan moral memalui pendekatan kultul dan identitas kepada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh disini dijadikan sebagai obejk dalam pemikiran populisnya.
Cast Mudde salah satu ilmuan politik mendefinisikan populisme sebagai posisi politik yang menempatkan “rakyat kebanyakan” dan melihat politik sebagai ekspresi dari keinginan umum rakyat kebanyakan tersebut. Oleh sebab itu Hasan Tiro sebagai penggagas GAM kemudian berusaha menarik garis sejarah dari kejayaan Aceh masa lampau berdasarkan berbagai kekecewaan yang dialami rakyat Aceh sejak bergabung dengan Indonesia, baik dalam hal distribusi sumberdaya maupun tradisi islami yang diingkari.
Persoalan tradisi Islam ini merupakan hal yang amat serius diperjuangkan Tiro. Bahkan Hasan Muhammad di Tiro pernah meletakkan Islam sebagai pondasi utama dalam sistem ketatanegaraan Aceh yang disebutnya sebagai succesor state. Al-Chaidar dalam bukunya “GAM Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam” (1999) berpendapat bahwa dasar Negara Aceh adalah Al-Quran dan Al-Hadits.
Melalui pendekatan sejarah Islam dan Aceh ini Tiro membuka kembali asa maupun harapan kejayaan Aceh sebagai bangsa Islam yang jaya pada masa lampau, dan hal ini juga merupakan sebuah upaya Tiro dalam membentuk karakternya sebagai tokoh yang sangat dekat dengan masyarakat Aceh. Maka demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa istilah populisme Islam, seperti istilah Vedi Hadiz (2016) telah ada sejak perjuangan DiTiro, ketika Indonesia tidak memberi otonomi khusus agar Aceh dapat menjalankan syariat Islam.
Hanya saja berbeda dengan konsep Hadiz akan populisme dapat sejalan dengan demokrasi, Tiro menjalankan pemikiran populisnya sebagai konsep yang mampu menggerakkan massa menggunakan isu publik dan Tiro jalan fasisme. Kemudian seperti yang disampaikan Hadiz bahwa populisme juga berakar dari oligarki, konsep populism Tiro pula sebenarnya ada keterkaitan oligarki, yakni berdasarkan garis perjuangan Tiro yang melanjutkan semangat Daud Beureh serta keluarga Tiro yang memiliki garis keturuan yang sama.
Tiro mengusung ideologi berupa etnonasionalisme Aceh yang dilatarbelakangi oleh sejarah kejayaan Aceh masa lampau. Untuk menyebarkan ideologi ini, Hasan Tiro melakukan rekonstruksi sejarah dan membangkitkan sentimen kolektif. Baginya, nasionalisme Indonesia hanyalah produk etnis Jawa yang digunakan sebagai taktik untuk menjajah Aceh. Selanjutnya dinyatakan pula dalam sebuah tulisan beliau berjudul Nasionalisme Indonesia (1985) bahwa nasionalisme Indonesia hanyalah pembenaran bagi Indonesia untuk menguasai Aceh. Dalam buku The price of freedom (1981) Tiro menyebutkan bahwa “telah terlampau banyak darah keluarga DiTiro yang ditumpahkan”.
Oleh realitas sejarah tersebut, Hasan Tiro merasa bahwa sebagai keturunan DiTiro, beliau pun harus melanjutkan perjuangan yang telah dilakukan nenek moyangnya. Dalam buku tersebut Hasan Tiro menuliskan pula ”Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan takdir hidup saya yaitu memimpin rakyat dan negeri saya untuk merdeka“. Apa yang diinginkan Tiro merupakan bentuk populis movement, seperti yang disampaikan Levitsky dan Loxton (2013, 10) bahwa populis movement merupakan sebuah semangat yang muncul dari gerakan sosial dan dipertaruhkan untuk mempertahankan akar rumput (dalam Mieztner, 2015).
Keinginan Hasan Tiro ini nyatanya memang diterima oleh masyarakat Aceh sehingga menjadi satu legitimasi bagi kepimpinannya dalam GAM. Istilah “gerakan” dalam GAM ini dapat mengartikan bahwa Tiro menggemakan term berupa sentimen “perlawanan” harus dibangun dalam masyarakat Aceh, dan hal tersebut harus diperjuangkan untuk meraih apa yang dicita-citakan (Mieztner, 2015). Oleh karena hal itu selanjutnya mulailah Tiro memainkan pemikiran populisnya, menarik kembali sejarah kejayaan Aceh masa lampau yang menjadi alat efektif untuk membangun sentiment etnis.
Mengutip pada tesis Sari (2013) sejarah kejayaan Aceh masa lampau menjadi materi wajib dalam camp-camp latihan GAM. Materi ini dinamai dengan Aceh Education serta pula melatih kekuatan militer. Hasan Tiro selalu mengajarkan kepada pemuda Aceh agar mengerti sejarah Acehdan menyadari bahwa Aceh memang unik dan berbeda dari bangsa lainnya Materi-materi Aceh Education disampaikan Hasan Tiro secara tegas sebagai doktrin untuk para anggota GAM. Semua materi disampaikan dalam bahasa Aceh untuk lebih memperkuat etnonasionalisme keacehan mereka.
Dengan demikin pemikiran populis Hasan Muhammad di Tiro berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini buktikan dengan beberapa hal, yaitu bangkitnya nasionalisme lokal bangsa Aceh. Kesadaran masyarakat bahwa Aceh dalam sejarah adalah sebuah negara berdaulat jauh sebelum Indonesia ada. Kekuasaan yang demikian besar sungguh tidak layak diturunkan menjadi hanya sebagai sebuah daerah dalam sebuah negara seperti yang ada dalam konsep nasionalisme Indonesia.
Bergabungnya masyarakat sipil Aceh dengan GAM diterjemahkan sebagai sinkronisasi pemikiran Tiro sesuai dengan kondisi Aceh. Pemaksaan ideologi Pancasila dalam setiap kehidupan masyarakat Aceh berlawanan dengan tatanan kehidupan Aceh yang Islami. Ini semakin diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang tidak peduli dengan beberapa janjinya untuk merealisasi aspek keistimewaan tertentu yang ada di Aceh setelah mereka menjanjikannya. Hasan menganggap praktik ini adalah pengkhianatan dan pembohongan yang dilakukan pemerintah Jakarta kepada masyarakat Aceh, dan sekali lagi proganda populis ini mampu membangkitkan rakyat Aceh bersama GAM untuk “berjihad”.
Kesimpulan
Nasionalisme yang pura-pura telah membuat bangsa Aceh merasa dikhianati dan dimarjinalkan. Janji-janji Soekarno saat meminta Aceh bergabung dengan Indonesia hanyalah angin surga merupakan sebagian sebab konflik antara Indonesia dan GAM. Tokoh populis Aceh Hasan Tiro membangun sentimen indentitas berdasarkan riwayat kejayaan Aceh yaitu etnonasionalisme Aceh dan mempertentangkannya dengan nasionalisme Indonesia.
Pemikiran populis Hasan Tiro tersebut mampu memperoleh legitimasi oleh masyarakat Aceh sehingga GAM mendapatkan dukungan yang besar dari para pengikut dan simpatisannya untuk dapat berjuang menjadi sebuah Negara Islam berdaulat dan berpisah dari Indonesia.
Tiro melancarkan propaganda populisnya dengan cara membentuk camp-camp wajib militer dalam latihan GAM. Aceh Education merupakan materi wajib yang sangat populis untuk mendoktrin masyarakat Aceh agar mengerti sejarah Aceh. Membangkitkan kesadaran melalui pendidikan dan propaganda dalam bahasa Aceh mampu memperkuat etnonasionalisme keacehan mereka.
Bergabungnya masyarakat sipil Aceh dengan GAM merupakan keberhasilan pemikiran populis Hasan Tiro. Sentimen Identitas yang dibangun Tiro merupakan kekuatan besar yang menjadikan masyarakat Aceh siap mati dalam memperjuang Aceh sebagai bangsa yang merdeka.
Farnanda, Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM