Rabu, 25 Juni 2025
Beranda / Opini / Pendidikan Inklusif dan Responsif: Hapus Hambatan, Wujudkan Hak Pendidikan untuk Semua

Pendidikan Inklusif dan Responsif: Hapus Hambatan, Wujudkan Hak Pendidikan untuk Semua

Selasa, 24 Juni 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Salsabila Juliana

DIALEKSIS.COM | Opini - Pendidikan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa, dan seharusnya menjadi hak yang dapat diakses oleh semua individu, tanpa terkecuali. Pendidikan memberikan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat. 

Sayangnya, masih banyak hambatan yang menghalangi terwujudnya hak pendidikan yang merata. Hambatan ini bisa bermacam-macam, mulai dari keterbatasan ekonomi yang membuat banyak anak tidak mampu membayar biaya sekolah atau membeli perlengkapan, hingga lokasi geografis yang terpencil sehingga akses ke sekolah menjadi sulit. Diskriminasi berdasarkan gender, disabilitas, atau latar belakang etnis juga masih menjadi PR besar yang harus kita atasi bersama.

Untuk mewujudkan hak pendidikan untuk semua, langkah pertama adalah memastikan bahwa pendidikan gratis dan berkualitas tersedia dari tingkat dasar hingga menengah. Ini berarti pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyediakan fasilitas yang memadai, tenaga pengajar yang berkualitas, dan kurikulum yang relevan. Selain itu, inovasi dalam pembelajaran juga penting. Pemanfaatan teknologi, seperti pembelajaran daring atau modul jarak jauh, dapat menjangkau siswa di daerah terpencil atau mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Program beasiswa dan bantuan finansial juga harus diperluas untuk membantu siswa dari keluarga kurang mampu.

Namun, mewujudkan hak pendidikan tidak hanya berhenti pada akses fisik semata. Kita juga harus membangun lingkungan belajar yang inklusif dan ramah bagi semua siswa. Ini berarti menghilangkan diskriminasi dalam bentuk apa pun, menyediakan fasilitas yang dapat diakses terkhusus oleh penyandang disabilitas, dan melatih guru untuk memahami keberagaman siswa. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, 17,85% penyandang disabilitas berusia lebih dari 5 tahun tidak pernah mengenyam pendidikan formal, jauh lebih tinggi dibanding kelompok non-disabilitas yang hanya 5,04%. Dari segi jenjang pendidikan tertinggi, 4,51% penyandang disabilitas tidak pernah sekolah, 12,04% tidak tamat SD, 31,66% memiliki ijazah SD/sederajat, 24,03% SMP/sederajat, 22,17% SMA/SMK/sederajat, dan hanya 5,58% yang memiliki ijazah perguruan tinggi. 

Mayoritas penyandang disabilitas menamatkan pendidikan di jenjang SD atau lebih rendah (48,21%), sedangkan untuk kelompok non-disabilitas yang sama hanya 27,84%. Survei Dapodik per November 2024 mencatat ada 341.414 siswa penyandang disabilitas, dengan 162.038 belajar di sekolah luar biasa (SLB). 

Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyebut pada 2022 hanya sekitar 4% penyandang disabilitas usia sekolah yang mendapatkan layanan pendidikan formal, menunjukkan akses pendidikan masih sangat minim. Dari total penyandang disabilitas sekitar 23,3 juta jiwa, 71% memiliki ijazah pendidikan dasar, 43% ijazah SMP, dan 32,2% ijazah SMA. Namun, hanya 11,7% anak penyandang disabilitas dari kelompok 40% terbawah yang menerima program bantuan pendidikan Indonesia Pintar (PIP). Tingkat penyelesaian pendidikan perguruan tinggi oleh penyandang disabilitas sangat rendah, hanya 2,8% dibanding non-disabilitas yang mencapai 9,48%.

Penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang mengakomodasi peserta didik dengan kebutuhan khusus dalam lingkungan belajar yang sama dengan peserta didik lainnya, memberikan kesempatan yang setara. Pendidikan khusus disediakan untuk peserta didik dengan kebutuhan khusus yang memerlukan pendekatan dan metode pembelajaran yang berbeda. 

Undang-undang dan peraturan pemerintah di Indonesia memastikan hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan inklusif. Hal ini berarti sekolah umum wajib menerima dan mengakomodasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan disabilitas, dengan dukungan guru pendamping khusus jika diperlukan. Penyandang disabilitas berhak mendapatkan akomodasi yang layak untuk mendukung proses pembelajaran mereka, seperti aksesibilitas fisik, materi pembelajaran yang disesuaikan, dan metode pembelajaran yang tepat. Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk menjadi peserta didik, pendidik, atau tenaga kependidikan di satuan pendidikan.

Pendidikan yang responsif adalah pendidikan yang peka dan dapat menyesuaikan dengan kebutuhan siswa/inya. Pendidikan yang responsif terhadap budaya lokal merupakan pendekatan menyeluruh yang memadukan antara nilai-nilai, tradisi, dan praktik budaya setempat ke dalam kurikulum dan proses pembelajaran. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan pendidikan yang relevan dan bermakna bagi peserta didik, membantu mereka mengembangkan identitas budaya yang kuat, serta memahami dan menghargai warisan leluhur. Untuk teman-teman disabilitas pendidikan responsif itu sangat penting dikarenakan tidak semua siswa/i belajar dengan cara yang sama.

Dengan kurikulum yang fleksibel dan bisa dimodifikasi siswa/i dapat belajar sesuai dengan apa yang mereka bisa dan yang mereka butuhkan. Misalnya, materi pembelajaran dapat memasukkan cerita rakyat, lagu daerah, atau permainan tradisional yang diadaptasi agar dapat diakses oleh siswa dengan berbagai jenis disabilitas. Bahasa isyarat lokal atau braille dengan dialek daerah tertentu dapat dipadukan jika relevan. Seperti Kalau ada siswa tunanetra, materi pelajaran visual (kayak gambar atau diagram) yang diubah jadi format audio atau braille. Atau, kalau ada siswa disleksia, mereka mungkin butuh waktu lebih lama buat membaca dan menulis, jadi jangan buru-buru menuntut mereka selesai sama rata dengan yang lain. Untuk siswa yang kesulitan konsentrasi, guru bisa pakai metode belajar sambil bermain atau aktivitas yang lebih interaktif. Untuk siswa tunarungu, guru bisa menggunakan bahasa isyarat atau visual aid yang banyak. Intinya, guru harus kreatif dan adaptif.

Selain memperhatikan metode belajar, lingkungan yang nyaman untuk semua orang termasuk penyandang disabilitas juga menjadi nilai penting. Pastikan ada jalur landai (ramps) buat pengguna kursi roda, toilet yang mudah diakses, dan petunjuk arah yang jelas. Sediakan alat bantu dengar, kacamata khusus, atau perangkat lunak pembaca layar kalau diperlukan. Selain itu, aspek non-fisik seperti penggunaan sapaan atau gestur yang lazim di budaya lokal, serta menghargai keunikan cara belajar setiap individu, sangat penting. Sekolah harus bisa menciptakan suasana di mana semua siswa saling menghargai dan menerima perbedaan. Bullying atau ejekan tentang disabilitas harus nggak ada tempat sama sekali.

Guru perlu pelatihan tentang cara mengajar siswa dengan berbagai jenis disabilitas, bagaimana mengidentifikasi kebutuhan khusus, dan cara berkomunikasi yang efektif. Mereka juga harus dibekali pengetahuan tentang budaya lokal dan keterampilan yang cukup juga mempunyai empati yang tinggi. Pendidikan itu nggak cuma tanggung jawab sekolah, tapi juga orang tua dan para ahli. Sekolah harus sering berkomunikasi dengan orang tua buat tahu perkembangan dan kebutuhan anak. Kalau perlu, libatkan terapis (terapi fisik, okupasi, atau wicara) atau psikolog buat mendukung proses belajar siswa. Pendidikan responsif itu fleksibel, suportif, dan fokus pada potensi setiap individu, tanpa memandang disabilitasnya. Tujuannya biar semua anak, termasuk penyandang disabilitas, bisa belajar dengan nyaman dan optimal, serta mengembangkan diri sesuai bakat dan minat mereka.

Pendidikan yang responsif terhadap budaya lokal akan meningkatkan relevansi dan efisiensi pendidikan. Hak pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Hak ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.

Pendidikan tidak hanya hak, tetapi juga investasi bagi kemajuan bangsa dan negara. Dengan menghapus hambatan-hambatan ini secara sistematis dan kolektif, kita dapat memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tumbuh, dan meraih potensi penuh mereka, demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. [**]

Penulis: Salsabila Juliana (Mahasiswi Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra