Penegakan HAM: Kendala Presiden Jokowi (2)
Font: Ukuran: - +
Oleh Otto Syamsuddin Ishak
Hal yang penting bahwa Jaksa Agung Prasetyo langsung merespon (1 Juni 2018) political will Presiden Jokowi ke wilayah publik dengan mengatakan 3 alasan berikut.
Pertama, Jaksa Agung Prasetyo mengatakan mengalami kesulitan untuk mencari bukti hukum sebagai landasan untuk meningkatkan kasus ke tahap penuntutaan. Di samping persoalan saksi dan waktu kejadian yang sudah lama.
Kedua, Jaksa Agung Prasetyo dengan merujuk pada UU 26/2000, bahwa ada kasus yang harus didahului oleh adanya keputusan politik DPR sebagai landasan pembentukan peradilan ad hoc, yang belum terbentuk hingga saat ini di Indonesia.
Ketiga, Jaksa Agung Prasetyo mengatakan tidak menemukan adanya bukti yang kuat dari hasil penyelidikan Komnas HAM.
Hal pertama sekali patut untuk dipertanyakan adalah, apakah Jaksa Agung sudah menunjuk Jaksa (tim) penyidik untuk mengeksekusi political will dari Presiden Jokowi? Sebenarnya hal itulah yang harus dilakukan seorang Jaksa Agung, sebelum melontarkan 1001 kendala penanganan kasus. Jika Jaksa Agung tidak menunjuk penyidik, maka Jaksa Agung hanya mengabaikan political will Presiden, kalau tidak bisa dikatakan memboikot political will Presiden.
Tambahan pula, saya teringat pada saat pertemuan 3 pihak (Menkopolhukam, Kejagung dan Komnasham) bahwa Kejagung hanya memiliki anggaran 50 juta rupiah untuk penanganan masalah penegakan hukum untuk kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini menunjukkan bahwa pihak Kejagung tidak memiliki keseriusan dalam penanganan HAM. Apalagi, saya mendengar bidang HAM bukanlah jalur promosi staf yang cemerlang.
Lainnya, dalam pertemuan bedah kasus pelanggaran HAM berat dengan pihak Komnasham, maka staf Kejagung yang dilibatkan, bukanlah penyidik yang memiliki pengalaman atau pernah ditunjuk oleh Jaksa Agung sebagai penyidik dalam kasus HAM. Oleh karena itu, perspektif yang dipakai adalah tindak pidana umum.
Hal tersebut merespon alasan pertama Jaksa Agung Prasetyo, yakni masalah political will Kejagung untuk persoalan HAM, sekaligus memperlihatkan tingkat profesionalitas penyidik untuk kasus HAM yang sebatas dilihat dari perspektif pidana umum. Namun, hal yang secara struktural bermasalah adalah perihal tidak pernah dilakukan penunjukan jaksa penyidik untuk kasus HAM. Hal ini, bukan saja pengabaian terhadap political will Presiden, tetapi juga melawan Pasal 21-22, UU 26/2000, yang mengamanatkan tupoksi Kejagung setelah penyelidikan selesai dilakukan oleh Komnasham.
Lebih penting lagi, alasan ketiga Jaksa Agung Prasetyo bahwa "tidak menemukan adanya bukti yang kuat dari hasil penyelidikan Komnas HAM." Hal ini menunjukkan Kejagung mengabaikan atau tidak memahami pembagian kewenangan antara penyelidik (komnasham) dan penyidik (Kejagung). Kejagung malah memperlakukan Komnasham sebagaimana hubungan koordinasi mereka dengan pihak kepolisian dalam kasus tindak pidana biasa. Padahal tupoksi Komnasham, sesuai dengan Pasal 21, UU 26/2000 adalah "bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Jadi bukan sebagaimana yang didefinisikan sendiri atau secara sepihak oleh Kejagung, tanpa merujuk UU 26/2000.
Perihal alasan kedua Jaksa Agung Prasetyo, memang ada prosedur tersendiri antara kasus pelanggaran HAM sebelum dan sesudah adanya UU 26/2000. Untuk kasus di Aceh yang berkas hasil penyelidikan Komnasham sudah di Kejagung, misalnya, antara kasus Simpang KKA dan Kasus Jambo Keupok. Oleh karena itu, untuk berkas penyelidikan kasus Simpang KKA sudah diberikan oleh pihak Komnasham kepada DPR untuk menunggu keputusan politik dari DPR.
Akhirnya, apa yang saya sampaikan ini menunjukkan titik-titik kepelikan dalam hal kelanjutan penyelesaian secara hukum untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Adalah tidak sesederhana apa yang diamanatkan oleh Konstitusi bahwa ini "negara hukum".
Oleh karena itu, untuk selanjutnya harus dibuatkan skenario penyelesaian hukum kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, baik sebelum maupun sesudah tahun 2000, dan ini menjadi bagian dari political will Presiden. Kalau tidak begitu, masing-masing pihak yang mendapat amanat dari UU 26/2000, dapat menskenariokan politikingnya sendiri-sendiri. *