Pilkada ditengah Pandemi ; Untuk Siapa ?
Font: Ukuran: - +
Oleh : Farnanda
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bagian dari kemewahan demokrasi. Pilkada, agenda rutin demokrasi yang rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada September tahun ini, mengalami penundaan karena wabah korona.
Penundaan Pilkada serentak 2020 berimplikasi pada terbitnya Perpu Nomor 2 Tahun 2020 oleh Presiden Jokowi. Perpu yang baru diterbitkan ini menghadapkan proses penyelenggaraan Pilkada dengan penanganan covid-19. Artikel ini akan mengeksplorasi sejumlah persoalan yang diperkirakan muncul bila pelaksanaan Pilkada berlangsung ditengah pandemi Covid-19.
Covid-19 telah memaksa hampir 50 negara dan wilayah menunda pemilu. Ada beberapa negara yang tetap melaksanakan pemilu di tengah pandemi, namun sebagaian besar gagal mengatasi kekhawatiran publik terhadap kesehatan pemilih.
Akibatnya, pemilu yang berlangsung diikuti dengan rendahnya partisipasi pemilih, menurunnya kredibilitas pemilu, berhentinya petugas penyelenggara, bahkan bertambahnya penderita virus (IFES: Safeguarding Health and Elections, 2020). Di Indonesia, pemerintah telah memposisikan diri untuk merespon nasib Pilkada ditengah pandemi melalui Perpu No.2 Tahun 2020.
Perpu No. 2/2020: Kepastian yang Belum Pasti
Memang merupakan sebuah konsekuensi logis bila pemerintah menerbitkan Perpu atas penundaan Pilkada 2020 yang sebelumnya telah disepakati dalam Rapat Kerja atau Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 30 Maret 2020 lalu.
Perpu ini menjadi legalitas dan payung hukum atas penundaan aktivitas tahapan Pilkada serentak 2020 yang lebih dahulu telah dilaksanakan KPU pada Maret 2020. Sebagai turunannya, dalam Perpu ini dijadwalkan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 yang semula ditetapkan pada 23 September menjadi 9 Desember 2020, mencakup 270 daerah meliputi 9 Pilkada Provinsi, 224 Pilkada Kabupaten, dan 37 Pilkada Kota yang tersebar di 32 provinsi, kecuali Aceh dan Jakarta.
Meninggalkan beberapa catatan, Perpu 2/2020 ternyata melahirkan kegamangan. Ada beberapa aspek yang memperlihatkan ketidakpastian pada Perpu. Pertama, terdapat pemaparan terkait dengan pemungutan suara pada Desember 2020 yang dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid-19 (bencana non-alam) belum berakhir (lihat pasal 201A ayat 3).
Maka menimbulkan pertanyaan kembali, yaitu parameter apa yang akan digunakan dalam mencapai kesimpulan bahwa pandemi belum berakhir. Hal ini menjadi catatan tersendiri bila mengacu pada cara penanganan Covid-19 yang “poco-poco” oleh pemerintah pusat. Artinya, acuan parameter pandemi yang ditetapkan dalam Perpu tidak berbanding lurus dengan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah.
Kedua, Perpu tidak menunjukkan aturan khusus dan eksplisit agar memungkinkan KPU memiliki kewenangan untuk membuat pengaturan teknis yang sejalan dengan kondisi pandemik. Artinya, regulasi yang ada pada Perpu masih berbasis pada keadaan “normal lama”, sementara tuntutan besar dari kebanyakan pemangku kepentingan disematkan kepada KPU untuk melakukan berbagai inovasi, penyesuain, dan pengelolaan Pilkada yang sejalan dengan penanganan pandemi dan keadaan “normal baru” (Anggraini, 2020).
Ketiga, bila pemungutan suara pada Desember 2020 menjadi sebuah keseriusan, maka sesuai dengan rancangan PKPU bahwa pada bulan Juni 2020 tahapan pra-pilkada akan dilakukan (verifikasi faktual, pendataan door to door bagi calon perseorangan, dll). Perpu tidak menunjukkan kepastian alokasi anggaran yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Tidak dapat dielak, bahwa tambahan alokasi anggaran merupakan suatu kebutuhan untuk menjamin keamanan petugas penyelenggara berdasarkan protokol keamanan Covid-19.
Mempertaruhkan Reputasi KPU
Meneguhkan Pilkada ditengah pandemi, maka menjadi wajar bila mengamati KPU sebagai institusi independen dan keberpihakannya. Sejak keputusan penundaan Pilkada pada rapat tripartit hingga Perpu 2/2020 terbit, mengamati ruang gerak KPU adalah sebuah keniscayaan.
Sebagai warga negara, tentu tidak ingin bila ada pihak yang mengendalikan KPU melalui kebijakan dan keputusan politik yang menguntungkan satu pihak. Menyelenggarakan Pilkada saat keadaan krisis yang tidak bisa diprediksi (kapan melandainya curva Covid-19) merupakan sebuah tantangan besar yang akan dihadapi KPU.
Oleh sebab itu segala kebijakan yang ditetapkan harus berdasarkan kesiapan dan kesigapan KPU dengan segala kapasitasnya sebagai penyelenggara pemilu. Dengan demikian, bila melihat kondisi objektif yang membuat Pilkada tidak memungkinkan terselenggara di Desember 2020, maka KPU harus berani segera membuat keputusan untuk menunda secara tepat dan sigap, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Komunikasi publik KPU harus diartikulasi dengan baik, agar kepercayaan publik berbanding lurus dengan reputasi KPU.
Pilkada untuk Siapa ?
Menempatkan diri sebagai voters, maka mempertanyakan kembali makna Pilkada ditengah pandemi adalah sebuah keharusan. Pilkada Desember 2020 hanya mengesankan pelaksanaan agenda demokrasi prosedural tanpa memperhitungkan aspek substansial seperti teknis penyelenggara, kesehatan petugas dan pemilih, bahkan menurunnya kualitas pelaksaan Pilkada. Sebaliknya, pelaksanaan Pilkada Desember 2020 sangat rentan dimanfaatkan oleh sebagian calon yang akan berkompetisi, salah satunya adalah calon petahana.
Calon petahana memiliki keuntungan yang cukup dominan dibandingkan calon lainnya. Di tengah krisis, calon petahana memiliki peluang untuk melakukan politisasi isu Covid-19 melalui akses sumber daya publik.
Pemimpin dimasa krisis cenderung akan mendapat simpati oleh masyarakat karena lebih sering tampil ketika melakukan politisasi bantuan sosial. Pergerakan curi start duluan ini tidak bisa diintervensi oleh Bawaslu, karena terbitnya peraturan pengganti Perpu 2/2020 tidak menjangkau domain Bawaslu (Bambang Eka, 2020). Selain itu ditengah keadaan ekonomi masyarakat yang tengah lemah, peluang politik transaksional atau money politics menjadi agenda yang sulit dihindari.
Kemudian bukan tidak mungkin bahwa desakan Pilkada agar dilaksanakan secepatnya merupakan pesan titipan dari partai politik. Desember 2020 merupakan bulan “cantik” untuk dilaksanakan Pilkada mengingat sebagian besar kepala daerah yang sedang menjabat akan berakhir masa jabatan di pertengahan Februari 2021.
Bila Pilkada tidak dilaksanakan pada Desember 2020, maka kekosongan kekuasaan disetiap daerah akan diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt.) yang menjabat hingga hari pemungutan suara dilaksanakan. Partai politik tidak ingin lepas angin, maka pilihan pada bulan Desember adalah yang paling memungkinkan dan menguntungkan demi lahrinya kepala daerah definitif terpilih hasil Pilkada.
Pada akhirnya, mengingat kondisi penyebaran pandemi yang belum bisa dikendalikan, maka sejatinya Pilkada tidak dilaksanakan pada Desember 2020 karena terlalu beresiko dan menciderai prinsip electoral justice.
Jangan sampai tercipta epicentrum penyebaran virus baru yaitu Klaster Pilkada, sebagai pusat penyebaran virus Corona karena agenda Pilkada. Sebagai pertimbangan, meneguhkan opsi pelaksanaan Pilkada pada Juni 2021 bisa dijadikan pilihan.
Opsi ini memberi ruang nafas bagi petugas penyelenggara untuk melakukan persiapan lebih agar segala agenda Pilkada beriringan dengan penanganan Covid-19. Karena Pilkada diselenggarakan tidak hanya sebatas proses sirkulasi elit, melainkan terciptanya Pilkada yang humanis.
Penulis : Mahasiswa Magister Departement Politik dan Pemerintahan, UGM