Positioning Sekda Aceh Dalam Pembangunan Kesejahteraan
Font: Ukuran: - +
Penulis : Egi Gunawan
Egi Gunawan, Komunitas Obor Darussalam
Beberapa hari ini, masyarakat Aceh sedang digegerkan oleh proses rekrutmen calon Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Hal ini sangat penting untuk dikaji karena sangat erat kaitannya dengan proses kemajuan tata kelola pemerintahan Aceh mengenai aktivitas masyarakat dan proses pembangunan yang sedang berlangsung di Aceh.
Tentunya diskursus mengenai Aceh tidak terlepas dari Undang-undang Pemerintahan Aceh, yang mana Aceh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Aceh hanya cukup mengajukan satu calon Sekda untuk ditetapkan oleh Presiden.
Hal tersebut dilanjutkan melalui tata cara pengajuan calon Sekda Aceh ketika berpijak pada pasal 102 poin 2 dan 3 Undang-undang Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006 (UUPA), yaitu poin 2 berbunyi "Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Aceh" dan poin 3 berbunyi "Gubernur menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Aceh dan disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan". Berdasarkan UUPA jelas bahwa calon Sekda Aceh diajukan satu orang saja oleh Gubernur, bukan tiga calon.
Aceh saat ini sedang menuju pada tatanan perwujudan akan Good Government, good governance dan clean governance, yang mana merujuk pada peran dan fungsi akan sekda itu sendiri ialah sebagai pembantu Gubernur dalam menjalankan dua fungsi utama yang mana kedua fungsi utama tersebut ialah mengenai policy formulation dan administrative coordination dalam ruang lingkup perangkat bidang pemerintahan Aceh yang tentunya Sekda Aceh sangat erat kaitannya mengenai perihal administratif-birokratis.
Seperti yang kita telah ketahui bersama bahwa dalam ruang lingkup birokrasi pemerintah Aceh yang belum habis menjadi sorotan publik mengenai KKN, Pengangguran, dan kemiskinan.
Jika melihat kondisi pembangunan Aceh saat ini, Aceh masih sangat jauh dari kata layak dan tertinggal dengan daerah-daerah lain baik itu di Wilayah Sumatera maupun di wilayah lainnya. Hal ini tergambarkan melalui data BPS Aceh mengenai tingkat penduduk miskin di Aceh yaitu 15,68 % dan tingkat pengangguran sebesar 6,36 %.
Dalam hal pembangunan kesejahteraan di Aceh melalui kondisi tingkat pengangguran juga penting untuk diperbincangkan dan diselesaikan karena tingkat pengangguran juga menggambarkan kemampuan pemerintah untuk membuka jendela atas kejelian dalam membuat kebijakan dan mengelola roda pemerintahan.
Dari berbagai realitas di atas, jauh lebih penting dipikirkan oleh pemerintah dan stakeholders ketimbang mengenai pencalonan 3 orang sebagai calon Sekda yang hanya berkutat pada lingkaran pemerintahan feodal.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh memikirkan dan membahas hal-hal yang besar mengenai keberlangsungan pembangunan kesejahteraan rakyat Aceh serta merancang exit plan dalam menggapai masa depan Aceh yang lebih baik.
Diskursus calon Sekda Aceh harus segera diselesaikan dan harus mengedepankan kepentingan umum dengan tidak menanggalkan syarat Sekda yang mampu menjembatani pembangunan kemitraan antara Legisatif dan Eksekutif, bebas dari tindak pidana korupsi, berintegritas, inklusif, mempunyai jiwa kepemimpinan dan manajemen yang baik serta harus memahami manajemen sibernetika sebagai pembantu Gubernur.
Egi Gunawan, Komunitas Obor Darussalam