Regionalisme Partai Aceh Pasca Pemilu 2024
Font: Ukuran: - +
Penulis : Muhammad Ridwansyah
Muhammad Ridwansyah, M.H., Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang Sayap Partai Aceh. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Menurut data real count KIP Aceh versi 22 Februari 2024 dari progress 722 dari 1032 TPS dan data yang masuk sudah 69.96% menerangkan bahwa Partai Aceh akan dipastikan menjadi pemenang dan berkuasa kembali setelah 3 priode memimpin parlemen Aceh.
Pasca pemilu 2024 ini Partai Aceh akan menjadi penentu nasib rakyat Aceh, maka dari itu perlu regionalisme Partai Aceh agar kekuasaan yang diraih benar-benar diaktualisasi untuk kepentingan rakyat Aceh dengan baik dan benar.
Regionalisme yang dimaksud dalam artikel ini adalah ideologi politik yang berusaha untuk meningkatkan kekuatan politik, pengaruh, dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat di satu atau lebih wilayah subnasional. Pemahaman ideologi ini lebih berfokus pada pengembangan sistem politik atau sosial yang didasarkan pada satu atau lebih wilayah. Fokus subtansial regionalisme Partai Aceh pasca pemilu 2024 adalah untuk memperoleh kekuatan dari tujuan Aceh yang sebenarnya yakni Aceh Nationalism Interest dengan membangun kolektivitas bersama antara penguasa dan rakyat Aceh memperkuat kesadaran dan kesetiaan bangsa Aceh.
Lebih khusus lagi adalah regionalisme Partai Aceh akan mengacu tiga elemen yakni memperkuat status desentralisasi asimetris Aceh dalam negara kesatuan, kebijakan yang berbasis pro pengentasan kemiskinan di Aceh dan perpanjangan dana otonomi khusus Aceh pasca 2027.
Memperkuat status desentralisasi asimetris Aceh
Elemen pertama memperkuat status desentralisasi asimetris Aceh, permasalahan pertama yang ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah mengenai klausul urusan yang diatur dalam Pasal 7 UUPA, selama ini Aceh hanya berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Semestinya pemberian desentralisasi asimetris bukan dalam konteks urusan, tetapi penyerahan kewenangan oleh Pemerintah Pusat kepada Aceh. Karena frasa urusan yang dimaksud dalam Pasal 7 a quo adalah bentuk konkuren yang diambil dari penormaan UU Pemerintahan Daerah yang dibagi sesuai platform UU Pemerintahan Daerah. Idealnya, Pasal 7 UUPA, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan di semua sektor publik, administrasi sipil dan peradilan kecuali kewenangan pemerintah pusat.
Dalam teori desentralisasi asimetris menerangkan kewenangan yang diberikan adalan nomenklatur penyerahan kepada daerah yang bersifat asimetris dan sisanya enam kewenangan pokok Pemerintah Pusat diantaranya politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Asas desentralisasi asimetris Aceh adalah berada dititik tengah diantara konsep unitary state dan federal state dalam konteks MoU Helsinki dan UUPA. Artinya, dalam konteks negara kesatuan, awalnya kekuasaan dan kedaulatan adalah milik pemerintah nasional dan dapat mengalihkan kekuasaannya kepada unit-unit territorial sedang dalam konteks negara federal kekuasaan dan kedaulatan secara konstitusional dibagi dan dibagi antara pemerintah nasional federal dan unit-unit negeri bagian.
Partai Aceh dalam konteks dua konsep di atas harus mampu menerjemahkan bahwa Aceh memiliki kewenangan bukan urusan yang diamanahkan oleh Pasal 7 UUPA, norma ini harus segera direvisi dan mengambalikan semangat kekhususan Aceh dalam bingkai MoU Helsinki. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Aceh menjelaskan bahwa Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan seperti MoU Helsinki amanahkan. Kedudukan kewenangan Aceh itu harus dikembalikan oleh Partai Aceh sehingga implementasi desentralisasi asimetris Aceh berjalan sesuai nota kesepahaman Pemerintah Indonesia dan GAM.
Kebijakan berbasis pro pengentasan kemiskinan di Aceh
Elemen kedua adalah Partai Aceh harus mengerjakan program politik amat keras untuk mengentaskan kemiskinan di Aceh. Program pengentasan atau memperbaiki ini harus lewat program yang terukur dan pembiayaan lewat APBA harus benar-benar menyentuh rakyat Aceh dengan ruang fiskal tahunan.
Menurut data BPS 2023, tingkat kemiskinan di Aceh cukup tinggi, di Aceh sebesar 14,75% atau sekitar 806.750 jiwa dari total penduduk 5.525.839 jiwa. Pengentasan kemiskinan di Aceh yang harus dilakukan oleh Partai Aceh dalam bentuk kecepatan program antara lain: Pertama, memberikan bantuan sosial dan subsidi yang diperkirakan sangat urgen dan mendasar karena akan menjaga dan melindungi daya beli rakyat Aceh akibat tekanan berbagai kenaikan harga pasar. Akan tetapi hitungan fiskal APBA harus mampu memberi ruang bantuan sosial dan subsidi sehingga penjagaan daya beli rakyat tetap stabil. UUPA juga menerangkan salah satu peruntukkan dana otonomi khusus Aceh adalah pengentasan kemiskinan sehingga program memberikan bantuan sosial dan subsidi dianggap relevan sembari membuka lapangan kerja bagi rakyat Aceh.
Partai Aceh harus kembali memberikan program pengentasan kemiskinan di Aceh baik dari penyediaan lapangan kerja bagi milenial Aceh, penyediaan kebutuhan pokok, pengembangan sistem JKA plus untuk kebutuhan yang mendesak bagi rakyat Aceh. DOKA 2024-2027 masih ada tersisa 1% dari plafon dana alokasi umum nasional, sehingga sangat memungkinkan untuk pengentasan kemiskinan dengan syarat program 4 tahunan ini APBA yang disusun harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat Aceh.
Pemerintah Aceh sudah menargetkan dalam RPA 2023 s/d 2026 target penurunan kemiskininan sebesar 15.53% dan membangun 8 ribu rumah untuk warga kurang mampu pada tahun 2022 yang lalu, namun yang perlu ditingkatkan oleh Partai Aceh 2024 s/d 2029 adalah meningkatkan kembali pembangunan rumah dengan subdisi sehingga kebutuhan rakyat Aceh yang mendasar semakin terpenuhi.
Partai Aceh harus mampu mengembalikan marwah bangsa Aceh dengan program pengentasan kemiskinan sehingga pengorbanan rakyat Aceh selama 32 tahun konflik sebagai penyuplai makanan dan minuman GAM kala itu terpenuhi dengan hormat karena Partai Aceh, human dignity nya adalah rakyat Aceh.
Perpanjangan dana otonomi khusus Aceh pasca 2027
Elemen ketiga adalah, Partai Aceh harus mampu mempertahankan memperpanjang dana otonomi khusus Aceh yang akan habis 2027 ini, Tim MoU Helsinki LWN dan Tim R-UUPA versi DPRA sudah mengusulkan draf naskah, salah satu pasal yang sangat penting direvisi adalah perpanjangan otonomi khusus Aceh.
Tim MoU versi LWN memberikan tawaran agar plafon dana otonomi khusus Aceh diberikan sebesar 5% dari plafon dana alokasi umum, sedangkan Tim R-UUPA versi DPRA mengusulkan agar dana otonomi khusus Aceh diberikan sebesar 2,25% dari plafon dana alokasi umum nasional tanpa jangka waktu tertentu dan berlaku untuk sepanjang masa. Usulan itu harus mampu dipertahankan oleh Partai Aceh karena fraksi terbesar adalah Partai Aceh dalam parlemen Aceh 2024 s/d 2029 nanti sehingga program ini akan mampu diraih dengan seksama dan sesingkat-singkatnya untuk kepentingan Aceh di masa depan.
Partai Aceh harus mampu memperpanjangkan dana otonomi khusus dengan bargaining power diplomasi dengan Pemerintah Pusat. Artinya leader-leader yang ada dalam diri Partai Aceh haruslah bersih dari kasus-kasus tindak pidana korupsi, haruslah bersih dari catatan moral dan memang benar-benar berintegritas atas “perjuangan suci” ini, dan hanya untuk kepentingan rakyat Aceh.
Bukankah daya tawar saat perdamaian dulu diukur dengan kapasitas yang sama antara GAM dan Pemerintah Indonesia itu sebanding, bukankah GAM itu adalah manifestasi dari Partai Aceh dulu, bukanhkan elit-elit GAM dulu adalah fungsionaris Partai Aceh sekarang? Sebagian besar Rakyat Aceh masih mencintai Partai Aceh, karena data yang masuk saat hitungan rekapitulasi suara sangat luar biasa, salah satu contohnya adalah suara Partai Aceh di Aceh Timur 70.751 suara rakyat untuk Partai Aceh dari jumlah DPT Aceh Timur sebanyak 296.896. Artinya, legimasi rakyat Aceh terhadap rakyat Aceh masih diperhitungkan dan masih menerima kehadiran Partai Aceh.
Partai Aceh harus mampu membangun konsep bargaining power dan menjadi tolok ukur Pemerintah Pusat untuk memperpanjang dana otonomi khusus di Aceh. Semoga!. [**]
Penulis: Muhammad Ridwansyah, M.H., Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Muda Seudang Sayap Partai Aceh