kip lhok
Beranda / Opini / Rohingya dan Tantangan Kemanusiaan Kita

Rohingya dan Tantangan Kemanusiaan Kita

Sabtu, 15 September 2018 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Kemal Fasya

Foto: Acehnews

Oleh: Teuku Kemal Fasya *

Baru-baru ini dokumen tentang pembantaian etnis Rohingya dirilis dan disambut pemberitaan di seluruh dunia tentang sisi gelap Militer Myanmar dalam menangani krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine.

Sebuah lembaga kemanusiaan, Fortify Rights, merilis hasil penelitian mereka dan dipublikasi oleh The New York Times setelah mewawancarai 254 orang, baik dari korban, pejabat negara, dan juga pekerja kemanusiaan selama 21 tahun. Disimpulkan bahwa konflik yang terjadi di Myanmar, dulunya bernama Burma, adalah gerakan sistematis pembersihan etnis atau genosida yang langsung melibatkan polisi dan militer di negara Aung San Suu Kyi itu. Lebih 700 ribu pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh ketika muncul konflik paling berdarah di Asia Tenggara pada tahun lalu akibat politik genosida yang sistematis (Kompas, 27 Juli 2018)

Rohingya dan kita  

Saya sendiri pernah mencoba meneliti kasus konflik berdarah di Rakhine itu melalui penelusuran tokoh-tokoh kunci prodemokrasi di Myanmar. Salah seorang yang saya wawancarai ketika meletus kembali konflik pada 2017 adaah Khin Ohmar, aktivis demokrasi Myanmar dan Women’s League of Burma.

Cuplikan wawancaranya sbb: "Saya tak pernah merasa sefrustasi ini. Konflik kali ini terburuk dan sangat manipulatif (perangkap militer). Dalam sejarah 30 tahun sebagai aktivis, baru kali ini saya sangat frustasi dan merasa malu. Tidak ada yang berempati pada penderitaan Rohingya. Bahkan teman-teman seperjuangan pun setuju dengan "operasi pembersihan" itu. Kami tak bisa mengandalkan lagi Aung San Su Kyi. Dia telah pergi."

Perkenalan dengannya terjadi sejak 2010 dalam jaringan aktivis prodemokrasi Asia Tenggara. Pada 2012 saya pernah menjadi fasilitator untuk aktivis muda dari etnis-etnis minoritas Myanmar di Mae Sot, kota terakhir di Thailand utara yang berbatasan dengan Myanmar. Para aktivis harus melewati jalan tikus memasuki Thailand. Ohmar sendiri saat ini tidak dapat tinggal di Myanmar, dan harus menjadi "pengungsi" dan mendapatkan perlindungan dari Kerajaan Thailand. Ia pada 2008 pernah mendapatkan Anna Lindh Prize dari Kerajaan Swedia atas keberaniannya melakukan perjuangan kemanusiaan bagi etnis-etnis minoritas di Myanmar.

Sisi gelap Myanmar

Situasi di Myanmar sesungguhnya cukup kabur, tapi menjadi seperti terang benderang di media sosial kita. Banyak pihak yang merasa lebih tahu atas kejadian di sana dibandingkan masyarakat Myanmar sendiri. Sifat sok tahu itu ditunjukkan hampir semua kalangan, dari awam hingga elite politik, hingga mantan menteri. Tujuannya malah melenceng, dari berempati dan memberikan kesaksian atas derita Rohingya menjadi politik memperkeruh situasi nasional. Banyak analisis yang melihat masalah ini berhubungan dengan masalah perbedaan agama, padahal sumbu konflik sebenarnya adalah pertentangan etnis dan superioritas etnis utama dengan etnis-etnis minoritas di negara yang merdeka pada 4 Januari 1948 itu.

Menurut PBB Rohingya dianggap sebagai etnis paling menderita di dunia. Tak bisa ditutupi peristiwa di negara bagian Rakhine pada Agustus-September tahun itu sebagai prahara kemanusiaan. Namun kejadian itu bukan yang terburuk dalam sejarah. Siklus itu bermunculan setiap ada polemik politik nasional di negara itu. Intinya pemantik konflik bisa apa saja dan siapa saja.

Jika dilihat dari lini masa, prahara konflik pada 1942, 1978, dan 2012 jauh buruk jika dilihat dari jumlah korban tewas dan pengungsi. Pada 1942 korban yang meninggal lebih 100 ribu dan hampir satu juta etnis Rohingya menjadi diaspora di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara. Kasus kekerasan terkini berdasarkan citra satelit terlihat 2.625 rumah dibakar dan lebih 400 orang tewas setelah kelompok Pasukan Pembebasan Arakan-Rohingya (ARSA) menyerang pos-pos keamanan pada 25 Agustus lalu Namun lagi-lagi Pemerintah Myanmar menolak mengakuinya. Mereka menuduh kelompok milisi Rohingyalah yang melakukannya (Reuter, 2 September 2017).

Meskipun demikian, Rohingya bukan satu-satunya etnis yang menderita di Myanmar. Beberapa etnis minoritas lain juga mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti akses militer dan pemerintahan, penguasaan ekonomi, pengakuan identitas kebudayaan, dan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Pemerintahan Junta militer Myanmar dikuasai etnis mayoritas (Burman), dan mulai menganggap etnis-etnis yang tinggal wilayah timur seperti Kanchin, Shan, Mon, Wa, dan Kayan serta Arakan (Rohingya) sebagai "kurang asli".

Gerakan milisi Rohingya sebenarnya termasuk telat dibandingkan brigadir etnis lain, seperti The Kachin Independence Army (KIA), Shan State Army North (SSA-N), United Wa State Army (UWSA), dll. Nama Arakan-Rohingya Salvation Army (ARSA) baru saja terdengar. Organisasi ini dipimpin oleh Atta Ullah, seorang Rohingya kelahiran Pakistan dan besar di Arab Saudi.

Oktober 2016 adalah saat pertama nama ARSA dikenal publik setelah melakukan teror dengan membunuh 34 sipil dan menculik 22 lainnya. Sejak itu krisis menghembat dan puncaknya penyerangan lebih 20 pos keamanan dan membunuh 12 polisi pada 25 Agustus lalu (BBC Indonesia, 5 September 2017). Pertanyaannya siapakah yang mendanai kelompok ini sehingga aksi mereka menjadi penting secara militer? Namun yang jelas, krisis terakhir telah menyebabkan 87 ribu etnis Rohingya atau sepuluh persen dari sisa populasi etnis yang tergabung dalam rumpun ras Benggali itu, kini hanya sekitar 800 ribu etnis Rohingya yang tinggal di Rakhine.

Dilema etnisitas

Konflik kekerasan selama ini ikut mengaburkan tentang posisi etnis Rohingya. Saat kemerdekaan Myanmar 1948, etnis Rohingnya masih berjumlah 3,3 juta jiwa. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi anggota parlemen pusat yang ikut mendukung perjuangan kemerdekaan.

Saat itu Perdana Menteri U Nu menyebut Rohingya sebagai "etnis baru" tapi dilindungi dengan beragam fasilitas warganegara. Bahkan radio nasional Burma ikut menyiarkan beberapa segmen dalam seminggu dalam Bahasa Rohingya (Gregory B. Poling, Separating Fact from Fiction about Myanmar’s Rohingya, 13 Februari 2014).

Namun semuanya berantakan ketika rejim militer mengudeta pemerintahan dan menguasai Myanmar sejak 1962. Berkuasanya Jenderal Ne Win semakin memuluskan kebijakan brutal atas minoritas termasuk Rohingya. Kebijakan-kebijakan diskriminatif terus berlanjut dan puncaknya dengan dikeluarnkan undang-undang kewarganegaraan 1982 yang menghapus Rohingya dari daftar 135 etnis/grup etnis sah dan menolak proposal otonomi bagi daerah Buthidaung, Maungdaw, dan sebagian Rathedaung sebagai khusus etnis Rohingya. Sebaliknya pemerintah memaksa masuk ke dalam negara bagian Arakan (yang juga identitas bagi etnis beragama Budha) yang kemudian menjadi Rakhine (Poling CSIS, 2014).

Padahal dari bukti antropologis, seperti catatan seorang ahli bedah Inggris, Francis Buchanan, pada 1799 yang pernah berada di Arakan dan menyaksikan telah hidup etnis beragama Islam "Rooinga". Dalam riset genealogis lainnya juga disebutkan bahwa Islam telah masuk ke wilayah-wilayah Myanmar sejak abad kedelapan melalui laut Arab dan teluk Benggali. Politik penghapusan etnis Rohingya adalah politik penyesatan sejarah-antropologi bagi etnis yang dituduh imigran dari Bangladesh itu.

Jangan pindahkan trauma!

Pelajaran kasus Rohingya ini seharusnya memberikan keinsyafan kepada kita bahwa yang terjadi di sana sangat bisa terdedah di sini. Transformasi politik di Myanmar dengan kemenangan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Su Kyi pada pemilu 2015 tidak membawa kesegaran iklim politik di negara Tanah Emas itu.

Kasus Rohingya adalah trauma kemanusiaan yang sama buruknya dengan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di mana pun di dunia. Kasus ini terjadi ketika eksistensi kelompok minoritas tidak diproteksi dengan penghargaan yang layak, sebaliknya dijadikan objek panggangan kebencian, persekusi, dan represi.

Dalam taraf minimal, penyakit diskriminatif minoritas itu juga mulai tumbuh di negara kita. Tak bisa dimungkiri, perasaan superior-kompleks atas identitas mayoritas, pelan tapi pasti bisa memicu tumbuhnya alam sadar diskriminatif dan antitoleransi, yang itu sangat berbahaya bagi keberagaman dan kebangsaan kita.

Upaya kita membantu Rohingya sesungguhnya membantu menjaga daya resiliensi bangsa majemuk ini dari pelbagai macam wujud politik humiliasi dan antikemanusiaan. Jadi, membela Rohingya pada dasarnya membela nurani dan moral kita; moral kemanusiaan yang bersih dari agitasi politik dan demagogia. Wujud kerentanan di Rohingya bisa juga berpindah ke Indonesia jika kita tak mengelola semangat perbedaan ini sebagai keberkahan, dan bukan petaka. Persis dengan sikutan konflik menjelang Pilpres 2019 ini yang bisa merugikan bangsa jika dipenuhi provokasi dan demagogi informasi.

Membela Rohingya adalah membela kejujuran kita. Jangan sampai Rohingya di Rakhine kelihatan, Rohingya di Indonesia dalam wujud minoritas rentan tidak terlihat dan menjadi ironi.

*Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Pernah menjadi fasilitator perdamaian untuk aktivis Myanmar pada 2012 di Mae Sot, Thailand.


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda