Beranda / Opini / Sejarah Prostitusi di Aceh Masa Belanda

Sejarah Prostitusi di Aceh Masa Belanda

Selasa, 28 Januari 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Bisma Yadhi Putra

Ilustrasi prostitusi. (SHUTTERSTOCK/Motortion Films)


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejarah prostitusi di Aceh masih jarang dibahas dan ditulis. Sumber-sumber yang tersedia pun terbilang sedikit. Ketika sekarang orang membicarakan kehidupan masyarakat Aceh titimangsa pendudukan Belanda, yang banyak diungkit adalah cerita tentang perang. Padahal, perang dan pelacuran di Aceh berjalan beriringan. Bahkan, ada ulasan yang menyebut dampak perang di Aceh justru memekarkan prostitusi.

Baru-baru ini, saya tak sengaja menemukan sebuah catatan etnografis berjudul “Het familie- en kampongleven op Groot-Atjeh” (Kehidupan Keluarga dan Kampung di Aceh Besar). Buku ini terbit tahun 1894. Ditulis Dr. Julius Jacobs, seorang dokter sekaligus etnolog asal Belanda.

Dalam bukunya, Julius Jacobs mengangkat tirai yang menyembunyikan fenomena prosititusi yang melibatkan para gadis, perempuan bersuami, maupun janda Aceh semasa pendudukan Belanda. Perkara ini ia ulas dalam bab “Prostitutie: Zedelijkheidsgevoel”. Jacobs mengawali bab ini dengan pernyataan lugas bercorak etnografi komparatif: “Seperti halnya di antara semua bangsa dari zaman kuno hingga modern, prostitusi juga ditemukan di Aceh”.

Perempuan penyedia jasa hiburan seksual dalam istilah lokal disebut “inoeng biduen”. Mereka ada di banyak kampung dan sebagian berasal dari keluarga-keluarga termiskin. Oleh karena berasal dari keluarga yang sangat miskin, peluang mereka untuk menikah cukup kecil. Mereka hidup dalam bayang-bayang menjadi perawan tua. Selain itu, perempuan muda yang diceraikan suaminya dan tak menikah lagi juga ada yang menjadi pekerja seks komersial.

Menurut amatan Jacobs, jumlah pekerja seks komersial di Aceh meningkat tajam sejak dimulainya Perang Aceh tahun 1873. Perang ini membuat kampung-kampung di Aceh kehilangan banyak laki-laki muda yang kuat atau berstamina tinggi. Seiring kematian laki-laki, jumlah janda muda pun meningkat pesat. Di beberapa kampung, sangat mencolok terlihat perempuan muda lebih banyak jumlahnya daripada pria muda. Keadaan ini memperkecil peluang kaum perempuan untuk dinikahi oleh laki-laki yang akan memenuhi kebutuhan ekonomi serta nafsu seksual mereka.

Meskipun prostitusi ada di banyak kampung, terdapat perbedaan mencolok antara prostitusi di wilayah pedalaman (kampung-kampung dekat pegunungan) dengan perkampungan sekitar kota atau pesisir. Perempuan pekerja seks komersial lebih banyak ditemukan di kampung-kampung yang berdekatan dengan pelabuhan, misalnya di sekitar Meurassa (Meuraxa) atau Ulee Lheue.

Kawasan tersebut sering dikunjungi para pelaut asing maupun nelayan luar daerah yang sedang terpisah dengan istri mereka untuk waktu yang lama. Kedatangan orang-orang dari tempat jauh ini dimanfaatkan sebagian perempuan di kampung untuk memperoleh penghasilan dari jasa persanggamaan berbayar.

“Kampung-kampung nelayan dan pelaut ini punya reputasi buruk di kalangan masyarakat Aceh sejak zaman dahulu,” ungkap Julius Jacobs.

Tentu saja perempuan pekerja seks komersial mendapat tekanan-tekanan. Warga yang membenci prostitusi memandang rendah mereka. Mereka juga bisa dihukum kepala desanya. Julius Jacobs mencatat: “Banyak kampung di mana kepala desa mengambil tindakan tegas terhadap mereka. Para perempuan ini kerap dilarang tinggal di kampung, terutama jika keberadaan mereka menimbulkan skandal atau perilakunya dianggap meresahkan warga”.

Pekerja seks komersial di Aceh tidak bekerja secara pasif atau hanya menunggu didatangi laki-laki yang kebelet bercinta. Para perempuan ini kadang meniupkan godaan-godaan kepada lelaki yang mereka sukai, baik itu laki-laki muda yang masih lajang maupun yang sudah menikah. Inilah yang membuat keberadaan mereka kerap meresahkan para istri.

Cara mereka menggoda pun cukup unik dan tidak terang-terangan. Godaan dilakukan dengan mengirim sirih khusus kepada laki-laki yang disasar. Biasanya, seorang anak kecil diutus untuk mengirim sirih tersebut. Apabila si laki-laki menerima, berarti ia setuju untuk bertemu di tempat yang disepakati. Namun, terlebih dahulu anak yang mengirim sirih harus diberi imbalan uang oleh penerima sirih.

Pertemuan antara sang penggoda dengan yang tergoda biasanya berlangsung malam hari saat suasana sudah cukup sunyi. Keduanya kemudian bercinta sepuasnya di rumah perempuan atau tempat sepi tertentu.

Peran Germo

Dengan metode sirih, para perempuan pekerja seks komersial bisa berhubungan langsung dengan pelanggannya atau tanpa perantara. Namun, mereka juga bisa mendapat pelanggan lewat bantuan germo atau muncikari.

“Di setiap kampung yang terdapat pelacur atau perempuan yang suaminya sering pergi untuk waktu lama, misalnya pelaut atau pekerjaan lain, selalu ada perempuan tua yang berprofesi sebagai muncikari,” ungkap Jacobs.

Germo-germo tua ini, kata Jacobs, adalah “perantara cinta” yang mengejar “keuntungan kecil”. Mereka biasanya tak sekaya para muncikari yang memimpin prostitusi keliling. Muncikari tua yang tinggal di kampung-kampung terpencil kadang membawa perempuan-perempuan muda yang ia “kelola” ke kawasan kota atau pelabuhan. Wajah para perempuan itu disolek, tubuhnya dibungkus dengan pakaian yang memikat, dan rambutnya dihiasi bunga-bunga.

“Prostitusi keliling seperti ini ditoleransi di Aceh selama mereka tidak menimbulkan skandal publik,” sebut Jacobs.

Dalam prostitusi keliling, muncikari bisa memperoleh keuntungan besar. Dari tiap-tiap perempuan binaannya, ia akan mengambil setengah dari uang yang diberikan laki-laki. Umpamanya seorang laki-laki memberikan 4 ringgit, muncikari mengambil 2 ringgit dan separuh sisanya diberikan kepada perempuan muda yang ingin dicumbu laki-laki tersebut.

Kehadiran perempuan-perempuan muda dari kampung bisa merontokkan reputasi pekerja seks komersial di kawasan kota atau pesisir. Laki-laki akan menyukai perempuan baru setelah berkali-kali menyetubuhi perempuan lama. Muncikari tua yang cerdik langsung memanfaatkan situasi ini guna meraih lebih banyak uang. Ia mengajak perempuan-perempuan yang tak lagi laku dalam pasar prostitusi di sekitar pelabuhan ke kampungnya yang berada di daerah pegunungan terpencil.

Keberadaan muncikari bermanfaat bagi dua pihak, yakni perempuan yang butuh pelanggan dan laki-laki yang tak punya koneksi ke para perempuan. Jika seorang pria ingin bersetubuh dengan perempuan yang sudah menikah, ia akan memakai jasa muncikari untuk membujuk perempuan tersebut.

“Pria itu memberikan uang sebagai pembayaran awal untuk usaha muncikari, serta menitipkan 3 hingga 4 ringgit kepada perempuan yang disasar,” sebut Jacobs. Apabila bersedia, si perempuan akan mengundang laki-laki tersebut ke rumahnya atau mereka bertemu di tempat lain yang pas. Namun jika menolak, ia wajib mengembalikan uangnya.

Ironisnya, negosiasi seksual ini bisa menjerumuskan para perempuan yang situasi keuangannya buruk. Uang yang diperoleh dari hubungan seks dipakai untuk membeli kebutuhan primer atau membayar utang. Bagi para perempuan muda, pelacuran memberi mereka kesempatan untuk membeli barang mewah seperti kain sarung cantik.

Langkah pertama ke dunia pelacuran ini biasanya akan berlanjut dan dijalani secara diam-diam. Karena jika ketahuan, gadis, perempuan bersuami, maupun janda yang terlibat akan dihina serta diusir dari kampung. Oleh karenanya, mereka harus melayani laki-laki di tempat yang betul-betul aman. Terlebih bagi perempuan yang sudah bersuami. Jika rumah mereka berada di sebuah kampung kecil, melayani laki-laki di rumah sendiri bukan tindakan tepat. Biasanya, perzinaan atau perselingkuhan di kampung-kampung kecil cukup sulit dirahasiakan.

Para muncikari juga bisa terancam jika ketahuan mengelola bisnis seksual. Bukan hanya ditendang dari kampung, mereka pun bisa kesulitan menggunakan uang yang dihasilkannya dari pelacuran. Jacobs menyebutkan: “Pekerjaan muncikari harus dilakukan secara rahasia karena orang seperti itu dapat diusir dari kampung hanya berdasarkan kecurigaan kecil. Uang yang dihasilkan dari pekerjaan ini dianggap tidak bersih seperti uang hasil riba, dan muncikari tidak akan bisa membelanjakan uangnya pada orang yang mengetahui asal-usul uang tersebut”.

Selanjutnya »     Kritik Julius Jacobs Karena di Aceh ada...
Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI