Sumpah Pemuda dan Krisis Regenerasi Petani
Font: Ukuran: - +
Penulis : Azanuddin Kurnia
Ir. Azanuddin Kurnia, SP., MP (Ketua PISPI Aceh dan Alumnus Taplai Lemhanas)
DIALEKSIS.COM | Opini - Tepat 96 tahun yang lalu, sekelompok pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul di Jakarta, mengikrarkan tekad persatuan yang kini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi kedaerahan - dari Jong Java hingga Jong Celebes - berani membusungkan dada di hadapan pemerintah kolonial, menegaskan identitas sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.
Kini, hampir seabad berlalu, semangat itu seolah menghadapi ujian baru. Bukan lagi penjajahan fisik yang menjadi tantangan, melainkan ancaman terhadap kedaulatan pangan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 memperlihatkan potret mengkhawatirkan: dari 29,36 juta petani Indonesia, 42,39 persen didominasi generasi X berusia 43 - 58 tahun. Pertanian kita menua, sementara regenerasi mandek.
Ironis memang. Di tengah gegap gempita revolusi industri 4.0, sektor yang menjadi urat nadi kehidupan bangsa justru ditinggalkan generasi mudanya. Padahal, pertanian tetap menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja tertinggi - 28,64 persen pada triwulan pertama 2024, mengungguli sektor perdagangan dan industri pengolahan.
Fenomena "penuaan petani" ini bukan sekadar masalah demografi. Ini adalah ancaman nyata terhadap ketahanan pangan nasional. Ketika para pewaris tahta pertanian lebih tertarik dengan gemerlap startup teknologi dan ekonomi digital, siapa yang akan menggarap lahan-lahan produktif kita?
Pemerintah, melalui berbagai instansi, tampak menyadari urgensi situasi ini. Program regenerasi petani yang diinisiasi Kantor Staf Presiden (KSP) adalah buktinya. Mantan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahkan menegaskan perlunya pendekatan inklusif dan kolaboratif dalam mempercepat proses regenerasi.
Namun, pertanyaannya: sudahkah upaya ini menyentuh akar masalah? Mengapa generasi muda enggan terjun ke sektor pertanian? Jawabannya mungkin terletak pada paradigma usang yang masih memandang pertanian sebagai profesi kelas dua, kotor, dan tidak menjanjikan secara ekonomi.
Di sinilah relevansi semangat Sumpah Pemuda perlu dimaknai ulang. Jika para pemuda 1928 berani mendobrak sekat-sekat kedaerahan, pemuda hari ini ditantang untuk mendobrak stigma tentang pertanian. Teknologi Internet of Things (IoT), permaculture, hingga pertanian ramah lingkungan seharusnya menjadi magnet baru yang menarik minat generasi digital native.
Gedung AMANAH (Aneuk Muda Aceh Unggul Hebat) yang baru diresmikan mantan Presiden Joko Widodo di Aceh adalah contoh konkret bagaimana modernisasi bisa menjembatani gap antara pertanian dan aspirasi generasi muda. Youth Creative Hub ini bisa menjadi model percontohan bagaimana inovasi teknologi dan kreativitas anak muda dapat disinergikan dengan sektor pertanian.
Tema Sumpah Pemuda tahun ini, "Maju Bersama Indonesia Raya", seharusnya menjadi momentum untuk memikirkan ulang strategi regenerasi petani. Kita butuh lebih dari sekadar program-program kosmetik. Yang diperlukan adalah transformasi fundamental dalam cara memandang dan mengelola sektor pertanian.
Jika pemuda 1928 berjuang melawan penjajah fisik, maka pemuda 2024 harus berjuang melawan ancaman yang lebih subtle namun sama destruktifnya: ketergantungan pangan dan kemiskinan struktural di sektor pertanian.
Tanpa regenerasi yang terencana dan sistematis, mimpi Indonesia Emas 2045 dengan kedaulatan pangan yang kukuh hanya akan menjadi fatamorgana di padang gersang pertanian yang kian menua.
Semangat Sumpah Pemuda harus diterjemahkan dalam konteks kekinian: mengakui pertanian sebagai sektor strategis, menjunjung inovasi teknologi sebagai tools modernisasi, dan menjadikan regenerasi petani sebagai agenda nasional yang mendesak. Karena pada akhirnya, kedaulatan pangan adalah bentuk lain dari kedaulatan bangsa yang diperjuangkan para pemuda 96 tahun silam.
Penulis: Ir. Azanuddin Kurnia, SP., MP (Ketua PISPI Aceh dan Alumnus Taplai Lemhanas)