DIALEKSIS.COM | Opini - Kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) kembali membuat dunia gelisah dan terancam. Sejak awal tahun 2025, Presiden Donald Trump telah mengumumkan kenaikan tarif impor terhadap berbagai produk luar negeri. Langkah ini dilakukan AS sebagai langkah agar industri AS tidak kalah saing dengan produk impor yang memiliki harga lebih murah. Selain itu juga terjadi defisit perdagangan, yang artinya nilai impor lebih tinggi dibandingkan ekspor.
Defisit yang dialami AS terutama dengan Tiongkok diharapkan dapat dikurangi dengan menekan produk impor dalam kebijakan tarif ini untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Tidak hanya itu, Trump juga memanfaatkan tarif sebagai strategi negosiasi dengan tujuan mendorong negara seperti Tiongkok, Meksiko, dan Uni Eropa untuk mengurangi berbagai hambatan terhadap produk ekspor Amerika Serikat. Sebagai gantinya, AS bersedia menurunkan atau menghapus tarif yang dikenakan.
Sekilas, kebijakan tarif ini tampak seperti hanya berkaitan dengan urusan domestik AS, namun kebijakan tarif ini berdampak lebih jauh secara global. Ketika negara sebesar AS menarik rem perdagangan, negara-negara berkembang akan lebih dulu merasakannya. Negara berkembang sangat bergantung pada ekspor ke negara Tiongkok dan AS. Hal ini menunjukkan, bahwa kebijakan ini bukan sekedar strategi dagang, melainkan sinyal bahwa dunia sedang memasuki era ketidakpastian baru.
Sebagai negara yang sangat bergantung pada perdagangan internasional, Indonesia berada pada zona yang tidak aman. Inilah saatnya Indonesia tidak cukup hanya bersiaga, tetapi juga perlu meninjau kembali dan merumuskan ulang kebijakan ekonomi jangka panjang.
Dalam perdagangan internasional, tarif adalah semacam penghalang yang membuat barang dari luar jadi lebih mahal. Ini bagian dari kebijakan proteksionisme, yaitu upaya melindungi industri dalam negeri. Padahal, menurut teori ekonomi dari David Ricardo, setiap negara sebaiknya fokus memproduksi barang yang paling efisien baginya dan membeli barang lain dari negara yang bisa membuatnya dengan lebih murah. Kalau semua negara melakukan ini, perdagangan dunia jadi lebih efisien. Tapi saat tarif diterapkan, prinsip ini terganggu karena negara jadi cenderung memproduksi barang yang seharusnya bisa dibeli lebih murah dari luar.
Tarif tinggi menjadi bentuk gangguan pasar yang dapat menyebabkan misalokasi sumber daya dan penurunan kesejahteraan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa proteksionisme bukan hanya persoalan tarif, melainkan juga risiko terhadap stabilitas sistem perdagangan multilateral yang menjadi fondasi globalisasi ekonomi. Tarif bisa mengganggu jalannya pasar yang seharusnya bebas, sehingga sumber daya digunakan secara tidak efisien dan kesejahteraan masyarakat bisa menurun
Tarif yang dikenakan oleh AS untuk Indonesia yang sebelumnya berkisar antara 10-37 persen untuk produk tekstil, garmen, dan alas kaki, saat ini tarif resiprokal atau tarif balasan bertambah sebesar 10 persen sejak awal April, sehingga tarif yang dikenakan yaitu 20-47 persen. Hal ini berarti pada suatu kategori barang impor, bea masuk yang harus dibayar adalah 47 % dari nilai pabean (customs value), sebagai contoh jika sepatu impor dinilai US $100 per pasang, maka bea masuknya sebesar US $47 dan harga total yang harus dibayar importer menjadi US $100 + US $47 = US $147. Dampaknya, produk impor dengan tarif setinggi ini menjadi jauh lebih mahal di pasar AS, sehingga menurunkan daya saing barang asing dibandingkan produk dalam negeri.
Lalu bagaimana Indonesia menghadapi kebijakan tarif ini?
Indonesia saat ini berada di antara dua tekanan besar. Di satu sisi, Indonesia sangat bergantung pada ekspor ke Tiongkok dan negara-negara mitra dagang AS. Di sisi lain, Indonesia berisiko menjadi tujuan limpahan produk dari Tiongkok akibat tertutupnya akses pasar ke AS.
Menurut Badan Pusat Statistik, pada Januari 2025 Tiongkok sebesar dan AS merupakan negara utama dalam ekspor Indonesia, yaitu sebesar $4.508,62 juta untuk Tiongkok dan diikuti $2.347,14 juta untuk As. Jika produk-produk murah dari Tiongkok membanjiri pasar domestik, maka pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri berpotensi kewalahan bersaing. Sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan barang elektronik ringan yang menyerap banyak tenaga kerja bisa terpukul keras.
Ancaman terhadap industri-industri ini bukan hanya soal daya saing, tetapi juga terkait dengan stabilitas sosial dan ketenagakerjaan, terutama di daerah yang menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor manufaktur.
Tidak hanya itu, peningkatan tensi perang dagang juga menciptakan ketidakpastian dalam rantai pasok global. Harga bahan baku bisa melonjak, waktu pengiriman membengkak, dan pelaku usaha dalam negeri kesulitan menjaga efisiensi produksi. Pada akhirnya, konsumen juga akan merasakan dampaknya melalui kenaikan harga barang.
Namun di tengah ancaman ini, selalu ada peluang. Indonesia bisa menggunakan momentum ini untuk memperkuat pasar domestik, memperluas diversifikasi ekspor ke negara-negara yang bukan merupakan mitra dagang utama (nontradisional) seperti Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin, serta mempercepat hilirisasi industri. Pemerintah perlu lebih proaktif dalam memberikan insentif ekspor, membuka akses pembiayaan bagi UMKM, serta menjamin pasokan bahan baku yang stabil dan terjangkau.
Kebijakan tarif Trump hanyalah satu dari sekian gejolak global yang akan terus muncul di masa depan. Indonesia tidak bisa menunggu sampai badai datang baru mulai memperkuat fondasi. Indonesia perlu bersikap strategis, tidak hanya merespons sebagai pihak yang terdampak proteksionisme, tetapi tampil sebagai negara yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan tetap tangguh.
Dengan langkah yang cermat, tekanan global ini justru bisa menjadi momentum untuk mendorong ekonomi Indonesia menuju posisi yang lebih kuat dalam percaturan ekonomi dunia.
Penulis: Elisa Ismi (Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi USK dan Statistisi Badan Pusat Statistik) dan Dr. Chenny Seftarita, SE., M.Si. (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK)