DIALEKSIS.COM | Opini - Keputusan Gubernur Aceh Nomor 600.1.2/713/2025 tentang Pembentukan Tim Penyusunan RPJM Aceh 2025 - 2029. Pemerintah Aceh, di bawah pimpinan Gubernur Muzakir Manaf (Mualem), telah mengeluarkan SK baru pembentukan Tim Penyusunan RPJM Aceh 2025 - 2029 pada 23 April 2025. SK ini sekaligus membatalkan SK terdahulu (600.1.2/22/2025) yang diteken Pj. Gubernur Safrizal pada Januari 2025.
Tim baru tersebut berlapis-lapis: terdiri atas Tim Penasihat, Tim Penanggung Jawab, Tim Pengarah, Tim Penyusun/Tim Pelaksana, tiga Kelompok Kerja (Pokja), serta Tim Penyusun Rancangan Qanun RPJMA.
Sementara itu, dokumen RPJM Aceh akan menjadi pedoman lima tahunan pembangunan Aceh, mencakup ekonomi, infrastruktur, keistimewaan Aceh, tata kelola pemerintahan, dan sumber daya manusia. Dengan kata lain, Tim ini bertugas merumuskan visi “Aceh Islami, Maju, Bermartabat” ke dalam strategi program lima tahun.
Susunan tim yang sangat berlapis ini memunculkan kekhawatiran efektivitasnya. Secara praktis, struktur tim yang “gemuk” berpotensi menimbulkan tumpang tindih tugas dan birokrasi ganda. Misalnya, adanya Tim Penasihat dan Tim Pengarah bisa saja merumuskan arahan serupa, sehingga Tim Penyusun malah bingung mengacu ke mana. Selain itu, beban koordinasi antar-subtim semakin besar. Kompas mencatat bahwa “semakin panjang dan hierarkis struktur tim… semakin besar potensi kelemahannya. Koordinasi menjadi salah satu tantangan agar tim… efektif bekerja”.
Hierarki yang panjang mengancam soliditas kerja karena setiap keputusan mesti melewati banyak level. Penggunaan beberapa Pokja juga meski bertujuan spesialisasi, dapat memicu silo antardivisi. Dari perspektif good governance, struktur tim idealnya sederhana dan jelas. Prinsip transparansi dan akuntabilitas mensyaratkan pihak yang bertanggung jawab terdefinisi, bukan berlapis-lapis tanpa kejelasan otoritas.
Struktur berlebihan bisa mengaburkan akuntabilitas: misalnya jika terjadi masalah perencanaan, siapa yang harus disalahkan Tim Pengarah, Tim Penyusun, atau Tim Pokja? Belum lagi isu politisasi: dalam SK lama, tim penyusun melibatkan unsur dari badan pemenangan calon Gubernur - Wakil (Muzakir - Fadhillah), yang bisa mengaburkan fokus teknokratis. Secara biaya dan waktu, tim besar berarti lebih banyak pertemuan, administrasi, dan birokrasi pendukung berlawanan dengan prinsip efisiensi. Singkatnya, struktur tim gemuk ini berisiko memperlambat proses penyusunan RPJM akibat birokrasi tambahan dan koordinasi yang kompleks.
Apakah struktur berlapis itu justru mempercepat atau sebaliknya memperlambat perencanaan? Pengalaman riset menunjukkan kecenderungan menurunkan kecepatan keputusan. Sebuah survei global melaporkan bahwa birokrasi dan silo organisasi menciptakan masalah koordinasi; sepertiga responden menyebut ini penghambat terbesar, dan lebih dari 70% organisasi mengalami kegagalan inisiatif strategis karena tertunda dalam pengambilan keputusan. Lebih lanjut, 40% merasa kalah cepat dibanding pesaing yang lebih gesit.
Meskipun konteks survei tersebut adalah perusahaan besar, prinsipnya relevan: semakin banyak lapisan dan aktor yang terlibat, risiko decision paralysis meningkat. Dalam konteks pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan menuntut sinergi cepat antar sektor. Jika tiap kebijakan harus “naik turun tangga” birokrasi, peluang kehilangan momentum atau tidak sinkron antarsektor besar.
Struktur tim gemuk bahkan bisa menimbulkan bureaucratic coordination problems: tiap sub-tim mungkin punya agenda sendiri, sehingga rapat tim gabungan terkesan formalitas belaka. Hal ini kontras dengan prinsip manajemen lean bahwa proses yang ramping (lean) justru mempercepat outcome. Misalnya, studi McKinsey menunjukkan bahwa penerapan lean management di beberapa lembaga pemerintah bisa membuat keputusan 35% lebih cepat dan mengurangi backlog hingga 70%. Contoh lain, kantor keimigrasian Eropa memutuskan kasus empat kali lebih cepat setelah memperbaiki proses internal. Dengan kata lain, struktur ramping dan peran jelas dapat mempercepat perencanaan, sedangkan struktur berlapis cenderung menimbulkan delay.
Menurut teori birokrasi Max Weber, struktur birokrasi yang ideal seharusnya rasional-legal dengan pembagian tugas yang jelas dan jenjang komando hierarkis. Namun Weber sendiri mengakui risiko birokrasi terlalu kaku dan bertele-tele. Fenomena tim RPJM Aceh ini dapat dibaca sebagai ironi birokrasi yang berlebihan. Para ahli administrasi modern menganjurkan agar pemerintahan menerapkan prinsip reinventing government, yaitu pendekatan kewirausahaan dan berorientasi hasil. Osborne dan Gaebler (1992) dalam Reinventing Government mengemukakan 10 prinsip transformasi pemerintahan melalui “wiraswasta publik” agar mencapai reformasi besar-besaran.
Intinya, pemerintahan harus lebih lean, fleksibel, dan akuntabel. Prinsip-prinsip tersebut mencakup pendekatan berbasis hasil (outcome), desentralisasi kewenangan, serta kompetisi dan kolaborasi untuk inovasi publik. Dari perspektif good governance, struktur tim harus mencerminkan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, responsivitas, dan partisipasi. Penelitian di Aceh menunjukkan bahwa penerapan transparansi dan akuntabilitas berdampak positif signifikan terhadap kinerja pegawai dan organisasi publik.
Dengan tim yang gemuk tanpa mekanisme kontrol jelas, prinsip akuntabilitas sulit ditegakkan. Sebaliknya, upaya menciptakan struktur yang lebih datar dan terbuka serta memperjelas peran setiap orang dapat meningkatkan kinerja tim. Selain itu, strategi lean management modern menekankan penghapusan aktivitas tanpa nilai tambah dan penggunaan teknologi kolaboratif. CEO Magazine juga menekankan pentingnya menghilangkan silo organisasi dan menerapkan teknologi kolaboratif agar keputusan dapat lebih cepat diambil.
Koordinasi terhambat: banyaknya tingkatan mempersulit sinkronisasi. Seperti dicatat diskusi Jaringan Survei Inisiatif, struktur tim yang panjang meningkatkan tantangan koordinasi. Selain itu terjadi dampak pengambilan keputusan lambat: dengan roda birokrasi berputar di banyak tempat, pengesahan rancangan RPJM dapat molor. Survei global menunjukkan 70% inisiatif strategis terhambat oleh penundaan keputusan karena birokrasi. Bahkan berpotensi terjadinya akuntabilitas kabur: apabila tim utama terdiri dari beberapa sub-tim, sulit menentukan siapa bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau kelewatan target.
Selain itu fakta nyata jika tim RPJM gemuk yakni biaya dan tenaga: tim besar berarti lebih banyak anggaran rapat, administrasi, dan sumber daya manusia yang sibuk di level koordinasi, bukan pelaksanaan. Ini bertentangan dengan efisiensi good governance. Belum lagi dihadapi potensi konflik kepentingan: keterlibatan partai politik atau tim pemenangan dalam tim teknis berpotensi menimbulkan konflik agenda (politik vs pembangunan) yang mengaburkan fokus pembangunan rakyat.
Secara keseluruhan, struktur semacam ini cenderung memperlambat dibanding mempercepat proses RPJM, kecuali diimbangi inovasi pengelolaan. Banyak lapisan cenderung menambah birokrasi, bukan memperpendeknya.
Untuk menjaga agar tim penyusun tetap efektif, beberapa langkah perlu ditempuh: sederhanakan struktur: satukan atau singkronkan peran yang tumpang tindih. Misalnya, perjelas fungsi Tim Penasihat sebagai pemberi masukan strategis tanpa tumpang tindih dengan Tim Pengarah. kurangi level hirarki apabila memungkinkan, agar komunikasi langsung lebih pendek.
Penegasan tugas dan akuntabilitas: setiap anggota tim harus memiliki uraian tugas jelas dan target kerja spesifik (result-oriented). Buat mekanisme pelaporan yang transparan agar tiap lini mudah diawasi dan dievaluasi.
Rapat koordinasi terjadwal dan efisien: jadwalkan rapat rutin lintas-tim dengan agenda jelas. Gunakan template dan checklist agar rapat tak berlarut. Terapkan praktik lean meeting fokus diskusi langsung pada keputusan strategis.
Penguatan kapasitas dan culture change: latih anggota tim dan pimpinan untuk berfokus pada manajemen perubahan. Dorong budaya organisasi yang adaptif dan terbuka (bebas birokrasi berlebihan), serta nilai perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
Partisipasi dan transparansi publik: libatkan pemangku kepentingan eksternal (masyarakat, akademisi, swasta) secara selektif agar masukan dinamis. Publikasikan perkembangan draft RPJM secara berkala agar proses akuntabel dan responsif terhadap masukan publik.
Pendekatan solutif di atas didukung prinsip good governance: mengutamakan akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi dalam setiap langkah. Lean management telah terbukti mampu mempercepat proses pemerintahan (misalnya keputusan 35% lebih cepat) dan meningkatkan kepuasan stakeholder. Dengan strategi yang tepat, tim masih bisa beroperasi efektif meski strukturnya luas.
Pembentukan RPJM Aceh 2025 - 2029 adalah tugas monumental yang menentukan masa depan Aceh lima tahun ke depan. Kegagalan menyusun rencana yang matang dapat berakibat jangka panjang pada kesejahteraan rakyat Aceh. Oleh karena itu, mengoreksi dan menyempurnakan mekanisme tim penyusun sangat penting. Struktur organisasi yang ideal adalah yang menyederhanakan proses tanpa mengorbankan keahlian atau akuntabilitas. Dengan pendekatan yang kritis dan solutif terhadap tim “gemuk” ini, Aceh dapat memastikan perencanaannya berjalan cepat dan tepat sasaran.
Efektivitas pemerintahan tidak hanya diukur dari jumlah lembaga atau pejabat yang terlibat, tetapi dari keluaran nyata yang dirasakan masyarakat. Dengan menyelaraskan struktur tim dengan prinsip organisasi modern dan tata kelola baik, Aceh akan lebih siap mewujudkan visi “Aceh Islami, Maju, Bermartabat dan Berkelanjutan” melalui rencana pembangunan yang "tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat guna" adalah tiga prinsip penting yang menekankan efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya, terutama dalam konteks anggaran atau program pemerintah.
Penulis: Syahril Ramadhan, seorang pemerhati sosial dan politik sekaligus aktivis